Derap langkah para pelajar gabungan dari SMK Awalludin dan SMA Negeri 2 Batu Ampar mengawali perjalanan pada Minggu (4/3). Puluhan pelajar itu berjalan kaki dari basecamp JARI Borneo Barat menuju dermaga Dusun Batu Ampar Tengah.
Rizka Nanda, Batu Ampar Tengah
eQuator.co.id – Hari itu, 46 siswa terpilih akan melakukan penanaman bibit mangrove bersama JARI Borneo Barat. Lokasi penanamannya terletak di Dusun Cabang Roan Desa Batu Ampar Kabupaten Kubu Raya. Untuk sampai kesana, rombongan harus menempuh perjalanan dengan jalur air selama kurang lebih tiga jam.
Raut antusias mengawali pagi itu. Usai mendapat pengarahan dari mentor dan doa bersama, rombongan masuk ke dalam kapal kelotok. Sengatan matahari pagi menerpa siapa saja yang berada di bawahnya, menambah euporia tersendiri di tengah-tengah perjalanan.”Kalau beruntung, kita bisa lihat Pesut lewat,” ujar Manager Keuangan JARI Borneo Barat, Sumiati.
Pesut adalah lumba-lumba air tawar yang berada di wilayah perairan India, Filipina, dan Kalimantan. Saat ini keberadaan pesut sudah mulai punah. Oleh karena itu, pemerintah membuat gerakan dengan membuat Undang-Undang Perlindungan terhadap Pesut.
Sesuai amanah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya, serta berdasarkan Peraturan pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999, Pesut merupakan jenis satwa yang dilindungi. Masyarakat pun mulai berpikir untuk menjaga keberadaan Pesut yang sudah jarang nampak. Salah satunya, dengan cara melestarikan kawasan hutan mangrove yang menjadi habitat Pesut.
Kapal kelotok yang ditumpangi terus berjalan membelah sungai Kapuas yang terasa payau itu. Bunyi bising dari mesin kelotok seakan menjadi ritme musik menemani seluruh manusia yang berada di dalam kapal. Satu setengah jam perjalanan raut kantuk dan bosan dari masing-masing wajah mulai terekspose.
“Lihat itu, Pesut, lihat,” ujar salah satu suami guru dari SMA negeri 2 Batu Ampar sambil mengarahkan telunjuknya ke arah seberang kapal.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kondisi air yang tenang dan cuaca cerah, membuat dua ekor lumbe-lumbe sapaan akrab masyarakat setempat untuk Pesut, tampak beriringan dua kali menampakkan siripnya. Sayangnya, selain letaknya jauh dari kapal, kemunculan Pesut itu terhitung beberapa detik saja. Sehingga tak ada yang sempat mengabadikannya. Kemunculan Pesut itu di wilayah perairan Muara Batu Empat.
“Begitulah kemunculan mereka, itu yang bedakan Pesut dengan lumba-lumba laut. Mereka timbul hanya menampakkan sedikit bagian tubuhnya, seperti sirip,” jelas Acu sapaan akrab Sumiati.
Kapal terus berjalan, menyusuri muara sungai terpanjang se Indonesia. Penampakan Pesut tadi bagai tombol power on, membuat atmosfer kapal hidup kembali.
“Pesut akan timbul jika kondisi air tenang dan sejuk. Mereka tidak suka kondisi air yang kotor, apalagi dicampur gelombang kuat,” terang ibu beranak dua itu.
Kapal mulai melamban, tak terasa tiga jam sudah melintasi sungai yang kiri kanannya ditumbuhi pohon rasau dan bakau. Ternyata rombongan harus mengalah dengan kondisi air pasang. Kapal pun merapat ke dermaga sungai Kerawang yang terletak tepat di seberang Dusun Cabang Roan.
Dengan kesepakatan bersama, akhirnya rombongan menunggu sembari menyantap makan siang. Wajah-wajah lapar pun berbaris membentuk antrean. Setelah mendapat jatahnya masing-masing mereka menyebar seperti amoba. Ada yang makan di beranda dermaga, ada juga di emperan, bahkan duduk santai di atas kapal yang tengah bersandar.”Kondisi air masih pasang, jadi kita harus menunggu dulu. Karena wilayah yang akan ditanami masih acap,” kata Acu.
Cukup lama menunggu, sekitar pukul 14:00 WIB rombongan kembali ke atas kapal dan menyeberang ke tempat penanaman. Di tempat penanaman sudah ada dua orang anggota JARI Borneo yang menunggu.
Melihat medan yang berlumpur dan tergenang air. Bukan malah geli, rombongan pelajar itu malah berlomba-lomba tak sabar untuk ke lokasi penanaman. Melihat antusiasme yang tinggi dari mereka, mengundang empat orang jurnalis dari Pontianak yang ikut hadir untuk turun langsung ke lokasi. “Pakai sepatu boots, biar kaki kita aman,” ujar salah satu jurnalis media lokal, Novantar.
Empat orang jurnalis dari Pontianak itu pun bersiap-siap mengenakan peralatan seperti sepatu boots, dan mengamankan alat elektronik didalam kantong plastik. Untuk sampai ke lokasi penanaman harus injak batang pohon yang sudah patah, melangkah perlahan-lahan dan bertemu lumpur.
Di seperempat perjalanan, sepatu boots yang dikenakan tak berfungsi baik, alhasil tenggelam di dalam lumpur. Dan ditinggalkan begitu saja, ternyata tanpa menggunakan alas kaki malah lebih nyaman. Hanya saja ada rasa geli-geli ketika kaki terbenam di dalam lumpur. Apalagi untuk mengantar bibit ke seberang harus sambil berenang di dalam air yang memiliki ketinggian sampai dada orang dewasa.
“Sebelum ditanam. Sebelum dikeluarkan dari dalam polibag, tanah ini harus ditekan-tekan terlebih dahulu, supaya tidak terpisah dari akarnya,” ujar Suhardani, Assisten Program Officer TFCA Kalimantan Barat.
Setelah tanah beserta akar dipadatkan, selanjutnya perlahan-lahan dikeluarkan dari dalam polibag. Tanah yang telah diberi tanda dengan tancapan bambu itu harus digali dengan kedalaman sampai pergelangan tangan. “Bibit dimasukkan, dan diikat kendor menggunakan tali rapia ini ke bambu. Supaya tidak hanyut terbawa arus. Yang kita tanam ini jenis bakau,” jelas Dani.
Roby Prisilvandi, siswa SMK Awaludin Batu Ampar jurusan Teknik Komputer Jaringan (TKJ) merasa antusias ikut dalam penanaman pohon mangrove. Hasil dari ikut langsung penanaman mangrove itu, ia bisa mengetahui manfaat dari mangrove dan cara merawatnya.
“Ya saya jadi tau, mangrove itu untuk nahan abrasi, ada manfaatnya juga untuk Pesut, kalau di bakau banyak ikan biasakan Pesut datang cari makan di sana,” ujar siswa kelas X itu kepada Rakyat Kalbar.
Robi sendiri telah menanam belasan bibit di atas medan berlumpur. Diakui dia, lumpur itu memang agak membuatnya susah melangkah akan tetapi tidak mengurangi rasa penasaran serta antusias untuk menggali lebih dalam pengetahuan tentang mangrove.
“Pasti ada rasa sayang, tidak pengen ditebang. Karena bisa mendapatkan pengalaman menanam karena sebelumnya belum tau apa itu mangrove dan gimana cara menanamnya. Pengen lagi ada kegiatan seperti kemarin. Seru sih, karena belum pernah langkah-langkah diatas lumpur, ini pengalaman pertama. Kalau ada lagi mau ikut lagi,” tuturnya.
Selain itu, Fatmawati kelas XI jurusan TKJ mengatakan, melalui penanaman ini bisa mendapatkan pengalaman bagaimana cara mengenal lingkungan.”Sebelumnya belum tahu sama sekali manfaat mangrove, hanya tahunya itu tempat tinggal binatang air,” aku Fatmawati.
Disaat menanam, Ia merasa senang sekaligus susah, karena lokasi yang berlumpur dan banyak kayu. Sehingga tak jarang kaki tersangkut akar pohon.
“Nanamnya mudah, tinggal dimasukkan ke dalam tanah dan diikat. Diikat itu fungsinya supaya tidak terbawa arus. Kalau geli sih tidak, malah suka, seru bisa berenang. Pengen lagi ada kegiatan seperti ini,” ungkap anak ke enam dari tujuh bersaudara ini.
Ia berharap pohon mangrove untuk kedepannya bisa dilestarikan oleh genarasi muda. Sebab mangrove sangat berfungsi untuk kehidupan.
Program Officer TFCA Kalimantan Barat, Hasan Subhi menuturkan, ada 15 kawasan (spot) yang akan di restorasi oleh tim JARI Borneo Barat. Dari 15 spot itu, akumulasinya sekitar 12 hektare dalam hamparan 100 hektare. “Satu spot yang paling besar ada yang dua hektar, paling kecil 0,04 meter persegi,” tuturnya.
Penanaman di wilayah Dusun Cabang Roan yang ditanam itu sekitar 500 meter persegi. Sisanya akan dilanjutkan oleh tim restorasi. Penanaman ini merupakan kampanye awal. Nantinya juga ada kegiatan kampanye lagi yang melibatkan masyarakat.
“Sebelumnya ada sosialisasi tentang Pesut dan hubungannya dengan mangrove,” ungkap Hasan.
Berdasarkan hasil pemetaan, lahan mangrove yang kosong akibat penebangan tahun 2000 lalu. Hasan menjelaskan, berdasarkan data yang dimiliki, pohon mangrove paling banyak terdapat di Desa Cabang Roan. Selain banyak, angka penebangan pohon mangrove di Cabang Roan juga yang tertinggi. “Di lokasi yang lain ada penebangan, tetapi kecil karena banyak jenis Nipah bukan bakau lagi,” tuturnya.
Luas lahan mangrove di Desa Batu Ampar kurang lebih 36.000 hektare atau 60 persen luas wilayah Desa Batu Ampar. Sedangkan, wilayah pemantauan JARI seluas 700 hektare dan yang sudah dipetakan seluas 100 hektare.
“Sisanya sebagian besar tidak banyak bukaan, yang sangat besar itu di cabang Roan. Ada tujuh dusun wilayah kerja yang berhadapan dengan sungai 5 dusun. Teluk Mastura, sungai limau, cabang Roan, Batu ampar tengah, Kemuning, dan di daerah batu ampar simpang, tapi tidak ada mangrovenya,” jelasnya.
Ada 22 jenis mangrove yang diketahui masyarakat. Namun ada lima yang paling familiar yakni bakau, tumuk, Nipah, Nibung, dan nyirih.
“Ada 5000 bibit target kita bulan April ini harus habis. Setelah itu kita mau bibit lagi,” terang Hasan.
Bibit mangrove didapatkan dari buah yang hanyut. Kemudian masyarakat bersama-sama mengumpulkan bibit menggunakan sampan untuk disusun kembali di dalam polibag melalui proses pembibitan.
“Setelah penanaman tetap ada agenda penyulaman survei lagi. Kita akan turun lokasi untuk dilakukan penyulaman sekaligus bawa bibit, untuk menanam lagi yang mati waktunya 2 bulan setelah penanaman,” tuturnya.
Berbicara soal Pesut, diakui Hasan untuk melestarian habitatnya salah satunya adalah dengan menjaga hutan mangrove. Dengan menanam jenis bakau, karena tumbuhan itu memiliki akar jangkar. Akar itu menjadi tempat tinggal ikan kecil yang merupakan pakan Pesut. “Selain itu juga menjadi penyaring air payau. Karena pesut ini kan hidupnya di air payau,” katanya.
Hingga saat ini, JARI Borneo Barat baru sampai pada tahap diidentifikasi survei kemunculan Pesut. Selain pemantauan yang dilakukan langsung selama lima hari, identifikasi juga diambil dari pengamatan masyarakat. “Di sini mitosnya itu dulu, kalau pesut muncul menandakan ikan lagi banyak, atau kondisi di laut lagi tidak baik jadi lari ke sungai,” ujarnya.
Untuk rute, pintu keluar dan masuk biasanya diimulai dari teluk Nuri. Berlanjut ke pelabuhan teluk Batang, simpang lidah, muara batu empat, sungai Kerawang dan munggguk linang. Keluarnya bisa ke selat Padang Tikar, kemudian ke muara Padang Tikar.
“Dari pengamatan masyarakat, ada dua jenis warna abu-abu dan putih. Mereka kalau muncul selalu berkelompok, paling banyak empat ekor, minimal dua ekor. Kalau populasinya kita belum tahu. Berdasarkan informasi dia sudah sangat sulit ditemukan kalau tahun 90an orang masih mudah melihat pesut,” ungkap Hasan.
Saat melakukan pemantauan Pesut, mereka keliling seluruh wilayah perairan Batu Ampar menggunakan kapal. Kemudian menunggu di spot-spot yang sudah diberi tahu. “Kalau pagi biasanya jam 9 sampai 11, kalau sore diatas jam 4,” jelasnya.
Dari tim JARI sendiri pernah lima kali melihat keberadaan Pesut, yakni di wilayah sungai Kosong Cina daerah Bunbun, depan dermaga Sungai Kerawang dan di Muara Batu Empa.”Paling sering di Batu Empat dengan di Selat Pari,” kata Hasan.
Ditempat lain, Arief Zainudin (29) mengaku waktu duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) sering melihat Pesut. Pesut masih sering muncul pada tahun 2000 ke bawah. Bahkan di depan Pelabuhan Besar Batu Ampar hampir setiap sore Pesut muncul.
“Waktu-waktu gerimis mereka muncul, saya sering lihatnya langsung dulu. Sekarang bahkan sudah keliling dengan kawan-kawan JARI selama lima hari hanya dua titik yang dapat,” ungkapnya.
Arief menuturkan, terakhir kali dirinya melihat kemunculan dua ekor Pesut tahun 2015 di daerah Selat Pendek mengarah ke Batu Ampar Kecil. “Jadi saya mancing dengan kawan-kawan dari Pontianak semacam sepok gitu kan. Begitu mereka lihat Pesut, langsung teriak heboh,” ceritanya.
Arief mengingat, dulu Pesut sering muncul pada pagi dan sore hari, apalagi waktu gerimis. “Sampai masyarakat percaya kalau dia muncul bakal ada bencana besar di air,” tutur Arief.
Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) SMA Negeri 2 Batu Ampar ini mengaku dulu, keberadaan Pesut tidak terlalu di pandang hingga sekarang jumlahnya sudah terbatas. Sehingga membuat banyak orang penasaran. Akhirnya para pemancing sengaja membuat jalur supaya juga dapat berjumpa dengan Pesut.”Saat ini bertemu Pesut yang menjadi harapan besar siapapun yang datang di Batu Ampar ini,” pungkasnya. (*)
Editor: Arman Hairiadi