Pupus Pandangan Negatif Ritual Petik Tembakau

Festival Tungguk Tembakau di Lereng Gunung Merbabu dan Gunung Merapi

RAMAI. Menyemutnya warga dalam festival Tungguk Tembakau di lerang Gunung Merbabu dan Merapi. Nasuha-INDOPOS
RAMAI. Menyemutnya warga dalam festival Tungguk Tembakau di lerang Gunung Merbabu dan Merapi. Nasuha-INDOPOS

DULU, ritual petik tembakau dilakukan secara perorangan oleh tiap-tiap petani tembakau di lereng Gunung Merbabu dan Gunung Merapi, Jawa Tengah. Namun, kini ritual dikemas dalam bentuk festival budaya.

Nasuha, BOYOLALI

eQuator.co.id – SEJAK pagi, petani di lereng Gunung Merbabu dan Merapi mulai sibuk. Dibalut hawa dingin yang menusuk tulang, petani dari tiga kecamatan di Kabupaten Boyolali tersebut mempersiapkan Festival Tungguk Tembakau.

Berpakaian sederhana khas Jawa lengkap dengan blangkon dan ikat kepala, para petani tumpah ruang di pelataran Makam Gunung Sari. Mereka berasal dari Desa Tarubatang, Desa Senden, Desa Jeruk, Desa Selo, Desa Suroteleng dan Desa Lencoh, mewakili Kecamatan Selo, Kecamatan Ampel, Kecamatan Cepogo dan Kecamatan Musok, Kabupaten Boyolali.

Festival yang sudah digelar tiga tahun terakhir ini difokuskan di dua titik yang berbeda. Pelataran Makam Gunung Sari menjadi titik awal prosesi ritual tahunan tersebut. Usai disiapkan oleh kaum perempuan secara bergotong royong, gunungan dipikul oleh para laki-laki, diarak menuju pelataran Makam Gunung Sari.

Di pelataran berukuran 12 x 10 Meter inilah seluruh gunungan dipusatkan. Ada lima gunungan besar dan empat gunungan kecil. Dua gunungan dengan tinggi 2,5 Meter dan diameter 1 Meter berupa gunungan daun tembakau. Masyarakat menjadikannya sebagai simbol gunungan lanang (laki-laki) dan satu gunungan berupa hasil bumi yang menjadi simbol gunungan wedhok (perempuan).

Dua gunungan ini sebelumnya telah melalui proses inap atau bermalam di pelataran Makam Gunung Sari. Tujuannya, sebagai simbol perwujudan rasa syukur dengan hasil panen tembakau yang melimpah.

Usai melalui ritual doa yang dipimpin oleh juru kunci Makam Gunung Sari Harjo Warsidi, kedua gunungan ini nantinya akan diarak warga menuju pusat Desa Senden.

Sementara tiga gunungan nasi berukuran besar atau biasa disebut tumpeng dan 4 tumpeng kecil lainnya, lengkap dengan lauk dan sayuran dimakan bersama-sama di pelataran Makam Gunung Sari. Menurut adat istiadat masyarakat setempat, usai prosesi ritual pengunjung yang hadir wajib makan atau menyantap makanan dari tumpeng.

“Ini sebagai simbol penghormatan rasa syukur atas karunia yang dilimpahkan kepada masyarakat di sini,” ujar Harjo Warsidi ditemui INDOPOS (Jawa Pos Group) di pelataran Makam Gunung Sari, Desa Senden, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jumat (3/8).

Dipimpin oleh pemuka adat, serangkaian doa dipanjatkan di depan makam Kyai Syech Muhamad lengkap dengan persembahan kopi, ayam ingkung (bekokok), rokok dan kembang. Sesekali nampak pemuka adat menaburkan dupa di tungku yang berada di sebelah kiri bawah pusaran makam.

“Kyai Syech Muhamad diyakini masyarakat sebagai orang yang pertama kali membabat alas di permukiman di sini,” terang pria yang kini genap berusia 73 tahun itu.

Tidak semua warga yang ingin menyaksikan prosesi ritual tertampung di pelataran Makam Gunung Sari. Sepanjang 1 Kilometer warga berbaris menunggu gunungan lanang dan wedhok diarak ke pusat desa. Dengan perbekalan yang sejak awal dibawa, warga secara bersama-sama menyantapnya.

Matahari kian tinggi, masyarakat dari Desa Senden setia menunggu arak-arakan gunungan dari pelataran Makam Gunung Sari. Sepanjang jalan menuju makam Gunung Sari, warga yang sejak awal membawa perbekalan tampak menyantap makanan secara bancakan (makan bersama). Cara ini, mereka yakini membawa berkah tersendiri.

Selesai prosesi ritual, petik tembakau sebagai simbol awal panen dimulai dan bancakan di pelataran Makam Gunung Sari, dua gunungan pun diarak menuju pusat desa Senden. Dengan dipandu gunungan lanang diangkat oleh empat pria dengan mengenakan pakaian ala prajurit. Sementara gunungan wedhok diangkat oleh delapan orang pria.

“Festival ini biasa kami gelar pada bulan Agustus. Tujuannya agar petani tembakau mendapat berkah dari masa tanam hingga petik tembakau,” kata pria yang dikaruniai empat anak dari perkawinannya dengan Temu (70).

Setibanya di pusat desa, dua gunungan disambut para warga yang sudah berkumpul sejak pagi. Kembali proses ritual doa dilakukan oleh pemuka adat, sebelum menyerahkannya kepada pemangku desa atau kepala desa. Setelah melalui sejumlah proses serah terima dua gunungan diberikan kepada para warga yang sudah menanti untuk ngalap berkah (mencari berkah).

“Biasanya semua warga yang datang akan memperebutkan hasil kebun dan tembakau dari dua gunungan. Kami meyakini, itu bisa mendapat berkah,” terang Harjo sembari mengisap rokok lintingan khas masyarakat di pedesaan.

Masyarakat tumpah ruah ingin mendapatkan hasil kebun dan tembakau yang berada di gunungan lanang atau gunungan wedhok. Tidak berhenti di situ, kemeriahan Festival Tungguk Tembakau juga dimeriahkan oleh kirab budaya dan atraksi kebudayaan tradisional. Masyarakat pun cukup terhibur dengan atraksi kuda kepang atau jathilan dan kirab busana daerah yang diiringi marching band.

Festival Tungguk Tembakau tidak hanya menarik animo masyarakat sekitar Boyolali. Beberapa wisatawan lokal dan mancanegara cukup menikmati prosesi sejak ritual hingga acara ngalab berkah. Secara perlahan, Desa Senden yang dulu sepi jauh dari hiruk pikuk perkotaan, kini menjadi rintisan Desa Wisata.

“Festival ini tidak hanya menghilangkan pandangan negatif masyarakat luas tentang persembahan dengan sesaji, tapi juga meningkatkan perekonomian masyarakat Desa Senden,” ungkap Harjo.

Sebelum Festival Tungguk Tembakau digelar, kata Harjo, petani tembakau di lereng Gunung Merbabu dan Merapi kerap memberikan sesaji di ladang . Proses ritual tersebut dilakukan sebelum petani melakukan petik tembakau secara perorangan.

“Ya, kalau dibilang repot sih, sama saja dengan pergelaran festival. Kalau dulu, kami membuat sesaji hanya ditaruh di ladang, dan dibiarkan begitu saja. Sementara, dengan festival kami lebih akrab dengan makan bancakan,” ujar pria yang mengaku dikarunia 7 orang cucu dan 4 orang buyut.

Harapan Harjo dan petani tembakau di lereng Gunung Merbabu dan Gunung Merapi, ingin ada perhatian lebih dari pemerintah daerah terhadap tradisi Tungguk Tembakau. Karena, menurut Harjo tradisi tersebut merupakan peninggalan leluhur yang harus dilestarikan dan diwariskan kepada generasi muda.

“Kami sangat senang ada perhatian dari Pemda, sehingga tradisi leluhur ini bisa dikemas dalam bentuk festival. Harapan kami festival ini benar-benar memberi berkah bagi petani tembakau di sini, baik dari hasil panen dan peningkatan perekonomian dari sektor kunjungan wisatanya,” kata Harjo sumringah. (INDOPOS/JPG)