eQuator.co.id – Masa suram jeruk akibat tata niaga berlanjut dengan ketidakpahaman merawat tanah dan pohon. Walaupun bibit di Sambas berkualitas, penggunaan pupuk kimia (anorganik) secara berlebihan memiskinkan hara tanah dan pohon.
Kondisi perkebunan jeruk di Berastagi, Kabupaten Karo, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Kabupaten Sambas. Produktivitas menurun, penggunaan bahan kimia berlebihan membuat tanah berubah jadi kritis sehingga pohon jeruk kering meranggas, lalu mati.
Namun petani Karo tetap semangat berkebun. Riset mandiri dilakukan dan pemerintah daerah melakukan penelitian intensif sehingga timbul kesadaran kolektif bahwa tanah sebagai media tumbuh jeruk yang harus diperbaiki.
“Dulu kami juga menggunakan pupuk dan pestisida kimia dalam jumlah banyak. Tapi sekarang sudah berkurang karena ternyata bahan kimia berlebihan berdampak buruk jangka panjang terhadap tanah dan tanaman,” ujar Bergiat Barus, petani yang bercerita kepada rombongan Kalbar.
Munculnya kesadaran oleh hasil riset, pemahaman petani, plus dorongan pemerintah setempat, berhasil mengubah keadaan. Di lahan Barus kini tampak hamparan kebun jeruk menguning siap panen dari pohon yang sudah berusia 22 tahun.
“Empat tahun produksi jeruk saya jauh merosot. Pupuk kimia yang diberikan tidak lagi mampu menopang pertumbuhan tanaman, akhirnya saya biarkan saja. Hanya tanaman kopi yang saya rawat,” ungkapnya.
Memang, lahannya tidak ditanami komoditas tunggal. Di antara jeruk ada pohon kopi yang menurutnya disiapkan sebagai pengganti alias alternatif. Sebab, tanaman jeruk ketika itu semakin meranggas dan sudah ada yang benar-benar mati.
Akhirnya, sekitar sembilan bulan lalu, seorang penyuluh swadaya, yang juga promotor dari salah satu perusahaan yang memproduksi bahan organik, memberikan bimbingan. Penyuluh memintanya menggunakan bahan organik untuk menyehatkan kembali pohon jeruknya. Bahan organik seperti bakteri untuk sterilisasi tanah, kompos, maupun pupuk kandang, diaplikasikan ke setiap pohon yang sakit alias meranggas.
Standar aplikasi dan input yang digunakan disiapkan, tinggal menjalankan prosedur yang ada. “Sebulan pertama setelah aplikasi tidak nampak perubahan dan saya sempat kecewa kepada kawan saya itu. Saya bilang, tidak ada yang berubah dan kamu jangan datang lagi ke sini,” ucap Barus dengan logat Batak yang kental.
Ternyata, perubahan mulai tampak pada bulan kedua. Ranting yang sudah tidak berdaun mulai mengeluarkan tunas muda. Bahkan, ada yang langsung membawa bunga.
Di titik itu, Barus mulai yakin tanaman jeruknya bisa kembali sehat dan standar prosedur yang sudah disiapkan itu dia lanjutkan. “Saya telpon lagi kawan saya itu. Saya bilang sudah ada perubahan dan saya minta maaf. Dia saya minta datang lagi ke lahan saya untuk melanjutkan aplikasi perbaikan tanah,” bebernya.
Hingga pada pelaksanaan aplikasi pada bulan ke-9, tanaman sudah benar-benar sehat dan bisa berproduksi kembali seperti semula. Bahkan, lebih subur lagi.
Dulu rumput yang tumbuh dimusnahkan dengan disemprot herbisida, sekarang tidak lagi. Cukup membersihkan tanah di sekitar piringan seluas tajuk pohon untuk aplikasi pemupukan. Menebas rumput menggunakan mesin tebas terutama ketika mulai masuk masa panen.
“Tanaman yang sudah mau mati bisa bagus lagi. Saya tak percaya awalnya, tapi saya sudah membuktikannya,” seru Barus.
Tarigan, penyuluh swakarsa yang dipercaya petani di beberapa kabupaten penghasil jeruk Sumatera Utara, punya pengalaman membenahi tanaman rusak. Kata dia, masalahnya hanya satu, kalau terus gunakan bahan kimia baik pupuk maupun herbisida, dan pestisida, umur jeruk tidak akan panjang.
Kuncinya, kembali ke pola organik. Selain umur pohon jeruk sampai puluhan tahun dengan usia produktif yang panjang, panen terus meningkat. Tarigan kini menangani lahan seluas 10 hektar milik seorang pengusaha.
“Ada pohon jeruk yang usianya sudah puluhan tahun tidak produktif lagi, kini berhasil disehatkan,” ungkap dia.
Itu perlu perlakukan khusus pertanaman yang bermasalah hingga bisa sehat kembali. “Yang pertama dilakukan adalah menyehatkan tanahnya. Sebagian akar tanaman saya potong dengan cara menggemburkan tanah dan ditaburi pupuk kandang yang sudah didekomposisi,” jelasnya.
Tarigan juga menerapkan pemberian bakteri untuk mensterilkan tanah selama sebulan. Perpohon dibutuhkan pupuk kandang terdekomposisi sebanyak 40 kilogram. Juga tak menggunakan racun rumput, cukup ditebas.
“Untuk tanaman di bawah 10 tahun, produksi bisa mencapai 70-80 kilogram pertahun, dan yang di atas 15 tahun mencapai 150 kilogram pertahun,” jelasnya.
Singkat kata, menggunakan bahan-bahan organik jadi hal terpenting untuk memperbaiki kerusakan lahan dan tanaman. Meskipun masih ada pemakaian pupuk kimia, jumlahnya jauh berkurang.
Tarigan sempat memuji Kalbar untuk pengadaan bibit. Di Sumut, terang dia, bibit tidak diperlakukan khusus. Bisa diambil dari tanaman yang sehat dan produksinya bagus.
“Tidak seperti di Kalbar yang memiliki sumber bibit sehat seperti Blok Pondasi Mata Tempel (BPMT). Intinya perbaikan fisik, kimia, dan biologi tanah, karena tanah adalah pondasi awal untuk pertumbuhan. Karena itu, tanah lah yang pertama diperbaiki,” pesannya.
PUPUK ANORGANIK
Petani jeruk dari Sambas, Suaidi, Suriadi, Sujono, dan Penyuluh Kecamatan Tebas Suliati serta Abdul Gani, bersemangat menggali ilmu dari petani jeruk di Tanah Karo. Mereka baru sadar tentang pentingnya kualitas tanah, penggunaan bahan kimia, dan pupuk anorganik, yang selama ini tak mereka pahami.
Dalam acara melihat-lihat agribisnis jeruk di Karo pekan lalu, 28-31 Juli 2016, para petani dan praktisi Sambas serius menyerap pengetahuan untuk memperbaiki kualitas tanah serta bahan organik yang digunakan. Sehingga tanah bisa menjadi tempat tumbuh yang baik untuk jeruk.
Memang menyedihkan, petani dari sentra jeruk siam terbesar di Indonesia yang pernah menguasai pasar se Nusantara harus belajar dari petani yang relatif lebih ‘muda’. Perbandingannya tentu mengingat Tebas yang sejak zaman Belanda sudah kenal jeruk siam.
Pascatataniaga dan keterpurukan komoditas yang lebih dikenal sebagai jeruk Pontianak setelah KUD tenggelam dan petani memulai lagi dekade 90-an, sempat banyak yang menyerah. Dulu kebun diforsir dengan pupuk kimia agar produksi tinggi. Akhirnya pohon meranggas banyak yang mati.
“Malas beh Pak, ndak an ade harge. Pupok mahal ongkos tinggi. Katenya ade pupok nang mematikan pohon dalam umor tertentu,” tutur seorang penjual jeruk, A Luk, dalam logat Sambas yang kental.
Kecurigaan ada pupuk yang sengaja disebar untuk mematikan jeruk Tebas pun sempat tinggi, menyusul minimnya bimbingan dari otoritas perkebunan. Dulu, banyak sawah yang diubah jadi kebun jeruk lantaran harga tinggi. Kini, pada mati suri.
Hanya petani tradisional turun temurun berkebun jeruk, dan juga petani konvensional dengan kegigihan untuk belajar dan berusaha, yang tetap merawat kebunnya.
Kemarin, harga jeruk di Pontianak menyentuh harga Rp10.000 untuk grade A dan Rp6.000 kelas buah guli. Biasanya, jeruk Tebas lumayan langka dengan harga Rp20-25 ribu grade A. Akankah buah ikon Kalbar, Si Manis Bundar, ini berkembang lagi? (*/bersambung)
Isfiansyah dan M. Ridho