Petani Kalbar Belum Sejahtera

Pengamat Saran Bangun Usaha Pertanian Berkelanjutan

Ilustrasi.NET

eQuator.co.id – PONTIANAK-RK.  Kesejahteraan petani Kalimantan Barat di tahun ini kian merosot. Hal itu terlihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang cenderung turun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Desember 2018 misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) Kalbar mencatatkan NTP terendah di tahun ini sebesar 94,66 poin.

Kepala BPS Kalbar, Pitono menyebut, NTP Desember 2018 turun 0,63 persen dibanding NTP bulan November 2018 yaitu 95,26 poin.

“Ada dua NTP subsektor yang mengalami penurunan jika dibandingkan dengan November 2018, yakni hortikultura dan tanaman perkebuanan rakyat,” katanya, Sabtu (5/1).

Dia menyebut, penurunan tersebut lantaran indeks harga yang diterima petani turun 0,24 persen dan indeks harga yang dibayar petani naik 0,39 persen.

NTP Hortikultura (NTPH) Desember 2018 sebesar 98,77 poin, turun 1,34 persen dibanding November 2018. Dan NTP Tanaman Perkebunan Rakyat (NTPR) sebesar 89,36 poin turun 2,70 persen dibanding November 2018.

Sementara NTP Tanaman Padi dan Palawija (NTPP), NTP Peternakan (NTPT), NTP Perikanan (NTPN), NTP Perikanan Tangkap dan NTP Perikanan mengalami kenaikan.

Pitono bilang, jika dibandingkan dengan NTP Nasional, Kalbar masih cukup tertinggal. Secara nasional, NTP pada bulan Desember 2018 justru naik 0,04. Sehingga menjadi 103,16 poin dari yang sebelumnya 103,12 poin di bulan November 2018.

“NTP nasional sudah tembus 100 poin, Kalbar belum,” jelasnya.

Secara umum, menurutnya, NTP di tahun ini cenderung mengalami penurunan. Pada Januari 2018, NTP tercatat sebesar 98,39 persen. Angka ini terus mengalami penurunan, terutama sejak Juni 2018.

NTP tercatat tidak pernah tembus 96 poin. Sementara, dalam kurun waktu dua tahun terkahir, NTP tercatat tidak pernah menyentuh angka 100 poin. NTP tertinggi tercatat pada Januari 2018 yang lalu.

Menilik data tersebut, pengamat ekonomi Untan, M Ali Nasrun menilai kesejahteraan petani Kalbar memang belum menggembirakan. Skala usaha yang terbilang kecil menurutnya, menjadi salah satu sebab.

Dia bilang, kebanyakan, usaha pertanian yang dikelola oleh petani masih berskala kecil, terutama untuk padi dan holtikultura.

“Berbeda dengan usaha pertanian dengan skala besar, ongkos produksinya bisa ditekan. Kalau kecil memang agak besar jadinya,” sebutnya, Minggu (6/1).

Hal tersebut, juga diperparah dengan minimnya penggunaan teknologi-teknologi di bidang pertanian. Petani kebanyakan masih menggunakan cara-cara lama dalam sistem pertaniannya. Secara kuantitas maupun kualitas usaha, jauh berbeda dengan pertanian yang memanfaatkan teknologi.

Ini juga tidak jauh berbeda dengan perkebunan. Petani sawit, karet, maupun kopra, tahun ini juga mengalami kesulitan. Harga-harga ketiga komoditas itu,  makin rendah saja. Hal ini pun terlihat dari NTPTPR di bulan Desember 2018 yang hanya mampu mencatatkan angka  sebesar 89,36 poin, dan mengalami penurunan 2,70 persen dibanding November 2018.

“Memang begitu, trennya sekarang harga-harga komoditas, semakin ke sini, semakin rendah,” katanya.

Karena itu, Ali menyarankan, pemerintah perlu membangun sebuah ekosistem usaha pertanian yang berkelanjutan. Di sisi lain, perlu pula mendorong lahirnya industri di bidang pertanian. Misalnya seperti yang sudah dilakukan oleh sejumlah negara lain.

“Terbukti dengan pembangunan industri tersebut, secara kualitas maupun kuantitas, produksi pertanian mereka jauh lebih baik,” tandas Ali.

 

Laporan : Nova Sari

Editor : Andriadi Perdana Putra