Petaka Miras Oplosan

Oleh : Y Priyono Pasti*

Drs. Y PRIYONO PASTI
Drs. Y PRIYONO PASTI

 eQuator.co.id – Akibat minuman keras (Miras) oplosan sebanyak 33 korban tewas di Jadetabek, Minggu (15/4). Korban meninggal akibat miras oplosan di Yogyakarta mencapai 24 orang, dan di Bandung setidaknya 51 orang. Selain itu, 20 orang tewas di Cicalengka, di Garut, Jawa Barat sebanyak 25 orang, di Sumedang ada 8 orang tewas, sebanyak 13 orang juga menjadi korban miras oplosan, 5 orang diantaranya meninggal dunia, Rabu (25/4).

Itulah sejumlah contoh berita tragis terkait bahaya mengonsumsi miras oplosan, dan masih banyak berita tragis sejenis lainnya. Sejumlah berita pilu dan mengharu biru tentang kondisi darurat dan petaka miras oplosan yang terjadi di sejumlah daerah di negeri ini.

Korban miras oplosan terus berjatuhan di sejumlah wilayah negeri ini. Puluhan, bahkan kini ratusan warga tewas sia-sia gara-gara mengonsumsi miras oplosan yang sama sekali tak terdaftar dalam Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM) itu.

Belakangan ini, mengingat dampak berbahaya (bahkan mematikan) yang ditimbulkannya, miras oplosan menjadi fenomena sosial yang sangat meresahkan dan memprihatinkan. Racikan miras oplosan menggunakan campuran bahan-bahan berbahaya seperti etanol, sitrun, tiner, krim oles antinyamuk, dan bahan-bahan berbahaya lainnya, menjadikan miras oplosan tak ubahnya racun berbahaya yang setiap saat bisa menghilangkan nyawa peminumnya.

Pertanyaan reflektif-substantifnya adalah mengapa peristiwa tragis akibat miras oplosan terus saja berulang? Mengapa sejumlah warga seakan tak takut kehilangan nyawanya dan menganggap aktivitas mereka minum miras oplosan justru sebagai cara mereka untuk memperlihatkan eksistensi dan identitas sosialnya? Adakah ‘kebiasaan’ mereka minum miras oplosan menjadi penanda, bahwa mereka termasuk dalam kelompok yang menyimpang?

Dari realitas empiris yang ada, sejumlah nyawa melayang sia-sia itu, umumnya warga yang status ekonominya berada pada lapisan alas. Kebanyakan korban berasal dari golongan bawah seperti buruh bangunan, tukang ojek, pengangguran, sopir angkutan, pelajar dan anak-anak muda yang marjinal.

Ada sejumlah faktor yang menyebabkan sejumlah warga (lebih-lebih kalangan remaja marjinal) melakukan kebiasaan minum miras oplosan. Setidaknya ada tujuh faktor penyebabnya. Pertama, pengaruh teman sebaya. Ketika remaja bergaul dengan teman sebaya yang memberikan pengaruh positif, maka mereka akan jauh dari sentuhan minol-mikol-apalagi miras oplosan. Sebaliknya, jika mereka memiliki teman sebaya dengan kebiasaan yang suka minum minol-mikol, bahkan miras oplosan, maka mereka sangat mungkin akan mengikuti dan melakukan kebiasaan buruk tersebut.

Kedua, kebiasaan dalam lingkungan (keluarga). Remaja yang tumbuh dalam lingkungan dimana alkohol secara teratur disediakan oleh orang tua mereka dalam pergaulan sosial mereka, sangat memungkinkan mereka   ikut pesta minuman keras (miras) diusia labil tersebut. Kondisi ini semakin parah karena ada anak-anak yang coba-coba diberikan minol-mikol oleh orang tuanya sendiri dalam sebuah pesta atau acara khusus.

Ketiga, kemudahan remaja untuk mendapatkan minol-mikol-bahkan miras oplosan turut berkontribusi mendorong pola konsumsi minuman keras mereka semakin tinggi. Remaja Indonesia yang kuliah di luar negeri misalnya, mungkin mereka akan terpengaruh untuk mencoba minol-mikol karena masing-masing negara memiliki aturannya sendiri dalam penggunaan alkohol.

Keempat, pengaruh media (film/sinetron). Sebagaimana dilansir  Journal of Pediatrics, remaja yang sering menonton adegan penggunaan minol dalam film, hal itu sangat memungkinkan mereka melakukan hal yang sama sebagaimana yang selalu mereka saksikan/tonton dalam adegan film tersebut.

Kelima, pengaruh teknologi-informasi. Kemudahan anak dalam menggunakan media sosial untuk mengakses rupa-rupa informasi termasuk mengakses hal-hal yang negatif bahkan hal-hal bodoh itu sangat memungkinkan mereka terpengaruh melakukan minum miras. Keenam, sarana pelarian dari beban hidup yang mendera serta sebagai cara mereka untuk memperlihatkan eksistensi dan identitas sosial kelompoknya.

Ketujuh, inkonsistensi dan tak konsekuen dalam penerapan perda miras dan masih lemahnya tindakan aparat hukum dalam memberikan hukuman berat terhadap pengkonsumsi maupun penyedia miras oplosan. Fakta yang terjadi selama ini, regulasi yang mengatur peredaran miras sama sekali tak diindahkan. Lihat saja, masih banyak toko dan minimarket yang leluasa menjual miras, walaupun lokasinya berada di sekitar pemukiman penduduk, dekat sekolah/kampus, tempat ibadah yang jelas-jelas dilarang. Mereka juga bebas menjual miras kepada remaja di bawah umur yang tentu saja sangat awam terhadap dampak buruk dari mengonsumsi miras.

 Upaya Pencegahan

Keberadaan miras oplosan dengan segala dampaknya yang sungguh membahayakan itu mesti disikapi secara serius dan dilakukan penanganan tuntas agar tak ada lagi nyawa-nyawa yang melayang sia-sia. Masalah miras oplosan bukan hanya menjadi masalah dan tanggung jawab pemerintah, aparat keamanan dan penegak hukum. Miras oplosan menjadi masalah dan tanggung jawab kita semua. Sebagai warga masyarakat, kita mesti turut aktif bahkan proaktif melakukan upaya-upaya pencegahan beredarnya miras oplosan itu.

Ada sejumlah hal yang mesti dilakukan agar miras oplosan itu tak lagi menjadi ‘hantu’ dan ‘malapetaka’ yang terus mengganggu tatanan kehidupan sosial di masyarakat kita. Diantaranya, regulasi, tindakan/sanksi tegas, hukuman maksimal plus dakwaan berlapis bagi produsen, penyedia, pengedar, dan peminum (pengonsumsi) oleh pihak-pihak berkompeten sehingga membuat efek jera mutlak dilakukan.

Setiap keluarga harus membangun komunikasi kultural di lingkungan keluarganya, aktif dan bahkan proaktif menjelaskan secara persuasif tentang dampak buruk mengonsumsi miras oplosan bagi kesehatan dan kehidupan sosial. Setiap keluarga mesti melakukan pengawasan ketat terhadap aktivitas anak-anaknya agar tak terjerumus dan masuk dalam kubangan miras oplosan yang menyengsarakan bahkan mematikan itu.

Sosialisasi dan kampanye melalui berbagai media terkait bahaya mengonsumsi miras oplosan, terutama di kalangan remaja sungguh menjadi keniscayaan bahkan tuntutan. Lembaga-lembaga advokasi dan konsultasi terkait dampak buruk miras oplosan harus disediakan dan difungsikan secara optimal.

Dalam melakukan kontrol sosial peredaran miras oplosan di kalangan masyarakat, tindakan mengedukasi masyarakat melalui berbagai kegiatan mesti menjadi pengarus-utamaan agar masyarakat terhindar dari bahaya miras oplosan.

Poster, slogan, kata-kata bijak yang memuat informasi antimiras oplosan, antipenjualan miras oplosan, antimengonsumsi miras oplosan mesti dibuat, dilakukan dan disebarkan kepada masyarakat sebagai media penyadaran publik akan bahaya miras oplosan. Sosialisasi dan kampanye antimiras oplosan bisa dilakukan melalui media sosial seperti Facebook, Whatsapp (WA), Twitter, Blok, Vlog, dan media sosial lainnya.

Miras oplosan adalah musuh kita bersama. Mari kita kumandangkan secara lantang teriakan perang terhadap miras oplosan. Mari kita berperan aktif menihilkan miras oplosan, minimal di sekitar lingkungan kita. Kita sungguh berharap melalui rupa-rupa upaya yang kita lakukan tak ada lagi warga masyarakat kita yang tewas sia-sia gara-gara mengonsumsi miras oplosan. Semoga demikian!

 

*Alumnus USD Yogya, Humas SMP dan SMA Santo Fransiskus Asis, Kota Pontianak