Perusahaan Tambang Wajib Lakukan Reklamasi

Aktivitas Pertambangan Sebabkan Hutan Kalbar Berkurang

SEMINAR. Sutarmidji memberikan sambutan pada seminar pertambangan di salah satu hotel di Jalan Gajahmada, Pontianak Sabtu (15/11). Rizka Nanda-RK

eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Berkurangnya wilayah hutan di Kalbar salah satunya disebabkan perusahaan-perusahaan pertambangan. Perusahaan-perusahaan ini diminta melakukan reklamasi pertambangan.

“Aturan-aturan terkait pertambangan ini dikelola dengan baik dan tidak diawasi dengan baik serta ditindak dengan baik, maka akan membawa dampak kerusakan lingkungan yang luar biasa,” terang Gubernur Kalbar Sutarmidji usai membuka seminar pertambangan bertajuk ‘Perlindungan Lingkungan dan Reklamasi Lahan Bekas Tambang Demi Pembangunan Berkelanjutan’ di salah satu hotel di Jalan Gajahmada, Pontianak, Sabtu (15/11).

Ditegaskan mantan Wali Kota Pontianak dua periode yang karib disapa Midji ini, perusahaan pertambangan mempunyai kewajiban untuk melakukan reklamasi di wilayah bekas pertambangan tersebut. Walau pertambangan batubara lebih sulit untuk dilakukan reklamasi. Namun dengan berbagai rekayasa teknologi pertanian sekarang wilayah bekas batubara bisa ditanami pohon. “Pertambangan itu salah satu kewajibannya melakukan reklamasi di wilayah bekas pertambangan itu. Karena bagi pelaku usaha pertambangan wajib melakukan reklamasi,” tegasnya.

Midji mengingatkan perusahaan pertambangan segera melakukan reklamasi agar tidak menjadi permasalahan besar di Kalbar. Sebab ia melihat beberapa provinsi di pulau Kalimantan banyak perusahaan pertambangan yang belum melakukan reklamasi dan akhirnya menyebabkan permasalahan.

“Saya mengingatkan untuk segera melakukan reklamasi sebelum menimbulkan permasalahan di Kalbar. Saya ingatkan kembali, reklamasi itu penting,” tuturnya.

Dijelaskan dia, berdasarkan data tahun 2014 luas kawasan hutan yang digunakan untuk pertambangan sekitar 402.000 hektare. Dia memprediksi jumlah luas untuk pertambangan saat ini jauh lebih meningkat dari sebelumnya.

“Mungkin saat ini sudah menjadi 2 hingga 3 kali lipat, maka banyak terbentuk kolam-kolam bekas pertambangan yang sudah tidak digunakan lagi,” paparnya.

Midji mengapresiasi seminar pertambangan yang diselenggarakan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) itu. Ia berharap, seminar kemarin bisa menjadi bahan untuk membangun Kalbar di masa pemerintahannya yang lebih baik kedepan.

Sementara itu, Ketua Perhapi Kalbar, Rudy Noviady mengatakan, Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berkaitan dengan pembangunan ekonomi nasional yang diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. “Sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh,” ujarnya.

Rudy menegaskan, secara tersurat UU Perlindungan Lingkungan Hidup tersebut sudah memvonis bahwa kualitas lingkungan hidup di Indonesia sudah semakin menurun. Itu sebabnya Undang-Undang itu dibuat dan ditetapkan untuk yang kesekian kalinya. Sejak UU Nomor 23 Tahun 1997 pertama kali diberlakukan.

“Namun, apakah untuk konteks sektor pertambangan juga sudah demikian kondisinya? Apakah kualitas lingkungan hidup sekitar wilayah pertambangan sudah menurun, dan mengancam kelangsungan hidup?” tanya dia.

Ia menilai masing-masing pemangku kepentingan tentu punya jawaban yang mungkin berbeda-beda. Perhapi Kalbar sebagai sebuah perhimpunan profesi di bidang pertambangan mencoba mengaktualisasikan amanah Undang-Undang Perlindungan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara dalam sebuah seminar.

“Tahun 1970-an merupakan awal permasalahan lingkungan secara global yang ditandai dengan dilangsungkannya Konferensi Stockholm tahun 1972,” ungkapnya.

Konferensi yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PPB) ini akhirnya ditetapkan sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Kemudian tahun 1987 terbentuk Komisi Dunia tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development). “Kemudian melahirkan konsep sustainable development,” jelasnya.

Dijelaskan Rudy, makna utama reklamasi pertambangan adalah upaya nyata dari konsep perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Sehingga seminar ini dibuat sebagai salah satu upaya menarik benang merah antara pertambangan dengan lingkungan hidup.

“Sepintas keduanya merupakan hal yang berbeda, seperti antara sebab dan akibat, dan bahkan sering dikotomikan saling bertentangan dan mungkin bermusuhan dalam tanda petik,” tuturnya.

Menurutnya, hingga hari ini stigma pertambangan adalah suatu kegiatan yang merusak lingkungan masih terus melekat. Sehingga pihaknya berpendapat reklamasi lahan solusi yang tepat. Pemprov Kalbar melalui Dinas ESDM dan Dinas Lingkungan Hidup selama ini sudah memberikan kebijakan-kebijakan yang nyata. Pada upaya pengelolaan usaha di bidang pertambangan dan lingkungan alam. “Bentuknya penyelenggaraan pengkajian dan penilaian dokumen-dokumen teknis serta lingkungan,” paparnya.

Begitu pula dengan Dinas PMPTSP sudah memberikan pelayanan perizinan yang cepat dan transparan. Sehingga pada akhirnya Pemprov Kalbar dapat menciptakan iklim berinvestasi yang baik di bidang pertambangan.

 

Laporan: Rizka Nanda

Editor: Arman Hairiadi