Pemerintah, Seriuslah Pulihkan Jeruk Sambas

Sedihnya Sampai Harus Belajar ke Berastagi (Bag. 3/Selesai)

TURUN TEMURUN. Fauzi memperlihatkan tanaman jeruknya yang baru berusia tiga tahun dan baru satu kali panen, di Kecamatan Tebas, Sambas, Rabu (3/8). Bisnis turun temurun dari ayahnya itu sempat membuatnya jatuh bangun. M. Ridho-RK

eQuator.co.id – Masih kontributif pada perekonomian daerah, namun kejayaan jeruk siam di Kabupaten Sambas tak semasif dulu. Jatuh bangun bisnis Si Bundar Manis dalam perjalanannya diterpa faktor internal yang membebani petani dan pengusaha local. Ditambah ketamakan eksternal bisnis bermodal politik tata niaga orde baru.

Era 90-an misalnya, siapa peduli dengan keterpurukan petani yang tanamannya disambar citrus vein phloem degeneration (CVPD). Setidaknya, lima tahun jeruk lenyap dari permukaan tanah Kabupaten Sambas. Bahkan hingga awal 2000-an, ancaman virus itu masih membayangi. Walaupun tidak punah seperti keprok Garut yang terkenal.

Bagaimanapun, hingga 2015, sebanyak 19 kecamatan masih mengandalkan jeruk dengan tetap mempertahankan tanaman primadona itu. Tak kurang dari 3.554.561 batang pohon dipelihara dengan baik di atas lahan seluas 8.886,41 hektar.

Data yang tercatat pada Bidang Holtikulura Distanak Kabupaten Sambas merinci hingga tahun lalu. Tanaman produktif berjumlah 2.191.023 pohon di lahan seluas 5.477,56 hektar. Selebihnya, 613.226 pohon di atas lahan 1.533,14 hektar belum menghasilkan buah.

Dari 19 kecamatan, Kecamatan Tebas di posisi teratas. Di sana, tercatat tumbuh 1.282.740 pohon jeruk dengan luas lahan 3.206, 85 hektar. Tanaman produktif 567.840 batang, seluas 1.419,60 hektar. Tanaman yang belum menghasilkan 114.900 batang di atas lahan 287,25 hektar.

Diikuti Kecamatan Salatiga dengan 427.525 batang di atas lahan seluas 1.068,81 hektar. Yang produktif 294.650 pohon di lahan 736,63 hektar. Tanaman yang belum menghasilkan 82.875 batang pada lahan 207,19 hektar.

Di urutan ketiga Kecamatan Semparuk dengan 411.200 batang, luas lahan 1.028 hektar. Luas tanam produktif 372.000 batang di lahan 930 hektar. Tanaman yang belum menghasilkan 19.200 batang seluas 48 hektar.

Setakat ini, belum diperoleh data berapa ribu petani dan keluarganya yang terlibat dalam perkebunan dan bisnis jeruk yang kerap disebut dari Pontianak meski dihasilkan di Kabupaten Sambas secara keseluruhan itu. Namun, pemasarannya masih menjangkau Jakarta, Semarang, Surabaya, Kalteng, serta Kalbar sendiri.

PERHATIAN PEMERINTAH

Petani jeruk di utara Kalbar boleh dibilang mandiri mempertahankan holtikultura yang beken beberapa tahun silam ini. Mereka butuh perhatian otoritas pertanian yang seharusnya terbuka matanya dengan potensi besar jeruk Kalbar.

Fauzi (40 tahun), petani jeruk Desa Serumpun Buluh, Kecamatan Tebas, mengalami pahitnya serangan penyakit hingga tata niaga KUD yang dikendalikan pebisnis era Orba. Ditambah menghilangnya pupuk, meranggasnya pohon akibat lahan rusak. Muaranya, ia sempat membabat semua pohon jeruknya.

“Baru tiga tahun terakhir ini tanam lagi 360 batang. Umur tiga tahun, jeruk baru mulai produktif. Dan, paling cepat empat tahun baru banyak buahnya. Sekarang kita baru sekali panen. Kualitas buah masih belum bagus dan setahun lagilah ada hasil,” tuturnya di Tebas, Rabu (3/8).

Dia menanam jeruk turun temurun dari ayahnya. Sekarang yang ditanamnya bibit siam jenis tempel diperoleh dari penangkar di Kecamatan Tebas dengan harga Rp6.000 perbenih. Pupuk dibeli di pasar karena Koperasi Unit Desa (KUD) sudah tinggal nama.

“Pupuk mudah didapat tapi harganya tinggi. Pupuk Pelangi sekarung Rp125 ribu, Urea juga sama harganya. Pupuk Cantik kurang lebih Rp350 ribu dan pupuk organik Rp20 ribu,” tutur Sarjana Ekonomi jebolan Universitas Tanjungpura ini.

Fauzi menjual hasil panennya ke penampung dengan kisaran harga bergantung ukuran (grade). Jeruk AB dihargai Rp5.000/Kg, kelas C seharga Rp4.000, dan D dibeli Rp3.000. Sedangkan E alias buah guli Rp2.000. Penampung sudah punya langganan di Kota Pontianak untuk memasarkan jeruknya.

“Kalau bicara ekonomi, jeruk masih ada harapan karena mudah menjualnya ke penampung. Agar berkembang dan kembali jaya, kita berharap pemerintah dapat membantu, baik bibit, normalisasi, dan pupuk. Termasuk penyakit jeruk yang masih menjadi kekhawatiran petani,” ungkapnya.

Permintaan seperti ini menunjukkan otoritas pertanian di Provinsi kurang peduli terhadap jatuh-bangunnya komoditi yang sebenarnya mampu mengangkat ekonomi rakyat. Sementara, dinas di kabupaten tak begitu berdaya untuk memasukkan bantuan ke APBD dalam rangka pembinaan.

Sependapat, Bandi (51 tahun). Petani asal Dusun Sidang, Desa Matang Labong, Kecamatan Tebas, ini baru menanam jeruk sekitar 200 batang. Juga bibit tempel berusia 3 tahun.

“Sampai usia 4 tahun harus aktif membersihkan batang seperti potong suli atau tempelan bawah agar buahnya tidak masam. Buah pertama kita buang agar pohon cepat besar dan kedepan berbuah banyak,” jelasnya.

Di sisi lain, penggunaan pupuk anorganik sepertinya suatu ketergantungan. Pola pemupukan sudah menjadi rutinitas petani untuk menyuburkan dan merangsang pembuahan yang lebat. Itu dilakukan M. Ali (59 tahun) terhadap 100 batang pohon jeruknya di Desa Sungai Kelambu, Kecamatan Tebas. Kata dia, pupuk merk Phonska digunakan kemudian menaburkan 3 ons garam supaya buahnya manis.

“Kita sudah tiga kali panen. Setahun dua kali panen,” tuturnya.

Selain penampung, agen juga menghargai jeruk AB dengan Rp5.000/Kg. Petani tak ada urusan agen menjualnya kemana lagi. Yang jelas, setelah panen uang mengalir ke desa agar perekonomian petani se-kabupaten tetap hidup.

“Kita berharap pemerintah membantu pengembangan bibit jeruk. Seringlah turun ke lapangan memberikan penyuluhan, membantu penyaluran pupuk subsidi. Tidak seperti sekarang, harganya sangat tinggi. Begitu pula pestisida atau insektisida dan lainnya untuk kembali menjayakan jeruk Sambas,” harap Ali.

Ternyata, kebanyakan petani jeruk Kabupaten Sambas dan petani holtikultura lainnya di Kalbar perlu memahami pertanian organik sebagai jawaban masa depan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Sudah ada “sponsor” yang boleh jadi memasarkan pupuk serta pestisida organik yang ramah lingkungan. Tentu saja tak sekadar bisnis, tetapi harus membuktikan hasilnya. (*/habis)