Pelayan Level Read and React

Oleh: AZRUL ANANDA

eQuator.co.id – Dalam perjalanan hidup saya, ada satu hal yang sekarang sangat saya syukuri. Yaitu pernah menjadi pelayan di restoran.

Gara-gara krismon waktu kuliah di Amerika dulu, saya terpaksa jadi pelayan restoran. Dengan upah minimum per jam, yang kalau ditotal sebulan tidak cukup untuk membayar biaya apartemen, tapi cukup untuk mengurangi beban kiriman dari orang tua.

Siapa bilang jadi pelayan itu gampang? Dulu harus ada tahapannya, tidak boleh langsung bertemu customer. Harus cuci piring dulu, bersih-bersih meja dan lantai dulu, tukang angkut makanan dan minuman dulu, membantu koki dulu, baru level tertinggi: Melayani customer.

Dasar waktu itu masih bau kencur, sempat heran juga kenapa begitu njelimet tahapannya. Kan ”cuman” jadi pelayan restoran?         Ternyata itu ada logikanya.

Bagaimana bisa dengan baik melayani customer kalau tidak hafal seluk beluk restoran dan menu-menunya. Plus, bagaimana bisa memaksimalkan revenue dan keuntungan restoran kalau tidak hafal seluk beluk menu restoran dan mampu menebak/membaca keinginan customer.

Jadi pelayan ternyata benar-benar level tertinggi, ujung tombak pemasukan restoran. Belajar dari pengalaman kuliah itu, plus sering makan di luar (he he he), saya menyimpulkan ada tiga level kemampuan pelayan.

Pertama, level tanpa sistem. Kedua, level robot. Dan ketiga, meminjam istilah basket: Level read and react.

Level pertama biasanya di tempat-tempat tradisional. Saya pernah memutuskan untuk tidak makan selama tiga bulan di sebuah depot soto dan nasi goreng karena level tanpa sistem itu.

Memang kasihan sih, pelayannya pasti tidak pernah mendapat pelajaran customer service, dan pemilik depotnya mungkin juga tidak pernah belajar bagaimana melayani secara sistematis.

Kejadiannya, waktu itu saya pesan nasi goreng Jawa. Setelah menunggu agak lama, lha kok nasi goreng itu malah diberikan kepada orang yang justru baru saja duduk, yang kebetulan pesan menu sama.

Karena sedang lapar, ya sempat marah juga. Dan saya putuskan tidak makan di sana selama tiga bulan. Pindah ke tempat lain. Padahal setiap Selasa dan Kamis kami sering makan di sana setelah latihan sepeda pagi hari. Setiap kali makan kelompok kami memberi kontribusi sekitar Rp 200-300 ribu.

Dalam tiga bulan, itu berarti penghasilan depot soto dan nasi goreng itu berkurang minimal Rp 4.800.000. Tidak banyak sih, tapi loss revenue ya tetap loss revenue.

Level kedua, level robot, bisa dialami di restoran yang bersifat waralaba. Untuk memastikan pelayanan yang sestandar mungkin, pelayannya dipaksa untuk menghafalkan ucapan-ucapan tertentu untuk menimpali pesanan atau pertanyaan customer.

Kadang-kadang terasa berlebihan sekali. Terasa kalau itu sebuah hafalan, bukan pemikiran murni sang pelayan.

Misalnya di sebuah restoran pizza, sang pelayan langsung seperti mengikuti aturan ucapan, menyebutkan opsi dan menu-menu. Seperti anak SD zaman dulu waktu ujian menghafalkan Pancasila di depan kelas. Lalu, setelah kami memesan sesuatu, pelayannya langsung menimpali: “Itu pilihan yang tepat”.

Lha terus yang tidak tepat apa? Belum lagi kalau ucapan itu diikuti dengan standar gerakan tertentu, seperti menempelkan kedua tangan dan menekukkan lutut.

Susahnya jadi pelayan di tempat seperti itu, seperti harus menghafalkan undang-undang dan ikut pelajaran baris-berbaris.

Aman? Mungkin ya. Tapi jadi kurang ”hangat” dan rasanya kok tidak natural ya?

Level tertinggi, yang paling saya kagumi dan sulit dicapai, adalah level read and react.

Istilahnya saya pinjam dari permainan basket. Sama seperti jadi pelayan, strategi basket itu menurut saya juga tiga level. Yang pertama tanpa sistem alias ngawur semaunya. Yang kedua level robot di mana harus menuruti setiap set play yang ditentukan. Dan yang ketiga level read and react.

Di level read and react, pemain dituntut untuk memahami penuh semua set play atau sistem yang ditetapkan pelatih. Tapi tidak wajib menurutinya secara utuh. Kalau situasi berubah, lawan melakukan penyesuaian, sang pemain secara instan harus ikut menyesuaikan tapi masih dalam sistem yang ditentukan pelatih.

Read dulu, baca reaksi lawan, lalu react alias menyesuaikan. Di basket, tim yang pada level read and react bisa menjadi tim yang sangat sulit ditaklukkan. Karena bisa mematahkan segala strategi yang digunakan lawan.

Sebagai bonus, tim yang read and react bisa menyuguhkan permainan yang sangat menghibur. Karena permainan jadi sangat mengalir, berirama, sehingga orang tidak sadar kalau itu sebenarnya ada sistem dan aturannya.

Di NBA, tim Sacramento Kings (favorit saya) era Chris Webber seperti itu. Chicago Bulls zaman Michael Jordan seperti itu. Phoenix Suns zaman kejayaan Steve Nash juga seperti itu. Golden State Warriors era sekarang juga mungkin di level itu. Semua bukan hanya hebat, tapi juga ada elemen menghibur/memukaunya.

Andai pelayan restoran itu pemain basket, yang level read and react ini benar-benar hafal semua menu yang disediakan. Dia hafal betul komponen resepnya, cara membuatnya, serta kemungkinan-kemungkinan untuk memodifikasinya agar sesuai dengan harapan customer.

Pelayan yang read and react bisa secara alami menyapa dan menyenangkan customer-nya, dari awal membuat mood sang customer tenang atau bahkan senang.

Kemudian saat proses pemesanan, pelayan yang read and react bisa membaca keinginan sang customer. Menjelaskan secara detail, membuat customer tenang atau bahkan senang.

Lebih jauh, pelayan yang read and react bisa membaca “perjalanan makan” sang customer. Menawarkan menu tambahan, makanan maupun minuman. Membuat customer tenang atau bahkan senang karena bisa mendapatkan pengalaman sebaik mungkin.

Plus, membuat pemilik restoran senang karena menu tambahan itu bisa menambah pemasukan… Dan itu kemudian baik karena di kemudian hari bisa menambah penghasilan sang pelayan.

Siapa bilang jadi pelayan itu pekerjaan biasa? Jadi pelayan adalah pekerjaan level terpenting kalau bisa read and react.

Dalam perjalanan hidup saya, saya benar-benar bersyukur pernah jadi tukang cuci piring, bagian mengepel lantai dan mengelap meja, menjadi pembantu koki, karena itu akhirnya mengantarkan saya untuk menjadi seorang pelayan di restoran.

Dan sepertinya saya juga berhasil jadi pelayan yang baik, karena di restoran tempat saya bekerja saya sempat dinaikkan jadi supervisor. Jadi pelayan benar-benar memberi saya modal kemampuan yang sangat berguna sampai sekarang. Belajar untuk read and react, mendapat ilmu lebih praktis dari segala teori yang diajarkan di kelas marketing Buyer Behavior.

Sekali lagi perlu ditegaskan, jadi pelayan pekerjaan yang sangat menantang. Michael Jordan, kalau jadi pelayan, pasti adalah seorang pelayan yang luar biasa hebat! (*)