Pelatihan Wartawan Siap Liput Bencana ala BNPB

Upaya Bentuk Jurnalis Tangguh nan Humanis

LATIHAN. Sejumlah jurnalis peserta kegiatan forum komunikasi wartawan besutan BNPB mencoba mendirikan tenda pengungsi, di lingkungan Hotel Gardenia Kubu Raya, Rabu (24/8). Marselina Evy

eQuator.co.id – Your safety first, then help other. Pastikan kondisi kita baik lebih dulu baru menolong orang lain. Inilah moto yang harus diingat ketika seseorang hadir di tengah bencana.

Bencana bukan sesuatu yang diharapkan, ada namun seringkali tidak dapat dihindari. Seorang wartawan kerap berada di garis depan saat terjadi bencana. Tak jarang juga berhadapan dengan antara dilema mendokumentasikan kejadian dengan memberikan bantuan kemanusiaan.

Sebuah ilustrasi sederhana. Tahun 2006, Jogjakarta diguncang gempa di pagi buta. Ketika sebagian warganya baru mulai beraktivitas memasak dan pergi ke pasar, bahkan sebagian lagi masih di alam mimpi. Gempa bumi dengan kekuatan lima skala richter itu meluluhlantakkan sebagian Jogja, terutama di daerah selatan.

Hari kedua setelah gempa, bergabung dengan tim relawan salah satu kampus, saya pergi untuk ikut membantu. Menyaksikan orang-orang tergeletak di halaman rumah sakit yang sudah rata dengan tanah. Melihat para tenaga medis berseliweran menolong para korban. Mendengar cerita rekan-rekan yang mengumpulkan potongan tubuh di tengah puing-puing rumah yang roboh. Menghirup aroma tanah basah bercampur anyir darah.

Dari flashback kejadian itu, saya membayangkan jika saat itu sudah menjadi wartawan. Berbagai perasaan pasti berkecamuk, terbelah antara mengejar dokumentasi berita atau membantu para korban. Di satu sisi ada kepentingan profesi yang harus dikerjakan, sementara di sisi lain ada kepentingan kemanusiaan untuk meringankan beban sesama. Mana yang harus didahulukan?

Selama tiga hari, Selasa (23/8) sampai Kamis (25/8) di lingkungan Hotel Gardenia Kubu Raya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengadakan forum komunikasi wartawan di Kalbar. Peserta berasal dari berbagai media yang bertugas di Kota Pontianak dan Kubu Raya. Kurang lebih 50 orang wartawan dari media cetak, televisi, radio, hingga online, ikut.

Dari tajuk kegiatan ‘Peningkatan Kapasitas Wartawan dalam Penanggulangan Bencana’ itu, dibuatlah sebuah tagline: Wartawan Siap Liput Bencana. Narasumber dari berbagai latarbelakang memberikan materi. Mulai dari manajemen bencana secara umum, pengelolaan data informasi bencana, pemaparan mengenai penanganan darurat bencana di Indonesia, hingga jurnalisme bencana.

Kepala BNPB, Willem Rampangilei, membuka langsung forum pada Selasa (23/8). Dilanjutkan Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, yang memaparkan gambaran umum manajemen bencana di Indonesia.

Istirahat siang sebentar, materi berlanjut pengenalan bank data BNPB yang dikenal dengan sebutan Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI). Hari pertama ditutup sharing pengalaman mengenai peliputan dan pembuatan berita daerah bencana oleh praktisi media Dandhy Dwi Laksono.

Hari kedua, kegiatan lebih seru. Para wartawan yang sehari-hari berkejar-kejaran dengan narasumber diminta untuk belajar memasang tenda pengungsi, mempelajari cara kerja alat Global Positioning System (GPS), mobil komunikasi, dan self rescue.

Kami yang selalu bekerja dengan bertanya harus mengerjakan sesuatu yang tidak biasa. Jamaknya pegang HP untuk merekam atau kamera untuk mengambil gambar, Rabu (24/8), kami malah masak bareng di dapur umum.

“Mungkin mendirikan tenda tidak ada hubungannya dengan pekerjaan teman-teman di lapangan secara langsung,” ujar RM. Jefli Haris, salah seorang instruktur dari BPBD Kalbar.

Namun, lanjut dia, dengan memiliki pengetahuan dan pengalaman memasang tenda pengungsi diharapkan, bila kelak wartawan meliput di daerah bencana, dapat berpartisipasi aktif dalam satuan tugas penanggulangan bencana.

Diingatkan bahwa bencana dapat terjadi di mana saja. Di darat, air, mungkin juga di udara. “Jika kita sedang berada di laut, jangan sekali-kali kita melepas pakaian. Ini untuk menghindarkan diri dari hipotermia (penurunan suhu tubuh karena udara mendingin,red),” ujar Leo, instruktur dari Basarnas Kalbar. “Kalau kita di sungai atau air tawar, boleh menanggalkan pakaian jika memberatkan,”  tambahnya.

Ia juga menjelaskan bahwa saat berada di air jangan banyak bergerak. “Jangan berenang! Lebih baik kita mengapung saja, sebab tidak tahu kapan bantuan akan datang. Jika banyak bergerak nanti malah lemas. Boleh berenang jika yakin pantai cukup dekat,” papar Leo.

Selain tips menyelamatkan diri (self rescue), juga diberikan teknik menolong orang lain yang mengalami bencana di air. “Gunakan alat bantu seperti galah terlebih dahulu. Jika harus berenang menyelamatkan orang lain, tunggu sampai korban lemas baru kita bawa ke tepian,” tuturnya.

Hal ini, ditegaskannya berulang kali, karena korban yang belum lemas dapat menyeret penolongnya ke kondisi yang sama atau lebih parah. “Jangan sampai niat nolong malah tertukar, kita jadi korban juga,” tegas Leo.

Pesan ini sekali lagi menegaskan aturan yang selalu digaungkan ketika menjadi relawan bencana atau petugas bencana bahkan wartawan yang meliput bencana: Pastikan kemampuan diri terlebih dahulu baru bantu orang lain. Dan, serahkan kepada petugas terlatih untuk memberikan pertolongan lanjutan.

Di akhir kegiatan, WAPENA terbentuk. Wartawan peduli bencana, yang diharapkan dapat menjembatani para jurnalis di Kalbar dengan instansi pemerintah terkait bencana, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

Bisa jadi, pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh pada saat pelatihan menjadi angin lalu bagi sebagian orang. Namun, akan ada satu atau dua hal tertinggal di ingatan untuk suatu hari nanti berguna bagi kehidupan pribadi wartawan itu sendiri ketika sedang meliput bencana. Tips-tips yang diajarkan mungkin dapat menciptakan wartawan yang tangguh nan humanis, mencari berita sambil menolong korban. (*)

Marselina Evy, Pontianak