eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Beberapa lembaga survei mengeluarkan hasil perhitungan cepat pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar. Di antaranya, LSI Denny JA dan Poltracking memenangkan pasangan Sutardmiji-Ria Norsan.
Merespon hasil tersebut, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPD PDIP) Kalbar, Cornelis mengatakan, bahwa metode riset survei kedua lembaga tersebut paling lemah dalam konteks akademik. Metode survei baru bisa dikatakan bernilai akademik bila data survei itu diintegrasikan dengan data observasi. “Dalam konteks Pilkada Kalbar, data observasi itu harus meliputi wilayah keseluruhan Kalbar,” katanya saat menggelar konferensi pers di Sekretariat DPD PDIP Kalbar, Jalan Sultan Abdurrahman, Pontianak, Sabtu siang (30/6).
Dijelaskannya, ada empat komponen alasan yang menyebabkan metode survei seringkali tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akademik. Pertama, coverage error. Ini merujuk pada luasnya responden yang harus dicakup dalam survei. Misalnya Pilkada Gubernur Kalbar ada sekitar 11.500 TPS. Tetapi survei untuk quick count hanya 350 TPS. “Ini berarti kurang dari 5 persen populasi responden, maka jelas ini tidak bisa diterima secara akademik yang datanya solid,” ujarnya.
Kedua, sampling error. Merujuk pada sistem sample random yang seharusnya merata, bukan berpusat pada tempat tertentu yang akhirnya tidak mewakili responden yang luas. Apakah sistem random sample yang dibuat oleh kedua lembaga survei di atas benar-benar disebar? Atau hanya ambil sample pada tempat-tempat tertentu? “Kalau tidak mewakili semua wilayah dalam sistem randomnya, maka data yang dihasilkan itu manipulatif dan tidak bisa diterima secara akademik,” tuturnya.
Ketiga, non response error. Ini merujuk pada data tidak dikumpulkan mewakili semua responden yang sedang menjadi objek penelitian. Dari jumlah TPS yang jadi sampling responden sebanyak sekitar 350 TPS, maka jelas error itu terjadi dan tidak bisa diterima secara akademik.
Keempat, measurement error. Merujuk pada motivasi peneliti dalam menafsirkan atau menggiring hasil survei terserah si peneliti. Dalam konteks Pilkada Gubernur Kalbar, menurut Cornelis jelas sekali bahwa kedua lembaga survei itu adalah konsultan politik lawan tandingnya. Maka pengukuran hasil survei pasti bias demi kepentingan diri mereka sendiri.
“Sehingga hasilnya jelas merupakan kejahatan akademik. Jangankan bernilai akademik. Ini survei kejahatan akademik. Lihat Survei Research – Stanford university. Oleh: Penny S. Visser, Jon A. Krosnick, dan Paul J. Lavrakas. P.225),” paparnya.
Lalu juga beberapa alasan metode survei tidak dapat dipercaya. Yaitu bila pertama, people lie (peneliti dan responden sama-sama melakukan kebohongan). Dalam dunia politik itu sering dilakukan.
Kedua, pertanyaan-pertanyaan dibuat untuk mengarahkan pada maksud yang diinginkan. Dalam konteks Pilkada yang disurvei oleh konsultan politik, maka jelas hal itu tidak bisa dihindari.
Ketiga, adanya bias dari individu; baik yang mensurvei maupun yang disurvei. Konteks Pilkada itu pasti terjadi maka tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.
Keempat, inconsistency and high level of error. Peneliti dan sample responden tidak konsisten dan tingkat errornya sangat tinggi. Khususnya dalam konteks wilayah Kalbar yang sangat luas dengan sebagian besar masyarakat di pedalaman, maka tingkat manipulatif data sangat tinggi. Sehingga survei Pilkada Kalbar yang dilakukan oleh kedua lembaga survei itu tidak bisa dikategorikan ilmiah dan akademik.
Dikatakan Cornelis, menurut Nadler, akademik adalah proses dimana untuk mengetahui sebuah kebenaran.Tetapi, yang dilakukan LSI dan Poltracking adalah proses untuk membenarkan hipotesis diri sendiri atau membuat benar diri sendiri, dalam hal ini kebenaran pasangan tersebut menang. Akhirnya klaim yang menyebut bahwa pasangan Sutarmidji-Norsan sudah menang secara akademik adalah klaim yang membajak hak warga Kalbar yang tidak bisa dibenarkan.
“Warga Kalbar yang dibajak haknya dianggap bodoh dan dianggap tidak mengerti prinsip-prinsip akademik. Itu juga berarti kejahatan kemanusiaan,” tukas mantan Gubernur Kalbar dua periode ini.
Pascapemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar, tak dipungkiri tensi di masyarakat tinggi. Terutama di media sosial (Medsos). Menyikapi itu, Cornelis mengantakan yang paling utama hidup di dunia ini adalah kedamaian.
“Ngak ada kami merintahkan demo-demo segala macam, karena kami tau dan sadar bahwa hidup di dunia ini yang paling pertama adalah kedamaian. Aman, damai itu enak, dibandingkan perang tak perang,” tuturnya.
Selain sebagai orang nomor satu di PDIP Kalbar, yang bertarung sebagai calon Gubernur adalah putrinya (Karolin Margret Natasa), Cornelis juga sebagai Presiden Mejelis Adat Dayak Nasional (MADN). Sebagai seorang tokoh, pengikutnya tidak hanya di Kalbar saja. Oleh sebab itu, dia meminta agar masyarakat tidak mudah terprovokasi Medsos.
“Medsos-Medsos tu, ya menahan diri lah, kalau merasa dirinya pemimpin ya harus bisa mengendalikan yang dipimpin. Kalau saya kan sendiri, kalau pengikut saya kan jutaan. Kalau hanya dua tiga orang nyaman kita ngurusnya,” paparnya.
Lanjut Cornelis, seperti keributan kecil di Ngabang, Kabupaten Landak beberapa hari lalu, akibat dari Medsos. Kalah menang dalam pertarungan kata dia hal yang biasa.
“Kalau pun kemarin orang dengar ada ribut-ribut sikit di Ngabang di Landak itu mereka melampiaskan emosi akibat dari Medsos itu, Bukan akibat soal kalah,” ujarnya.
“Di Medsos coba kita lihat, aku dah nda pernah lihat Medsos sih, karena aku nda mau main Facebook sih, tadi pun sudah ada imbau dari pak Kapolda, Pangdam melalui Kasdam. Saya ndak ada perintah itu ini, karena saya dah tau lah yang namanya rusuh itu capek,” tutup Cornelis.
Sementara itu, tim calon Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar nomor urut 2 Karolin Margret Natasa-Suryadman Gidot menilai, pelaksanaan pemilihan di lima kawasan Kalbar terindikasi terjadi beberapa kecurangan yang sistematis dan terencana.
“Kami telah menemukan beberapa indikasi kecurangan dan akan kami tempuh ke jalur hukum,” ungkap Penasehat Hukum Karolin-Gidot, Lipi.
Dia menegaskan, pihaknya akan menempuh jalur hukum dan beberapa telah dilaporkan ke Bawaslu Kalbar, termasuk ke pihak kecamatan. “Terkait Pelanggaran-pelanggaran akan dilaporkan ke aparat keamanan,” tuturnya.
Dikatakannya, terhadap beberapa proses pencoblosan terjadi dugaan tidak bisa memilih di beberapa kawasan yang bersifat sistemik dan terencana. Yaitu di Sanggau, Melawi, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu dan Kubu Raya. Pihaknya akan berkomitmen mewujudkan Pilkada yang baik. Sehingga akan terus mengawal Pilkada dengan baik dan benar.
Terpisah, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kalbar mengimbau untuk mengetahui hasil perhitungan suara Pilgub, agar masyarakat menunggu dari KPU. Kendati hasil hitung cepat beberapa lembaga survei mememangkan salah satu Paslon, tapi itu belum sah secara resmi.
“Jadi kita tunggulah kepastiannya. Mudah-mudahan tidak ada halangan apa-apa, saling menghormati dan menghargai satu sama lainnya,” ajak Sekretaris FKUB Kalbar, Nursahid, Sabtu (30/6).
Menurut Nursahid, kalau memang yang ditentukan KPU nanti sesuai dengan quick count harus dihormati. Karena merupakan hasil demokrasi. Pastinya ada yang kalah dan menang. “Bagi yang menang tidak harus berbangga hati berlebihan. Yang kalah mesti menghormati yang menang,” imbaunya.
Para pengguna Medsos boleh saja berasumsi dan berpendapat. Tapi jangan sampai memancing kekesalan dari pihak-pihak yang merasa kalah dan belum diputuskan secara resmi. Semua harus saling menghormati satu sama lain.
“FKUB mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk menunggu hasil putusan dari KPU. Dan kita sama-sama menjaga toleransi antara kita,” pesan Nursahid.
Laporan: Ambrosius Junius, Zainudin, Maulidi Murni
Editor: Arman Hairiadi