Pasal Ilmu Hitam dan Santet Terkendala Sisi Pembuktian

FX Nikolas

eQuator.co.idPontianak-RK. Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Kitab Umum Hukum Pidana (RUU KUHP) DPR RI masih membahas mengenai Pasal Ilmu Hitam dan Santet. Wacana ini menjadi menjadi diskusi panjang, terutama pembuktian delik kejahatan tersebut.

Akademisi Hukum Universitas Kapuas Sintang, Nikolas memberikan tanggapannya mengenai pasal santet ini. Dikatakannya, pasal ini telah menjadi perbincangan yang sangat mendalam para akademisi hukum pidana. Ada yang sependapat ilmu hitam dan santet dimasukkan di KUHP. Sebaliknya, ada yang tidak sependapat.

“Berbicara ilmu hitam dan santet yang tertuang di dalam RUU KUHP sudah menjadi pembahasan yang mendalam oleh para ahli hukum pidana, dan para kalangan akademisi fakultas hukum di Indonesia,” terangnya kepada Rakyat Kalbar, Jumat (23/11).

Menurut Nikolas, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa kejahatan ilmu hitam dan santet yang tertuang di dalam Pasal 293 RUU KUHP (lihat grafis). “Pasal ini muncul sudah pasti mempunyai kajian yuridis, filosofis dan sosiologis dan tidak serta merta muncul begitu saja di dalam pertimbangan akademik,” tuturnya.

Pasal Ilmu Hitam dan Santet kata dia, menarik untuk menjadi perdebatan dalam ruang lingkup hukum acara pidananya atau hukum pidana materil. Untuk unsur formil mungkin dapat ditemukan pada unsur-unsur subjektif dan objektifnya.

“Karena pada prinsipnya, unsur formil harus dibuktikan secara materil dengan pembuktian. Perlu didalami bahwa santet jika di dilihat dari pengertiannya menurut saya kata kuncinya adalah ilmu hitam atau gaib,” tuturnya.

Pasal Ilmu Hitam dan Santet ini berdampak kepada keadaan sosial masyarakat. Dimana masih banyak ahli supranatural yang berada di daerah terpencil. Mereka masih menggunakan hal-hal gaib untuk proses pengobatan. “Hal ini yang akan menjadi masalah,” sebutnya.

Sebagai contoh lain kata dia, dalam hal alat bukti. Misalnya ada dukun yang melakukan pengobatan mengeluarkan paku dari tubuh seseorang. Ia menyatakan orang tersebut disantet atau diguna-guna oleh dukun lain.

“Tidak mungkin penegak hukum langsung melakukan penangkapan kepada seseorang yang dituduhkan oleh dukun tersebut tanpa alat bukti,” jelasnya.

Sedangkan bukti permulaan yang cukup dalam pasal 27 KUHAP minimal berupa alat-alat bukti di seperti dalam pasal 184 KUHAP. Sehingga hambatan yang akan dialami dalam penegakan hukum secara khusus delik ilmu hitam dan santet ini nantinya adalah pembuktian tindak pidananya serta budaya atau kebiasaan masyarakat.

“Menurut saya, itulah hambatan yang akan terjadi bila Pasal Ilmu Hitam dan Santet ini disahkan, sehingga masih menjadi diskusi panjang para ahli hukum pidana,” tutup Nikolas.

Salah seorang yang memiliki pengalaman supranatural yaitu Orion. Pria 31 tahun ini sudah lama mendalami kegiatan supranatural. Khusus santetmenurutnya,  memang telah menjadi local custom atau budaya masyarakat. Metode santet itu sendiri pun lebih kepada teleportasi atau pemindahan suatu objek ke tempat lain.

“Masyarakat kita pun juga menggunakan pihak ketiga sebagai pengantar objek yang diteleportasi tersebut. Misalnya menggunakan jin untuk memindahkan paku ke dalam tubuh si target,” jelas kepada Rakyat Kalbar via telepon, Jumat (23/11).

Senada dengan Nikolas, Orion juga mengatakan bahwa pembuktian tentang santet tidak bisa menggunakan hukum positif. Karena azas untuk membuktikannya masih menggunakan bukti-bukti fisik. Sementara santet sendiri lebih banyak berupa benda-benda gaib. Sekali pun dalam proses penyembuhan santet itu direkam dan diberikan kepada aparat kepolisian untuk pembuktian, masih belum kuat. Karena mereka tidak melihat proses santet itu sendiri. “Kecuali oleh dukun yang bersangkutan serta orang yang mengobati santet tersebut,” kata warga Tasikmalaya tersebut.

Berdasarkan pengalamannya, Orion mengatakan bahwa santet merupakan penggunaan kekuatan hitam yang bertujuan untuk menyakiti orang lain. Tak hanya menggunakan objek serta pihak ketiga sebagai senjata, namun juga energi alam untuk kejahatan.

“Contohnya penggunaan mantra-mantra sihir yang membuat orang jadi sakit, tapi tidak menggunakan pihak ketiga. Mereka ini menggunakan energi alam sebagai senjata,” terangnya.

Kasus seperti itu kata dia, lumayan sering terjadi. Walau kebanyakan tetap menggunakan pihak ketiga sebagai pengantar media santet.

“Kalau santet yang menyerang langsung targetnya baik dengan sugesti atau pun kekuatan alam kebanyakan terjadi di negara-negara barat,” jelasnya.

Bahkan Orion sendiri pernah menjadi korban santet dari seseorang yang tidak menyukai dirinya dalam dunia supranatural. Ular melingkar di lehernya dan memblokir indra supranaturalnya.

“Iya, saya pernah disantet. Akibatnya kemampuan saya jadi terblokir. Beruntung ada teman yang bisa membuka jerat tersebut,” katanya.

Di akhir wawancara, Orion mengatakan bahwa hingga saat ini masyarakat menyikapi masalah santet hanya sebatas hukum adat dan budaya masyarakat semata.

“Saya sangat berharap aparat hukum sudah bisa membuka kesadaran mereka tentang hal-hal supranatural, sehingga nantinya mereka bisa menyelesaikan kasus-kasus santet,” pungkas Orion.

 

Laporan: Bangun Subekti

Editor: Arman Hairiadi