Pakai Dua Pukat dan Perangkap, Buaya Berkalung Ban Tetap Tak Tertangkap

Ekspedisi Jawa Pos dan Panji Petualang di Palu

INTIP-INTIP. Buaya berkalung ban mendekati perangkap besi dengan umpan itik yang dipasang tim Jawa Pos Radar Sulteng, Panji Petualang, Polairud, dan nelayan lokal di reklamasi pantai Talise, Palu, Sulteng, Minggu (28/1). DITE SURENDRA-JAWA POS

Penyelamatan buaya berkalung ban di Palu, Sulawesi Tengah, ternyata bukan upaya mudah. Banyak hal yang membuat tim penyelamat sulit mengevakuasi buaya malang itu. Padahal, operasi dilakukan siang dan malam. Di dunia nyata hingga dunia maya.

GUNAWAN SUTANTO, Palu

eQuator.co.id Jumat, 26 Januari 2017. Jarum jam menunjuk pukul 04.02 Wita. Tapi, pesan di grup WhatsApp yang dibuat Jawa Pos Group masih aktif. Laporan-laporan pandangan mata dari anggota komunitas reptil di Palu terus masuk.

”Posisi buaya sangat dekat di depan kita, sekitar 3 meter dari jarak kita. Andai pipanya panjang, mungkin bisa langsung diulur. Tangan sampai gatal mau nangkap,” tulis M. Gunanta Putera.

Gunanta merupakan salah seorang pentolan komunitas reptil di Palu. Dia sudah lama mengenal Panji Petualang dari jejaring hobi yang sama. Sejak hari pertama operasi penyelamatan buaya berkalung ban Minggu (21/1), Gunanta dan para anggota komunitas reptil Palu memang memberikan dukungan yang luar biasa. Mereka mengambil tugas mengobservasi keberadaan buaya berkalung ban.

Apa yang terjadi pada buaya berkalung ban memang tak seperti foto atau video yang beredar selama ini. Dalam foto atau video yang sudah viral beredar, buaya itu sepertinya gampang dievakuasi. Sebab, keberadaannya yang ada di pinggir sungai. Atau sedang mengapung di perairan dangkal.

Foto dan video yang beredar itu memang bukan hoax. Tapi, kebanyakan diambil secara candid atau diam-diam. Kalau yang sebenarnya terjadi, buaya tersebut sangat jarang menampakan diri ketika banyak orang. Terlebih, buaya itu kini mulai stres. Penyebabnya, ketika operasi hari pertama dilakukan, ratusan orang berdatangan melihat. Mereka antusias melihat buaya yang nongol di reruntuhan jembatan, sekitar Jembatan II Sungai Palu. Juga, sekaligus ingin menyaksikan dari dekat aksi Muhammad Panji atau Panji Petualang yang sempat diisukan meninggal dunia. ”Eh…kok tahu Panji masih hidup”.

Jawa Pos Group memang mengajak Panji Petualang bersama-sama melakukan upaya penyelamatan buaya berkalung ban. Sebab, isu yang berembus di dunia internasional, masyarakat Indonesia seolah membiarkan buaya itu tersiksa karena jeratan ban. Sejak operasi hari pertama itulah, buaya sudah enggan lagi ke sungai. Satwa yang memiliki nama latin Crocodylus porosus itu memilih pindah ”rumah” di sekitar Pantai Talise. Penangkapan di pantai tentu jauh lebih susah bila dibandingkan dengan di sungai.

Di situlah tim penyelamat buaya berkalung ban membagi tugas. Ada yang mengobservasi keberadaan buaya, menyiapkan perangkap, hingga memantau segala posting-an di media sosial Palu. Yang terakhir itu perlu dilakukan untuk mencegah datangnya orang-orang ke lokasi terpantaunya si buaya seperti saat operasi hari pertama. Ya, penyebab berduyun-duyunnya warga mendatangi lokasi penyelamatan buaya berkalung ban memang dari media sosial. Salah satu rujukan informasi warga adalah grup Facebook Info Kota Palu.

Masyarakat yang melihat tim bekerja, terutama ketika ada Panji, biasanya langsung mem-posting informasi. Ada pula masyarakat yang rajin stalking akun-akun media sosial Panji. Lalu, menyebarkannya ke akun-akun media sosial terkait Palu. Panji memang sekarang ini sering melakukan monetisasi kegiatannya lewat media sosial. Hal-hal itulah yang lantas membuat orang-orang berdatangan.

Anggota komunitas reptil hingga para karyawan Radar Sulteng (Jawa Pos Group) terus bergantian memantau dan melaporkan informasi yang ada di media sosial. Tak jarang mereka minta admin atau pengelola akun-akun publik untuk menghapus posting-an terkait keberadaan tim penyelamat buaya berkalung ban.

”Saya sudah koordinasi dengan beberapa admin, kalau ada posting-an terkait keberadaan panji dan B3 (buaya berkalung ban) langsung dihapus. Atau diteruskan via japri ke saya,” ujar Gunanta. Hal tersebut memang sedikit membantu. Setidaknya warga tidak berduyun-duyun mendatangi lokasi.

Warga yang berduyun-duyun ke lokasi penyelamatan sebenarnya tidak masalah jika bisa dikendalikan. Tapi, sering kali kegaduhan timbul dari kerumunan warga tersebut. Misalnya, ada yang merangsek mendekati Panji hanya untuk selfie. Atau mencari perhatian dengan menceburkan diri ke sungai. Bahkan, melempar benda ke sekitar buaya. Polisi sebenarnya sudah membantu mengatasi hal itu di lapangan, tapi tetap saja kerumunan warga bikin heboh.

Persoalan itu tak hanya dirasakan Panji dan kawan-kawan. Sebelumnya masalah yang sama dihadapi para relawan penyelamat dari Jakarta Animal Aid Network (JAAN). Pada Desember 2016 JAAN pernah melakukan upaya penyelamatan sekitar 12 hari. Beberapa kali percobaan penangkapan buaya berkalung ban juga gagal karena kegaduhan warga.

”Tidak bisa menangkap buaya dengan kegaduhan. Suara yang ditimbulkan warga bisa membuat buaya lari,” kata Sudarno saat dihubungi secara terpisah. Sudarno merupakan ahli buaya dari JAAN yang melakukan operasi penyelamatan di Palu.

Memang tidak semua masyarakat yang menonton mengganggu. Ada juga yang membantu sebisanya. Mulai angkat-angkat barang untuk evakuasi sampai menyajikan makanan gratis untuk tim yang sedang bekerja. Kesulitan yang dialami tim juga bertambah lantaran buaya saat ini sering berada di pantai. Upaya menggiring ke darat lebih susah dilakukan saat buaya berada di pantai daripada saat di sungai.

”Ban itu tidak bisa dilepaskan sebelum buaya bisa dibawa ke darat. Nah, sekarang dia di pantai, sulit kita prediksi kedalamannya. Tidak seperti ketika di sungai,” terang Panji.

Ditambah, si buaya itu lebih sering berada di pantai yang tak jauh dari daratan reklamasi. Daratan hasil reklamasi tersebut penuh bebatuan. Tak ada pasir laut seperti daratan yang bukan hasil reklamasi. Kondisi itu menyulitkan penggunaan perangkap untuk mengevakuasi buaya ke darat. Setidaknya sudah dua jaring dan pukat yang gagal dipakai untuk menangkap si buaya.

Proses mendapatkan pukat itu juga tidak mudah. Tim dari Radar Sulteng harus blusukan ke kampung nelayan. Sebab, alat tangkap yang dimiliki nelayan di sekitar Pantai Talise tak memadai. Ketika beberapa kali digunakan untuk menangkap buaya berkalung ban, pukat seperti hanya dibuat mainan reptil itu.

”Kami pinjam ke nelayan di daerah Wani. Perbatasan Palu dengan Donggala,” ujar Murtalib, Pemimpin Redaksi Radar Sulteng yang setiap hari, dari pagi hingga malam, mengikuti jalannya operasi penyelamatan.

Bahkan, ada personel tim dari Radar Sulteng yang ditugasi secara khusus oleh Murtalib untuk memastikan stok ayam hidup di pedagang. Jika mendadak memerlukan umpan ayam hidup, tim ini bisa dengan cepat mengirimnya ke lokasi evakuasi. Ada pula karyawan yang ditugasi memantau perangkap buaya. Jika si buaya mendekat, mereka segera mengirim pesan ke tim untuk mendekat. Sebab, jika semua tim mendekat, buaya enggan merapat. Karyawan yang bertugas menjaga perangkap itu berjaga-jaga bak seorang reserse mengintai penjahat. Mereka mengendus-endus di antara semak di atas pulau hasil reklamasi. Masih ada lagi, tim dari percetakan yang ditugasi menggulung pukat. Sebab, biasanya ketika selesai digunakan, pukat penuh sampah. Sampahnya pun bermacam-macam. Mulai kantong plastik sampai diaper.

Selain itu, setelah digunakan, berat pukat juga menjadi berlipat-lipat karena terendam air. ”Mereka itu kan biasa mengangkat kertas dan koran, jadi kuat kalau cuma mengangkat pukat ini,” canda Murtalib di pinggir Pantai Talise. Dia mengatakan, segala daya dan upaya sudah dicoba tim. Baik yang bisa dilogika maupun yang tidak. Yang tidak bisa dilogika, antara lain, melibatkan orang-orang yang mengaku bisa mendatangkan si buaya. Itu tidak bisa dihindarkan karena masih banyak masyarakat sekitar Sungai Palu hingga Pantai Talise yang percaya hal-hal mistis.

Dalam kepercayaan orang-orang tua setempat, buaya di perairan itu merupakan bagian dari keluarganya. ”Sebenarnya kita tidak percaya, tapi kalau mereka ingin membantu, ya kita libatkan,” ujar pria asal Tulungagung yang lama tinggal di Sulawesi Tengah tersebut.

Pelibatan orang-orang seperti itu juga perlu sekalian untuk memberikan pemahaman. Sebab, masih banyak orang tua mengira tim penyelamatan buaya berkalung ban itu memburunya untuk dibunuh atau dibuang dari perairan di Palu. Saat ini tim penyelamat untuk sementara kembali ke Jakarta sambil menunggu kesempatan terbaik melakukan penyelamatan lagi. (Jawa Pos/JPG)