Nurhaye Dipaksa Makan Kotoran Anak Majikan

Kisah Tragis Pahlawan Devisa asal Kabupaten Sambas

LAPOR. Wakil Bupati Sambas, Hairiah (kiri) dan Kepala Dinas P3AP2KB, Wahidah (ketiga dari kiri) mendampingi TKW asal Sambas, Nurhaye (tas merah) melapor ke Mapolres Sambas, Senin (7/8). SAIRI

Biadab. Bukan hanya dianiaya sampai menyebabkan cacat permanen di jari, bibir, kepala dan punggung, Nurhaye, 22, juga dipaksa majikannya di Bintulu, Malaysia, untuk memakan kotoran bayi dan meminum air kloset.

Sairi, Sambas

eQuator.co.id – Warga Desa Sungai Burung Besar, Kecamatan Jawai, Kabupaten Sambas yang menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) kurun 2015 sampai 2016 ini juga tidak pernah digaji majikannya.

Kisah pilu Nurhaye yang sudah berhasil pulang ke kampung halamannya itu sampai ke telinga Wakil Bupati Sambas, Hj Hairiah MH. “Nurhaye ini korban human trafficking (perdagangan manusia),” tegas Hairiah, ditemui ketika mendampingi Nurhaye melapor ke Mapolres Sambas, Senin (7/8)

Perbuatan majikannya yang memaksa mamakan kotoran bayi dan meminum air kloset itu, kata Hairiyah, sangat tidak manusiawi. “Perbuatan majikannya itu sangat tidak dibenarkan, di negara manapun,” kecamnya.

Hairiah berharap, derita yang dialami Nurhaye tersebut ditindaklanjuti pihak antarnegara Indonesia-Malaysia. “Kerjasama dua negara untuk memroses kasus ini sangat memungkinkan. Apalagi kerjasama Polri dengan PDRM (Polisi Di Raja Malaysia) cukup baik. Saya yakin kasus-kasus perdagangan manusia seperti ini bisa ditangani dengan baik,” katanya.

Supaya kasus yang menimpa Nurhaye tidak terulang, Hairiah kembali mengingatkan warganya untuk lebih berhati-hati. “Mau pergi bekerja ke luar negeri itu adalah hak setiap orang. Tetapi, ketika pergi itu harus memerhatikan juga keselamatan diri,” tegasnya.

Misalnya dengan mengetahui siapa majikannya di Malaysia itu dan apa jenis pekerjaannya. “Lengkapi pula diri dengan dokumen sebagai TKI. Kenali karakteristik negara tujuan dan lainnya,” kata Hairiah.

Kalau ingin bekerja ke luar negeri, tambah dia, warga Sambas harus memahami negara tujuannya itu berbeda dengan kampung halamannya. “Yang namanya luar negeri tetap negaranya berbeda dengan Indonesia, hukumnya berbeda, masyarakatnya juga berbeda. Apapun yang kita bayangkan, itu tidak berbanding lurus dengan apa yang kita dapat,” papar Hairiah.

Dia mengimbau masyarakat Kabupaten Sambas meningkatkan kewaspadaannya terhadap sindikat perdagangan orang. Mereka menawarkan pekerjaan di Malaysia, disertai iming-iming gaji selangit.

Sementara itu, Kapolres Sambas, AKBP Cahyo Hadi prabowo SH SIK melalui Kasat Reskrim, AKP Raden Real Mahendra mengaku sudah menerima laporan korban penganiayaan, Nurhaye yang didamping Wakil Bupati Hairiah dan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Kabupaten Sambas, Wahidah.

“Kami akan melakukan pemeriksaan dan meminta keterangan dari korban. Kemudian nanti kami akan mengumpulkan para saksi. Kami akan berkoordinasi, baik dengan BNP2TKI, maupun Polda Kalbar hingga ke Mabes Polri,” kata Real.

Dia mengatakan, berdasarkan pengamatan awal dan cerita atau keterangan sementara dari korban, kemungkinan kasus ini akan diserahkan ke Polda Kalbar untuk dikoordinasikan ke Mabes Polri.

“Tempat kejadian penganiayaan korban tersebut diduga di rumah majikannya di Bintulu Malaysia. Sementara perekrutannya, kemungkinan di Kota Singkawang,” papar Real.

Terpisah, Direktur Eksekutif Bumi Assambasy (Buruh Migrant Assambasy), Galih Usmawan mengutuk keras tindakan majikan Nurhaye. “Perbuatan majikannya itu tidak berprikemanusiaan,” katanya.

Olehkarenanya, Galih sangat mengapresiasi tindakan cepat Pemkab Sambas yang mendampingi korban untuk melapor. “Semoga saja majikannya mendapatkan hukuman setimpal, termasuk yang merekrutnya,” harapnya.

Belajar dari kasus Nurhaye ini, Galih kembali mengingatkan warga yang ingin bekerja ke luar negeri untuk melengkapi dokumennya. “Supaya ketika terjadi masalah, dapat ditangani secara maksimal, baik oleh Pemerintah Pusat (BNP2TKI, Konjen RI di negara bersangkutan, red) maupun Pemda setempat dan NGO yang konsen soal TKI,” paparnya.

Menurutnya, permasalahan yang melingkupi para pahlawan devisa ini karena nonprosedural. Sehingga mudah terjerat sindikat perdagangan internasional atau bekerja tidak sesuai kontrak yang janjikan.

“Guna menyikapi sengkarut TKI/TKW ini, Pemerintah Daerah atau Desa bisa membuat regulasi tentang Buruh Migrant (TKI) untuk memperkuat perlindungan, baik pada prakeberangkatan, ke negara tujuan sampai pemulangan (kembali ke negara asal),” tutup Galih.

 

Editor: Mordiadi