eQuator.co.id – Nasi pecel –atau nasi bungkus apa pun di pinggir jalan– punya peran yang sama pentingnya dengan McDonald’s di Amerika. Ini beneran.
Saya ini separo Madiun separo Banjar. Jadi, mungkin karena alasan genetik, saya suka makan nasi pecel dan soto banjar. Dari sisi Kalimantannya, saya juga jadi suka makan ikan.
Walau sebenarnya sudah sangat fleksibel dan tidak akan kesulitan makan di mana pun di seluruh penjuru bumi (tidak harus makan nasi), saya tetap menyukai pecel yang sama dengan yang disukai ayah saya, dan soto banjar buatan ibu saya (gak ada lawannya!).
Di sisi lain, saya juga penggemar berat makanan restoran cepat saji. Saya suka Big Mac dan Apple Pie-nya McDonald’s, ayam original-nya KFC, ayamnya AW, plus menu favorit saya waktu kuliah: Whopper Jr. no onion no pickle no tomato buatan Burger King. Tidak ketinggalan roast beef dengan kejunya Arby’s, Monster Taco-nya Jack in the Box, dan legenda yang hanya ada di pantai barat Amerika: In-n-Out Burger.
Maklum sudah di ambang usia 40, dan punya hobi olahraga yang menuntut badan harus kurus, sebisa mungkin dan dengan penuh berat hati saya berusaha mengurangi makanan-makanan itu. Sekarang makanan andalan sehari-hari ya katering makanan ”bersih” buatan sobat saya Eric Go di Surabaya.
Kecuali weekend, saat bebas makan apa saja (walau tetap menjaga). He he he, sebelum saya melantur lebih jauh soal makanan, kenapa kok tiba-tiba bicara soal makanan?
Sebagai penggemar dan seseorang yang punya toleransi terhadap segala makanan, kadang saya agak jengkel juga dengan cara-cara orang menyebut suatu jenis makanan.
Khususnya ya restoran-restoran cepat saji di atas. Oke, saya setuju itu dipanggil fast food, karena memang filosofi restorannya dibuat untuk melayani pemesanan secepat mungkin.
Dan fast food kan tidak berarti jelek. Nasi pecel termasuk kategori fast food. Semua ragam soto termasuk kategori fast food. Dan nasi padang bagaimanapun adalah ”the fastest food” karena bisa datang sendiri ke meja dalam berbagai macam tanpa dipesan.
Dan di mana-mana, orang tidak suka slow food. Restoran cepat saji, kalau pelayanannya lambat, ya menyebalkan. Duduk di warung soto, kalau kuahnya tidak segera dituangkan, ya bisa menyebalkan.
Mungkin hampir kita semua pernah bilang ke pelayan di restoran agar makanannya segera disajikan. ”Tidak pakai lambat ya.” Begitu ucap kita setelah memesan.
Entah berapa ribu atau juta kali seorang pelayan pernah mendengar ucapan itu. Karena itu, saya pernah sangat menyukai ketika ada rekan makan yang mengucapkan pesan senada dengan cara yang lebih humoris.
”Mbak, tolong cepat ya. Ingat ya Mbak, semua kerusuhan dimulai dengan perut lapar.” Begitu ucap rekan saya waktu itu. Wkwkwkwkwk… Humoris plus mengancam!
Nah, istilah yang tidak saya sukai adalah junk food. Alangkah jahat dan munafiknya kita ketika menyebut sebuah makanan ”junk food”.
Semua makanan, apa pun kadar gizinya, mungkin tidak boleh disebut ”junk food”. Kalau itu sampah, ya jangan dimakan. Dan siapa yang mau makan sampah?
Apalagi kalau itu orang Indonesia yang menyebut makanan di restoran cepat saji ”junk food”. Emangnya makanan Indonesia lebih bergizi? Mungkin harus diadu dan diuji, sehat mana makan kerupuk melawan makan french fries?
Oke, kebanyakan makan makanan itu mungkin punya dampak negatif terhadap kesehatan. Tapi, kalau dipikir, makan apa saja kalau berlebihan rasanya ya negatif buat kesehatan… Tidak percaya, coba makan bakso tiga kali sehari setiap hari selama setahun…
Kadang kita ini latah saja bilang ”junk food”. Tanpa menyadari atau memikirkan arti dan definisinya secara lebih mendalam. Dan kadang menyebutnya karena sok tahu atau sok pintar.
Ketika bersama keluarga liburan di Amerika, saya memang sering mampir ke restoran cepat saji untuk ”melepas kangen”. Orang tua kadang bertanya kenapa kok selalu makan di tempat-tempat seperti ini.
Saya bilang saja, restoran cepat saji ini punya peran ekonomi yang sama dengan warung nasi pecel atau soto di Indonesia. Kenapa warung kaki lima menjamur di Indonesia? Karena ada demand dari masyarakat untuk makanan murah dan cepat.
Kenapa menjamur restoran cepat saji di Amerika? Karena ada demand dari masyarakat di sana untuk makanan murah dan cepat. Sama. Persis. Tet.
Di negara mana pun di dunia ini sama, jumlah orang mampu sangatlah minoritas. Tinggal skala ekonomi dan seberapa besar dan sehat level middle class-nya.
Saya baru merasakan betapa pentingnya restoran cepat saji di Amerika itu saat saya kuliah dan krisis moneter di Indonesia. Uang saku dipangkas lebih dari separo, saya harus bekerja di restoran kampus. Gaji saya waktu itu upah minimum, USD 5,75 per jam.
Sebulan saya dapat USD 450–600, tergantung jatah jam kerjanya. Mau makan di restoran? Sekali duduk minimal USD 10–15. Itu restoran yang biasa banget. Kelas depot kalau di Indonesia.
Mau yang lebih murah? Ya ke restoran cepat saji. Dulu, Minggu dan Rabu pernah menjadi hari menyenangkan bagi saya dan beberapa teman serumah.
Karena pada hari itu McDonald’s punya promosi khusus. Cheeseburger hanya 29 sen, beefburger hanya 19 sen. Karena satu pemesan dikasih limit 15 porsi, kami pun antre untuk membeli sebanyak-banyaknya.
Puluhan burger itu lantas kami simpan di kulkas. Lalu dipanasi pakai microwave. Selama dua hari kami hanya makan burger, tapi yang penting murah meriah.
Kenapa Whopper Jr. (dengan variasi no onion no pickle no tomato) saya sukai saat kuliah? Karena menu itu di Burger King di kampus harganya hanya USD 1. Ya, hanya satu dolar.
Andai tidak ada restoran cepat saji, akan sangat berat bagi saya melanjutkan kuliah di Amerika saat krismon dulu.
Bayangkan, berapa juta orang di Amerika yang hidupnya tertolong oleh restoran cepat saji. Ya, kualitas gizinya mungkin tidak ideal. Tapi sama saja dengan pelajar perguruan tinggi –atau buruh pabrik– di Indonesia yang uangnya pas-pasan, dan setiap hari harus makan di warteg, bukan?
Semoga pembaca mendapatkan perspektif baru dengan tulisan ini bahwa jangan asal sebut soal makanan. Jangan pernah menghina makanan, apa pun itu dan dari mana pun asalnya. Dan saya memohon, jangan pernah menyebut makanan apa pun sebagai sampah… (*)