NKRI harga mati! Tak hanya anak bangsa, ternyata Nabila Mohamad, warga Malaysia, tak dapat menahan titik air matanya jatuh ke pipi. Haru sangat dia menyaksikan bendera raksasa 180×40 meter berkibar di Bukit Kelam. Dan dia pun menyanyikan lagu kebangsaan RI, Sabtu (17/8).
Saiful Fuat, Sintang
eQuator.co.id – Pada Selasa (20/8), Bupati Jarot Winarno, Dandim 1205/Sintang Letkol Inf Rahmat Basuki, Staf Alhi Bupati Arbudin, menyambut kunjungan 48 orang pendaki yang berhasil membentangkan Merah Putih raksasa di Bukit Kelam. Mereka diterima di Pendopo Bupati Sintang.
Bupati Jarot mengapresiasi para pendaki dengan mengatakan, pembentangan bendara raksasa di Bukit Kelam merupakan kebanggaan bagi masyarakat Kabupaten Sintang. “Namun keberhasilan itu jangan buat kita semua berpuas diri. Ada masukan dari masyarakat Sintang bahkan dari luar juga, bendera yang dibentangkan itu keliatan kecil dari kejauhan, meskipun ukurannya 180 x 48 meter,” tuturnya.
Jarot tentu tak kecil hati. Ia meminta tahun depan Merah Putih yang dibentangkan lebih besar lagi dari sekarang. Tapi Bupati mengingatkan masalah ukuran bendera. Berdasarkan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, bahwa bendera merah putih itu berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua-pertiga) dari panjangnya, sementara, yang dibentangkan di Bukit Kelam berukuran 180×40 meter. Sehingga, tidak sesuai dengan perbandingan sebagai bendera.
“Nanti kedepannya, kita pasang dengan ukuran lebih besar dan tentunya harus sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya,” ujarnya semangat.
Selain itu, Jarot meminta untuk kedepannya persiapan harus lebih matang lagi, agar saat sirine dibunyikan, bendera langsung terbentang secara keseluruhan.
“Nanti tu jauh-jauh hari para pendaki harus sudah berada di atas memasang bendera itu. Biar begitu sirine dinyalakan, benderapun terbentang seluruhnya. Maksimal waktu paling lama setengah jam. Memang bukan pekerjaan mudah. Saya paham membentangkan merah putih raksasa sangat sulit di atas sana,” katanya.
Atas nama pemerintah dan masyarakat Kabupaten Sintang, Jarot mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para pendaki. Ini kali pertama dan langkah awal memberikan kebanggaan luar biasa bagi Kabupaten Sintang.
“In shaa Allah kedepannya akan lebih baik lagi, inilah yang kita sebut dari Kelam untuk Indonesia,” pungkasnya.
Dari 48 pendaki pembentangan merah putih raksasa di Bukit Kelam, ada seorang perempuan asing. Dia adalah Nabila Mohamed, 28 tahun, asal Pulau Pinang (Utara Malaysia). Ini sebuah kebanggaan dan kesah tersendiri baginya. Bagaimana dirinya bisa ikut serta dalam rombongan 48 pendaki.
Berbeda bangsa dan warga negara, Nabila mengetahui akan ada pembentangan bendera raksasa di Bukit Kelam dari postingan Instagram temannya di Bandung, Jawa Barat, yang juga salah seorang pendaki. Dia pun kontan ingin ikut.
“Spontan saya langsung tertarik ikut. Sebelumnya saya tidak tahu tentang Bukit Kelam. Teman saya di Bandung itu namenye Deden, saye kirim message via IG. Setelah dijawab saya langsung beli tiket dari Kuala Lumpur ke Pontianak,” jelas guru sekolah itu dengan logat Melayu yang kental.
Nabila baru kali pertama mengibarkan bendera di tebing batu. Bahkan bukan bendera kebangsaannya pula. Dia sangat tertarik, lantaran Bukit Kelam merupakan Batu Monolit terbesar di dunia.
“Sebelumnya saya pernah ikut mengibarkan bendara, tapi bukan di gunung atau bukit seperti di Kelam ini. Lokasinya di satu pulau Malaysia bagian selatan,” ungkapnya.
Nabila mengakui perasaanya amat terharu saat Merah Putih tersebut berhasil dibentangkan, walapun itu bendera Indonesia. Bahkan, dirinya juga menangis saat lagu kebangsaan Indonesia dinyanyikan. Karena, momen tersebut mengingatkan dirinya akan perjuangan tokoh kemerdekaan Indonesia dan Malaysia.
“Meskipun bendera Indonesia yang dikibarkan, tapi saye nampak itu macam bendera Malaysia,” ucap Nabila.
Dia merasa menyatu dengan tim pendaki. Keberhasilan tim pendaki membentangkan merah putih di puncak Tebing Kelam, itu gambaran perjuangan para pejuang kala merebut kemerdekaan dulu. Kata Nabila, betapa sakit dan pedihnya perjuangan kala itu, mendapatkan kemerdekaan perlu perjuangan yang luar biasa.
“Seperti nyawa di ujung tanduklah. Waktu menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, di tepi tebing, rasanye tak bise dibayangkan. Teringat perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan sangat berat,” pungkasnya.
Editor: Mohamad iQbaL