Mustahil Pindahkan Buaya ke Habitat Baru

Soal Serangan yang Menjadi-jadi, BKSDA Kalbar:

BERJEMUR. Buaya yang sering terlihat berjemur di dekat pemukiman warga di Jalan Boyan Mempawah, Kabupaten Mempawah, beberapa waktu lalu. Warga for RK

eQuator.co.idPontianak-RK. Semakin seringnya serangan Buaya Muara membuat warga Mempawah resah. Masyarakat di sana sangat berharap pihak terkait, yakni Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) bertindak. Menangkap dan memindahkan reptil bernama latin Crocodylus Porosus tersebut.

Permintaan ini dianalisa Dr.  Hari Prayogo. Dosen Biologi Konservasi Fakultas Kehutanan, Universitas Tanjungpura (Untan), itu mengatakan, masih memungkinkan memindahkan Buaya Muara ke lokasi lain. Namun harus sesuai dengan habitat aslinya, yaitu sungai dekat laut.

“Kalau sudah ke pemukiman, berarti sudah mengganggu. Sebaiknya dipindahkan ke lokasi lain yang jauh dari pemukiman,” ujarnya dihubungi Rakyat Kalbar, Kamis (11/1).

Buaya jenis ini, kata dia, memang tidak mungkin dipindahkan ke wilayah hulu sungai. Untuk itu, harus berkoordinasi dengan BKSDA karena lembaga itu lah yang memiliki kewenangan.

“Dan Mereka lah yang tau harus dipindahkan kemana,” ucap Hari.

Menurut dia, buaya masuk ke pemukiman penduduk disebabkan habitatnya terganggu, sumber makanannya juga sudah berkurang. “Satwa itu sudah tidak bisa berburu dengan agresif, akhirnya mencari makanan ke lokasi manusia. Tapi, pada dasarnya, satwa itu menjauhi pemukiman atau manusia,” tutupnya.

Di sisi lain, sebenarnya tak hanya buaya yang sering masuk ke pemukiman penduduk di Kalbar. Orang Utan pun kerap bersentuhan langsung dengan manusia di salah satu provinsi yang dilewati garis Khatulistiwa ini.

Senada dengan Hari, Deputy Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalbar, Nikodemus Ale menjelaskan, satwa masuk ke lingkungan manusia bukan balas dendam, melainkan karena areal atau wilayah hewan-hewan tersebut yang dulunya luas sekarang semakin berkurang. Aktivitas manusia lah yang masuk ke habitat satwa ini.

“Dulu areal mereka yang luas sumber makanan melimpah, nah semakin sempitnya areal mereka, artinya suplai makanan mereka semakin kecil, akhirnya mereka akan keluar mencari makanan di luar habitat mereka,” paparnya kepada Rakyat Kalbar.

Agar tidak semakin menimbulkan konflik antara manusia dan satwa, dikatakan Niko, solusinya datang dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Artinya, pemerintah seharusnya  memperhatikan dan mengurangi eksploitasi  sumber daya alam yang berbasis lahan. Misalnya, pada kawasan hutan, mangrove, jangan lagi dialihfungsikan sebagai kawasan perkebunan kelapa sawit, tambak, dan sebagainya.

“Nah ini memang harus menjadi perhatian pemerintah karena di situlah tempat hidup satwa liar tadi,” ujarnya.

Terkait  memindahkan buaya yang agresif menyerang manusia ke lokasi lain, hemat Niko, jika itu dilakukan, pemerintah harus bisa menjamin lokasi yang baru tersebut tidak dieksploitasi. Dan aman.

“Sekarang daerah mana yang mau dijadikan (lokasi baru)? Kalau pun ingin memindahkan, mekanismenya gimana?” ucap dia.

Ia menjelaskan, pertimbangannya, reptil tersebut bukan satwa penangkaran tetapi hewat alam liar. Seandainya dilakukan pemindahan, akan kesulitan dalam proses evakuasinya. Harus diburu, ditangkap, kemudian dipindahkan. Konsekuensinya, pemerintah harus menyediakan lokasi baru yang aman dari aktivitas manusia.

“Cuman di Mempawah itu buaya liar, kita tidak tau berapa jumlah buaya yang ada di sungai itu, beda dengan di penangkaran, sudah tau jumlahnya sekian. Jadi kalau memindahkan ke lokasi lain, saya rasa agak berat lah,” papar Niko.

Solusi yang tepat, disebutnya, adalah jangan mengganggu kawasan yang menjadi habitat liar dan buas. “Dalam konteks ini, jangan memberi izin atau mengalihfungsikan habitat hewan liar menjadi kawasan produksi,” pungkasnya.

Dikonfirmasi, Kepala Seksi KonservasiWilayah III BKSDA Kalbar, Dani Arief Wahyudi menyatakan, untuk memindahkan buaya tersebut ke habitat baru bisa dikatakan mustahil. “Kalau nggak salah, itu Buaya Muara ya, kalau untuk mengevakuasi itu nggak mungkin. Karena itu (jenis) buaya muara dan habitatnya di muara,” tuturnya dihubungi Rakyat Kalbar, Rabu (10/1).

Dijelaskannya, kasus buaya muncul di pemukiman penduduk memang sering terjadi di Kalbar. Diantaranya di  Mempawah, Singkawang, dan Pontianak yang tepatnya di kawasan Sungai Jawi.

“Di tiga lokasi itu, dulunya memang habitat buaya,” jelasnya.

Menurut dia, masyarakat juga tidak bisa disalahkan karena membutuhkan tempat tinggal. Karena manusia dan buaya sama-sama butuh tempat tinggal, yang perlu dijaga adalah jangan sampai terjadi konflik.

Buaya berpindah tempat karena kebutuhannya akan kelangsungan hidup. Mencari makanan. Seperti munculnya buaya di Sungai Jawi beberapa waktu silam, hewan itu bahkan muncul di tempat yang ramai karena dipicu bau amis darah sisa limbah buangan aktivitas lokasi jual-beli bahan-bahan makanan rakyat.

“Nah di sungai jawi itu lucunya dia muncul di dekat  pasar. Kenapa, karena di pasar itu orang buang sisa potongan hewan ke sungai. Di Singkawang juga begitu. Kalau kasus di Mempawah masih kita cari sebabnya,” papar Dani.

Menurut dia, populasi Buaya Muara terbanyak ada di Mempawah. Kata Dani, pihaknya juga harus menjaga kelestarian buaya tersebut. Hanya saja, BKSDA pun tidak bisa melarang masyarakat memanfaatkan sungai. Sebab, warga membutuhkan wilayah tersebut untuk beraktivitas.

Yang bisa dilakukan pihaknya adalah mengimbau warga untuk meningkatkan kewaspadaan ketika berada di dekat sungai. Hindari membunuh atau membuang sesuatu yang berdarah ke sungai. Sebab, bau amis dari darah memancing hewan tersebut keluar.

“Yang kita upayakan menjaga keseimbangan, lebih berhati-hati saja. Justru di Mempawah itu kalau nggak salah sudah kita pasang plang,” tutup Dani.

Diberitakan sebelumnya, serangan Buaya Muara di Sungai Mempawah sudah sangat mengkhawatirkan. Telah mengancam jiwa manusia. Seperti dialami menyerang Suwandi (29 tahun), warga Jalan Boyan, Desa Sejegi, Mempawah Timur, Selasa (9/1).

Saat itu, Suwandi baru pulang kerja sebagai petugas Dinas Kebersihan Mempawah, sekitar pukul 01.30 WIB. Ketika hendak membersihkan badan di geretak belakang rumahnya yang terletak di aliran sungai tersebut, dia diserang seekor buaya berukuran kira-kira tiga meter.

Sebelum menuruni anak tangga di pinggiran sungai itu, sebenarnya Suwandi terlebih dahulu menyenteri aliran sungai sekitarnya. Selesai mandi dan hendak naik ke rumah, tiba-tiba dari dalam sungai seekor buaya menyambar betis kiri Suwandi. Dan berusaha membawa Suwandi masuk ke aliran sungai.

Suwandi pun meronta seraya berteriak meminta tolong kepada keluarga di dalam rumah yang pada saat itu sedang tertidur pulas. Akibat gigitan buaya itu, Suwandi mengalami 8 luka robek di betis kiri.

Adik ipar Suwandi, Hajani (37 tahun), mengungkapkan buaya-buaya yang ada di Sungai Mempawah telah banyak menyerang warga. Mat Daud, abang Suwandi, sudah dua kali disambar buaya saat mandi. “Pernah juga perempuan dua kali, dan ada anak orang Cina (Tionghoa) satu kali, dengan nasib yang sama digigit buaya,” ungkapnya.

Hajani khawatir, kalau dibiarkan, buaya-buaya itu bisa semakin membahayakan populasi manusia di sekitar sungai. Jika masyarakat sudah yang bertindak, buaya-buaya itu pasti sudah diburu. Pasti dibunuh.

“Jadi kita berharap BKSDA yang mengambil buaya tersebut, karena sudah mengusik kehidupan kami,” pungkasnya geram.

 

Laporan: Ambrosius Junius

Editor: Mohamad iQbaL