Mereka yang Tidak Lulus Unas tapi Kini Hidup Sukses

HENDRIK BOBY FOR RASO BERLIKU: Hendrik Boby saat mengisi waktu luang di sebuah objek wisata.

eQuator.co.id – HENDRIK BOBY FOR RASO

BERLIKU: Hendrik Boby saat mengisi waktu luang di sebuah objek wisata.

Mereka yang Tidak Lulus Unas, tapi Kini Hidup Sukses (1)

Persiapkan Ujian Ulang untuk Kejar Jalur PMDK

Lulus ujian nasional (unas) menjadi impian bagi para siswa SMA sederajat dalam mengerjakan soal ujian. Sebab, ujian yang digelar tiga hari itu menjadi puncak tiga tahun menuntut ilmu di bangku SMA. Lantas bagaimana jika tidak lulus unas?

IRAWAN WIBISONO, Solo

ALANGKAH naif ketika belajar di SMA selama tiga tahun, namun nasib kelulusannya ditentukan hanya dalam tiga hari saat unas. Begitulah ungkapan yang kerap keluar di dunia pendidikan di kurun waktu lima sampai sepuluh tahun yang lalu. Nasib siswa SMA yang tidak lulus unas seakan-akan seperti kiamat, mereka tidak akan mendapatkan masa depan yang cerah

Begitu pula yang dirasakan seorang Hendrik Boby Hertanto, pada 2005 silam. Pada masa itu unas menjadi momok. Tidak hanya bagi siswa, namun juga guru dan orang tua siswa. Dengan dalih penggunaan standardisasi kelulusan, pemerintah kala itu, mengukur kelulusan siswa SMA dengan nilai yang dinaikkan secara berkala.

Boby, begitu ia biasa disapa, harus mendapatkan nilai minimal 4,25 agar bisa dikatakan lulus. Ia pun belajar melalui bimbingan yang intensif dari pihak sekolah. Salah satu SMA swasta di Kecamatan Pasar Kliwon, tempatnya sekolah dahulu secara rutin menggelar try out mata pelajaran yang akan diujikan. ”Saya lulus try out seluruh mata pelajaran,” katanya kemarin.

Dengan catatan try out yang dilaksanakan lebih dari tiga kali dan memperoleh hasil yang memuaskan tersebut nampaknya menjadi modal tersendiri bagi pria kelahiran Pacitan ini. Ia mengaku sangat percaya diri menghadapi unas. Didukung prestasi akademik di kelas yang saat itu selalu masuk di jajaran papan atas kelas ilmu sosial, sehingga nyaris tidak ada ruang untuk pesimistis.

Hari yang ditunggu pun tiba. Seluruh siswa SMA pada waktu itu berusaha mengerjakan unas dengan maksimal. Boby tidak sedikit pun merasa takut sebagaimana kawan-kawannya yang lain. Ia melangkah dengan rasa percaya diri yang tinggi dan yakin akan mendapatkan nilai di atas standar minimal kelulusan.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Boby sebelum unas dilaksanakan menjadi rebutan dua universitas terkemuka melalui jalur ujian masuk (UM). Yakni Universitas Gadjah Mada (UGM) jurusan Ilmu Budaya serta jalur penelusuran minat dan bakat (PMDK) jurusan Pendidikan Geografi Universitas Sebelas Maret (UNS).

Secara mengejutkan dia dinyatakan tidak lulus unas. Ya, kabar tersebut ia ketahui sehari sebelum pengumuman kelulusan. Pihak sekolah menghubungi nomor rumah dan meminta salah seorang keluarga untuk dating ke kantor sekolah. ”Datang dengan kakak. Selama perjalanan dari Pacitan sudah waswas. Hingga akhirnya diberitahukan kenyataannya,” kenang dia.

Bagai disambar petir di siang bolong. Ia pun kembali ke rumah hari itu juga dan menemui keluarga besar, termasuk orang tuanya. Sepanjang perjalanan hanya air mata yang berbicara. Bahkan tanpa perlu diucapkan, kedua orang tuanya faham.

Senada, kedua orang tua pun tak kuasa menahan aliran air mata. Dengan catatan akademik di atas rata-rata semua tidak percaya bahwa nilai mata pelajaran bahasa Inggris Boby tidak menyentuh angka 4,25. ”Gelap”, ia memilih diksi itu untuk mendiskripsikan suasana seluruh keluarganya. ”Saya terlalu kepedean saat mengerjakan,” katanya, ketika ditanya sebab ketidak lulusannya. Malam itu seluruh keluarga di rumah tidak dapat memejamkan mata, semua menangis hingga pagi.

Sehari berikutnya, di saat orang tua yang lain sibuk mengambilkan hasil unas putra putrinya, kedua orang tua Boby sibuk memikirkan masa depan putranya. Seakan sudah habis air mata serumah, akhirnya mereka menginisiasi menentukan langkah selanjutnya. Langkah pertama yang diambil adalah memastikan Boby untuk mengikuti ujian ulang yang dilaksanakan tiga bulan berikutnya.

Sementara itu prioritas lain adalah mencari kepastian nasib dua perguruan tinggi yang sebelumnya telah menerimanya sebagai mahasiswa dengan jalur khusus. ”Yang UGM mencoret saya, tapi Alhamdulillah-nya UNS masih mau mempertimbangkan,” kata dia.

Bak mendapatkan harapan baru untuk melanjutkan pendidikan, Boby pun mengikuti bimbingan yang diadakan pihak sekolah sebagai upaya mempersiapkan ujian ulang. Seperti tidak tahu kemana mukanya diletakkan.

Ia melangkah hari demi hari dengan membawa semangat yang lebih tinggi agar tembus dan dapat melanjutkan ke UNS. Waktu pun membuktikan, dengan berkaca pada pengalamannya tersebut ia mulai belajar untuk percaya diri, namun tidak menyepelekan segala persoalan.

Hingga akhirnya prestasi demi prestasi ia raih. Gelar sarjana pun ia raih dengan indek prestasi komulatif (IPK) yang tidak mengecewakan, yaitu 3,38. Tak hanya itu, Boby masuk tiga lulusan tercepat angkatan 2005 di jurusannya. Bagai mesin yang sudah panas, ia terus meroket dengan melanjutkan ke jenjang pascasarjana di universitas yang sama mengambil jurusan Ilmu Lingkungan. ”Alhamdulillah, lulus S2 dengan IPK 3,51,” ujarnya.

Kini sebagai wujud terima kasihnya terhadap almamater, Boby mengabdikan diri ke SMA di mana ia bersekolah. Tak hanya menjadi pengajar biasa, ia pun kerap mengikuti kompetisi tingkat nasional dalam bidang geografi ataupun ilmu alam. Menjadi pemakalah guru terbaik 2011 pernah ia raih di ajang olimpiade geografi nasional tingkat SMA yang diselenggarakan UGM.

Ia berharap siswa saat ini yang tengah menempuh unas agar tidak terlalu euforia karena unas bukanlah segala-galanya. Boby yang kini menjadi staf wakil kepala sekolah bidang kesiswaan ini meminta dua hal dilakukan oleh peserta unas, yaitu sungguh-sungguh dan berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. (bersambung/un)

JS: Seluruh Keluarga Menangis hingga Pagi