-ads-
Home Features Mereka yang Setia Mengayuh Melawan Arus Peradaban

Mereka yang Setia Mengayuh Melawan Arus Peradaban

Penambang Sepid dan Sampan di Sungai Kapuas

ANGKUTAN AIR. Aktivitas sepid yang megangkut orang di Sungai Kapuas, Pontianak, Selasa (25/10). Iman Santosa-RK

eQuator.co.id – Perjalanan waktu terus beranjak tak tertahankan. Perubahan akhirnya menjadi realitas yang tak terpungkiri. Beberapa bahkan akhirnya tersisih kalah kemudian menghilang. Di usia Pontianak yang ke-245, masihkah para penambang sampan dan sepid di Sungai Kapuas menjadi pilihan?

Iman Santosa, Pontianak

Ada kenangan tersendiri bagi Muhammad Arafat mengenai Sungai Kapuas. Sewaktu kecil, setiap kali menyeberang sungai terpanjang di Indonesia itu, ia selalu menaiki sepid (istilah orang Pontianak untuk perahu kecil bermesin/speed boat yang menghubungkan Siantan dengan pusat kota) ataupun sampan (dikayuh manusia).

-ads-

“Waktu itu, motor ayahku motor tua, jadi takut untuk dibawa naik tol (Jembatan Kapuas),” kisahnya sambil lalu saat ngobrol dengan Rakyat Kalbar di salah satu warung kopi Pontianak, beberapa waktu lalu.

Karena itu, setiap hendak mengunjungi kerabat yang kebanyakan tinggal di Pontianak Timur, sepid dan sampan selalu menjadi andalan. “Dulu motornya parkir kalo ndak di Gang Kamboja, ya di Gang Landak,” ingat pria 28 tahun ini. Dua gang tersebut berada di Jalan Tanjungpura, Pontianak Selatan.

Pegawai PT Angkasa Pura II itu sendiri lahir di tepian Sungai Kapuas, Kelurahan Tambelan Sampit, Pontianak Timur. Ketika usianya satu setengah tahun, ia ikut orangtuanya pindah kediaman ke Sungai Jawi, Pontianak Barat. Itu sebabnya, sampai sekarang banyak keluarganya yang masih tinggal di Pontianak Timur.

Yah, paling tidak, setahun sekali, minimal saat lebaran, ia pasti berkunjung ke rumah kerabatnya tersebut. Dalam ingatannya yang samar, Arafat ingat bagaimana dahulu ia sangat ketakutan saat menaiki sampan.

“Habisnye kadang-kadang suke oleng,” ujarnya sembari tertawa.

Walhasil, dia selalu lebih memilih menaiki sepid yang menurutnya lebih cepat dan stabil. Ia sendiri lupa berapa banyak yang harus dibayarkan untuk menggunakan jasa sampan atau sepid tersebut. Namun ada satu kenangan yang masih kuat membekas di ingatannya.

“Kalau sampan saye lewat depan meriam (meriam karbit ketika musim lebaran,red) pasti saye nangis, karne dulu tu takut dengan meriam,” selorohnya diikuti tawa.

Arafat pun tak ingat kapan terakhir kali ia menggunakan angkutan sungai tradisional tersebut, “Mungkin sudah sekitar lima belasan tahun,” ia mengira-ngira.

Semenjak ayahnya berganti sepeda motor, ia tidak pernah lagi menggunakan jasa sepid atau pengayuh sampan. Sampai sekarangpun, ia hanya menggunakan jalur darat jika hendak mengunjungi kerabatnya yang ada di Pontianak Timur atau Utara.

Seiring bertumbuhnya kendaraan pribadi di Pontianak, keberadaan penambang sepid dan sampan mulai ditinggalkan. Jumlah mereka berkurang drastis dibanding sebelum era 2000-an. Beberapa pangkalan masih beroperasi, namun baik penumpang maupun penambangnya tak lagi sama seperti dulu.

“Jauh bang, dulu itu bukan lagi ratusan, bise ribuan,” ujar Matrudin, salah seorang penambang sepid.

Pria paruh baya ini merupakan saksi betapa jayanya penambang sepid dan sampan. Matrudin mengaku, dulu penghasilannya mengemudikan sepid cukup untuk mensejahterakan seluruh keluarganya. Padahal, kala itu, mereka yang mencari nafkah sepertinya jauh lebih banyak dibandingkan sekarang.

Kini, hampir dua puluh tahun sejak pertama kali ia mengoperasikan sepid di Sungai Kapuas. Tidak pernah terpikir untuk beralih usaha meski pendapatan dari menambang sepit tak lagi se-oke dulu.

“Kalau sekarang paling dapat seratus sehari, ndak pasti juga bang,” bebernya Matrudin. Pendapatan seratus ribu rupiah itu belum dikurangi biaya makan dan minumnya selama seharian menambang.

Warga Tanjung Hilir inipun mengaku tidak memiliki jadwal kerja pasti sekarang ini. Kadang sore hari ia sudah pulang, kadang pula hingga lewat tengah malam masih berkeliaran mencari penumpang.

“Tergantung suasana hati, kalau awal ya awal, kalau malam, sampai jam dua pun pernah,” selorohnya.

Sehari-hari, Matrudin mangkal di Pasar Kapuas, Pontianak Selatan, dan Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman, Pontianak Timur. Jika malam, perahunya ditambatkan di pangkalan sepid dan sampan dekat Masjid Jami’. Kemudian, pulang ke rumahnya dengan sepeda motor yang biasa ia titipkan ke tukang parkir di masjid.

Meski berkurang, pengguna sepid tetap ada. Masih banyak yang membutuhkan keberadaan angkutan sungai tersebut.

“Kalau pagi, ramai orang belanje, ade gak yang pegi kerje,” papar Matrudin.

Memang, biaya menggunakan jasa para penambang sepit ini terbilang murah. Untuk sekali menyeberang cukup membayar 2000 rupiah.

“Tapi harus nunggu sampai 7 orang, kalau ndak mau nunggu kena Rp15.000,” jelasnya.

Sesekali, kata dia, ada wisatawan yang mau menyewa sepidnya untuk diantar berkeliling Sungai Kapuas. “Kalau itu saye kasi 100 ribu untuk satu jam,” ungkap Matrudin.

Supri adalah satu dari pengguna setia sepid. Ia yang berkerja menjadi tenaga angkut di salah satu toko di area Pasar Kapuas, setiap hari menggunakan perahu itu untuk berangkat dan pulang ke rumahnya di Kampung Dalam, Pontianak Timur.

Tak makan biaya besar, itu alasan pria usia 49 tahun ini terus menggunakan jasa angkutan tersebut. “Murah, rumah kite pun dekat, tempat kerje di sini (area pasar kapuas),” ujarnya.

Menurut dia, masih banyak yang menggunakan sepid dan sampan untuk menyeberang. Khususnya di kala mentari siuman menyembulkan diri malu-malu.

“Kalau pagi ramai biasenye, kalau sore begini ya tinggal segini,” ujarnya. Di pangkalan Pasar Kapuas Besar, hanya ada sekitar 5 sepid yang beroperasi bergiliran dan tidak satupun sampan kayuh tradisional yang beroperasi.

Tambah Supri, “Kalau sore tak ade biasenye, soalnye orang mau cepat. Kalau sampan kan lama, ape agek kalo hujan”.

Memang, derap kehidupan kota yang terus tumbuh perekonomiannya membuat nasib penambang sepid dan sampan jauh berbeda. Kalau penambang sepid orderannya masih lumayan, penambang sampan justru agak terpuruk.

Contohnya Akim. Pria 50 tahun ini cuma duduk santai di warung kopi kawasan Pasar Kapuas tidak jauh dari pangkalan. Ia tidak tampak sibuk berusaha mengajak orang untuk naik ke atas sampannya yang tertambat diantara deretan sepid.

“Tak akan ade bang yang naik,” ujar lelaki Tionghoa itu.

Wajar dia setengah putus asa. Hujan mulai turun, beberapa calon penumpang masih menunggu di pangkalan. Berteduh sembari menanti jumlah cukup agar sepid jalan.

“Kalau hujan orang pasti naik sepid,” tutur Akim. Menurutnya orang-orang enggan naik sampan karena memang lebih lamban dari sepid.

Ia bercerita, kini banyak pengayuh sampan yang menambahkan mesin penggerak di sampan mereka. Hal ini menurutnya untuk menyaingi sepid yang memang lebih banyak peminat,

“Karena orang pinginnye cepat,” tukasnya.

Meski begitu, dia mengaku masih setia mengayuh sampan dengan tangannya sendiri. Menambahkan mesin membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

“Hargenye di atas satu juta, manelah mampu,” ungkap Akim.

Kata dia, penghasilannya kini tak seberapa. Waktu pagi adalah saat ia meraup rezeki, karena saat itulah orang paling ramai menyeberang.

“Sehari 30-40 ribu udah syukur,” tambahnya.

Itu sebabnya, dia tidak menggantungkan hidup dari menambang sampan semata. Akim juga membuka warung di tempat tinggalnya di Kelurahan Tembelan Sampit.

“Biase tak ade penumpang, saya angkut barang dagangan,” ucapnya.

Kondisi miris memang dirasakan pengayuh sampan tradisional. Sepanjang penelusuran di beberapa pangkalan penambang sepit dan sampan di sepanjang penyeberangan ferry hingga pelabuhan Shenghi, hanya Akim lah pengayuh sampan yang berhasil ditemui pada Selasa sore (25/10) itu.

Jikapun ada, sampan tradisional tersebut telah dilengkapi dengan mesin penggerak. Pun begitu, berdasarkan penuturan beberapa penambang sepid, para pengayuh sampan tersebut hanya beroperasi di pagi hari.

Bagi Akim, keberadaan pengayuh sampan tradisional seharusnya dilestarikan. “Ndak semua orang bise (mengemudikan sampan). Kalo ndak pandai, oleng,” tukasnya.

Keberadaan Sungai Kapuas sebagai urat nadi Kota Pontianak, menjadikan angkutan air tidak terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari warganya. Namun, diakui, seiring kian metropolisnya Pontianak, entah sampai kapan para penambang sepid dan sampan ini bisa bertahan.

Yah, setidaknya, hingga hari jadi Pontianak ke-245 pada 23 Oktober lalu, sebagian warganya masih menganggap para penambang sepid dan sampan ini bagian tak terpisahkan dari Kota Khatulistiwa. (*)

Exit mobile version