Mereka Juga Manusia

Jeritan Hati Mantan Pengikut Gafatar Sintang

SEDIH. Menangis, Dila (di tengah, berjaket biru dengan les pink) tak kuasa menahan kesedihannya ketika dievakuasi Pemkab Sintang dari Desa Simba Jaya, Kecamatan Binjai Hulu, Kabupaten Sintang, Selasa (19/1). Keluh Dila, Achmad Munandar-RK

“Kami Ini Orang Susah, Kenapa Makin Dibikin Susah?”. 

Dila tak kuasa menahan kesedihannya, air matanya jatuh. Gadis berusia 16 tahun itu terus terisak-isak saat dievakuasi dari Desa Simba Jaya, Kecamatan Binjai Hulu, Kabupaten Sintang, yang didiaminya sejak beberapa waktu lalu.

Achmad Munandar, Sintang

Mendung memang menggelayut di wajah orang-orang eks Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) Sintang saat terpaksa angkat kaki dari desa itu lantaran takut menjadi amukan masyarakat setempat, kemarin (19/1). Empat puluh lima Warga Negara Indonesia dari sembilan Kepala Keluarga (KK) tersebut terlihat bahu membahu mengangkut perabotan rumah tangga untuk dimasukan ke dalam dump truck yang sudah disediakan Pemerintah Kabupaten Sintang.

“Saya sedih sekali, kami di sini sudah sangat menyatu satu dan yang lain. Kenapa nasib buruk ini kembali menimpa kami, salah kami apa?” tutur Dila. Suaranya mulai tercekat.

Dila tidak tahu harus berbuat apa setelah peristiwa ini. Yang pasti, kemanapun orangtuanya pergi, ia akan selalu mendampingi. “Kami ini orang susah, kenapa makin dibikin susah lagi,” ujarnya, menangis tersedu-sedu.

Ia mengakui orangtuanya pernah direkrut Gafatar. “Baru 4 bulan saya di sini,” terang Dila. Dia pernah mengenyam pendidkan tingkat Sekolah Dasar (SD) saat masih tinggal di Jawa Tengah.

Namun, sesampainya di Sintang, ia tak bisa bersekolah lagi. Selain karena keterbatasan ekonomi, Gafatar menyediakan pendidikan di rumah (home schooling) seperti halnya di sekolah formal. Jadwalnya dirolling dari rumah ke rumah.

“Misalnya, hari ini orangtua mengajar rumah Si A dan kemudian esoknya orangtua Si A mengajarkan saya dan adik-adik saya di rumah. Mengenai pendidikan dasar serta pengetahuan, baik itu agama dan lainya,” ucap Dila.

Menurut Dila, pendidikan yang diberikan Gafatar tidak terlalu jauh menyimpang dari yang didapat di sekolah, baik itu tingkat SD, SMP, maupun SMA. “Namun, jika ingin memiliki pengetahuan lebih, saya biasanya browsing internet,” ungkapnya.

Proses evakuasi berlangsung lancar, tak ada gesekan dengan warga setempat sejak dimulai pukul 10.00 WIB hingga selesai pada 12.15 WIB. Mereka dibawa ke lokasi penampungan sementara, Loka Bina Karya (LBK), milik Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Sintang.

Senada dengan Dila, warga lainnya bernama Nurul juga mengaku sedih dengan situasi saat ini. Perempuan berusia 36 tahun itu tak tahu akan tinggal di mana. Pun was-was, sampai kapan pemerintah akan menampung keberadaan mereka.

“Kami sadar di sini hanya numpang. Kami di sini tidak untuk membuat gaduh, cuma mencari rezeki dengan bercocok tanam,” tutur Nurul, suaranya lemah.

Dia masuk Gafatar baru satu setengah tahun. “Sekarang saya bukan lagi anggota Gafatar. Tolong beri kami ruang untuk bertahan hidup,” pintanya.

Kedatangan Nurul di Desa Simba Jaya hanya untuk mengais rezeki dengan bertani. Ia menanam timun, jagung, kacang panjang, dan kangkung. “Semua kami jual di pasar. Hasilnya untuk mempertahankan hidup kami selama tinggal di sini. Jadi, kami tidak ada niat untuk berbuat hal-hal yang menyesatkan seperti yang ada di benak masyarakat saat ini,” papar dia.

Sebelumnya, ia tinggal di Wonogiri, Jawa Tengah. “Memang kami belum sempat melakukan pendataan di tingkat desa maupun kecamatan, karena kami masih merasa bingung. Bukan berarti kami sedang menajalankan misi,” ucap Nurul.

Imbuh dia, “Kalau kami harus kembali ke tempat asal kami, dimana kami harus tinggal? Kami sudah tidak punya siapa-siapa di Jawa Tengah”.

Nurul punya tiga anak yang memang diakuinya tak mengenyam pendidikan seperti lazimnya masyarakat lain. “Yang mendidiknya hanya para orangtua dari 9 kepala keluarga,” ungkapnya.

Koordinator warga sembilan KK itu, Rohim, pun menolak jika harus dipulangkan ke daerah asal. “Rasanya tidak mungkin, kalau dipindah (relokasi,red) silakan,” terangnya, tabah.

Namun, ia berharap pemerintah mempunyai solusi bagi kehidupan mereka kedepan. Misalnya difasilitasi untuk kembali bertani atau berdagang. “Kami ingin hidup normal. Jika dipulangkan ke kampung asal, rasanya berat,” ujar Rohim.

Rohim membantah kelompoknya disebut tidak membaur dengan warga setempat. Hidup berkelompok hanyalah cara untuk memudahkan menggarap lahan. Jika harus hidup berpencar dan saling berjauhan akan sulit. Ia juga menampik bahwa identitas kependudukan mereka tidak diurus.

“Kita sudah satu setengah tahun di sini. Kami sudah pindah alamat, KTP dan KK kami sudah alamat Sintang,” klaimnya.

Selama bermukim di Binjai Hulu, ia menyatakan kelompoknya tidak pernah menghasut atau meresahkan warga. “Kami sebenarnya korban, efek pemberitaan tentang Gafatar. Meski kami sebetulnya sudah eks Ormas (Gafatar,red),” demikian Rohim.

Memang, heboh soal Gafatar ini bermula dari hilangnya dr. Rica Tri Handayani dan anaknya yang berdomisili di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Belakangan diketahui, Rica berangkat dari Bandara Adisutjipto ke Pontianak, Kalbar, pada 30 Desember tahun lalu. Dari investigasi Polda DIY, dia sempat berada di Mempawah Hilir selama dua hari.

Karena pemberitaan hilangnya Rica makin gencar, mereka pun pindah ke Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Sampai akhirnya Rica ditemukan oleh polisi di bandara setempat pada 10 Januari tahun ini.

Terpisah, Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Sintang, Florensius Kaha mengatakan, penampungan eks gafatar ini sifatnya hanya sementara. Pihaknya berencana menyerahkan penanganan semua warga eks Gafatar ini ke Pemerintah Provinsi Kalbar. “Jadi mereka berada di LBK hingga satu minggu kedepan. Selanjutnya akan di tangani pihak Provinsi,” ungkap Kaha.

Selama seminggu di LBK Sintang, ia memastikan kebutuhan dasar para pengungsi tersebut menjadi tanggung jawab Pemkab Sintang. Pihaknya juga akan memberikan pencerahan kepada mereka.

“Kita panggil para ulama, tujuannya agar mereka tahu bahwa aliran yang mereka ikuti selama ini salah dan bisa kembali ke jalan yang benar, sehingga mereka dapat diterima oleh masyarakat manapun,” tuturnya.

Meski mengaku iba melihat anak-anak kecil yang tidak tahu menahu dan hanya mengikuti orangtuanya saja, Kaha menegaskan, keberadaan mereka di Sintang sudah tidak bisa ditolerir. Pemkab Sintang tidak berani mengambil risiko terjadi keributan.

“Kalau mereka tetap di sini, akan terjadi konflik. Agar kejadian di Mempawah tak terulang di Sintang, langkah paling baik adalah memulangkan mereka semua ke daerahnya masing-masing,” tegas dia.

Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Sintang, Budi Harto, mengamini. “Ini tindak lanjut dari insiden yang terjadi di Mempawah, tidak lain untuk menghindari konflik sosial antarmasyarakat,” paparnya.

Meski begitu, Budi meyakini mereka wajib dilindungi jiwanya. “Kan warga negara Indonesia juga. Hanya saja, pendalaman dan pengetahuan mereka yang salah,” terang dia.

Menurutnya, tak mudah bagi para warga eks Gafatar untuk bisa diterima masyarakat luas. “Tentunya ada hal-hal yang harus mereka penuhi untuk meyakinkan pemerintah dan masyarakat Sintang,” tandas Budi. (*)