Menyorot Kasus Penistaan Agama di Indonesia

Karena Ada Undang-Undanganya, Wajib Diproses Hukum

Masa saat bentrok dengan aparat saat demo di depan Istana Merdeka di Jakarta, Jumat (4/11). Mereka berunjuk rasa menuntut pemerintah untuk mengusut kasus dugaan penistaan agama dengan terlapor Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.FOTO:MIFTAHULHAYAT/JAWA POS

eQuator.co.id – Setiap terjadi kasus penistaan agama, tidak pernah luput dari perhatian Kementerian Agama (Kemenag). Tim peneliti dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemenag turun ke lapangan untuk meneliti. Tujuannya bukan ikut mencampuri penanganan pidana, tetapi melakukan kajian mendalam.

Kepala Balitbang Kemenag Abdul Rahman Mas’ud menuturkan selama ini menjalankan riset kualitatif terhadap kasus-kasus penistaan agama. ’’Jadi kalau bilang ada berapa angka kasus penistaan agama, belum ada rekapnya,’’ jelasnya. Tetapi untuk kajian kasus satu persatu, mereka memiliki hasil penelitian yang mendalam.

Banyak sekali kasus penistaan agama yang mereka teliti. Paling baru adalah kasus penistaan agama kelompok Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Kemudian juga penistaan agama ’’berbaju’’ Syiah di Madura yang dimotori Tajul Muluk di Sampang, Madura.

’’Kami mengkaji setiap kasus penistaan agama itu berbasis Undang-Undang PNPS (Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, red),’’ katanya. Selain itu saat ini sedang dibahas rancangan undang-undang (RUU) tentang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB).

Abdul Rahman menuturkan tujuan utama RUU PUB itu melindungi umat beragama dari potensi penodaan agama (defamation of religion). Dia menjelaskan Indonesia sebagai negara beragama, berbeda dengan negara-negara di Barat. Menurutnya di Barat sudah banyak negara yang tidak lagi menggunakan aturan hukum untuk urusan keberagamaan. ’’Di Indonesia tidak bisa seperti itu,’’ tegasnya.

Dia menjelaskan setiap ada kasus penistaan agama, harus diproses hukum. Perkara hasilnya nanti seperti apa, yang penting ada proses penindakan hukum dahulu. Sebab ada hukum yang mengatur soal penistaan agama. Dia menjelaskan pemerintah bisa disalahkan jika membiarkan penistaan agama.

Abdul Rahmad menuturkan dalam sejarah kasus penistaan agama di Indonesia, penyelesaiannya ada tiga macam. Yakni hukuman pidana berupa kurungan penjara, mediasi, dan penyelesaian ketiga adalah dikeluarkannya surat keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan kementerian/lembaga terkait lainnya.

Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang Kemenag Abdul Jamil Wahab menjelaskan lebih detail soal kasus-kasus penistaan agama. Lebih dulu Jamil menceritakan kasus-kasus penistaan agama yang berujung pada putusan pengadilan atau pidana. Yaitu pada kasus Tajul Muluk di Sampang (2012) dan Ahmad Musadeq dengan Qiyadah Islamiyah (2007).

Jamil menjelaskan pada kasus Tajul Muluk telah terjadi penistaan agama yang bisa dibutikan. Dia menegaskan bukan karena tuduhan Syiah-nya, tetapi pada ajarannya yang menyimpang dari kaidah Islam. ’’Kalau soal Syiah, di sejumlah daerah banyak orang Syiah yang menikah dengan orang Islam bukan Syiah. tidak masalah,’’ paparnya.

Dari sejumlah penelusuran, banyak sekali ajaran Tajul Muluk yang menyimpang dari ajaran Islam. Diantaranya adalah salat hanya tiga waktu dalam sehari. Selain itu juga banyak penyimpangan dalam rukun iman dan rukun Islam. Kemudian juga penyimpangan-penyimpangan lainnya.

Selanjutnya pada kasus Ahmad Musadeq dia jelas-jelas terbukti mengakui sebagai nabi. Ujungnya dia dipenjara karena terbukti telah menistakan agama dan memiliki jamaah yang cukup banyak di kawasan Depok. Setelah bebas dari penjara atas vonis penistaan agama ini, Musadeq kambuh lagi dengan membuat Gafatar.

Selain kasus penistaan yang berujung pidana, Jamil menjelaskan ada yang berakhir mediasi. ’’Bisa dimediasi karena pelakunya bisa mengklarifikasi dan menyatakan kembali ke jalan yang benar,’’ jelasnya. Klarifikasi dan pengakuan kembali ke jalan yang benar itu, harus mendapatkan respon dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat maupun daerah.

Kasus penistaan agama yang berakhir mediasi seperti yang dialami oleh Gus Jari warga Jombang, Jawa Timur. Dia dikabarnya menyebarkan paham bahwa dialah nabi akhir zaman. Tetapi setelah didatangi oleh perwakilan MUI, Jari mengatakan tobat dan tidak bermaksud mengklaim dirinya sebagai nabi akhir zaman.

Kasus salat dua bahaya yang dipelopori Yusman Roy di Malang, Jawa Timur, juga sempat membuat heboh. Tetapi kasus ini berujung mediasi setelah perwakilan MUI bertemu langsung dengan Roy. Kemudian Roy bersedia mediasi dan mengatakan kembali ke jalan Islam yang benar.

Disinggung terkait tudingan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, Jamil mengatakan bukan kapasitas Kemenag untuk memutuskannya. Dia menjelaskan masyarakat sebaiknya menunggu proses hukum yang sudah berjalan saat ini. ’’Kata kunci penistaan agama itu adalah adanya unsur ke sengajaan atau tidak. Sebab di KUHP bunyinya seperti itu,’’ jelasnya. Pada kasus-kasus yang dia sebutuhkan tadi, unsur kesengajaannya terbukti ada.

Untuk menguji adanya unsur kesengajaan atau tidak, Jamil mengatakan ada tiga pendekatan. Pertama adalah melihat hanya dari aspek kalimat yang telah diucapkan. Melalui ilmu bahasa (linguistik) ucapan itu bisa dikaji kebenarannya secara gramatikal.

Kedua adalah mempelajari kalimat yang diucapkan dengan orang yang mengucapkannya. Apakah dalam ucapan yang dia sampaikan itu, sesuai dengan jati dirinya. ’’Sehingga perlu ada konfirmasi dari yang mengucapkannya,’’ jelasnya.

Dan yang ketiga adalah pendekatan wacana kritis. Pendekatan ini mengkaji lebih jauh penyebab seseorang mengucapkan sesuatu yang kemudian dinilai sebagai penistaan agama. ’’Mengapa kalimat itu diucapkan, sebaiknya juga harus ditelusuri,’’ paparnya.

Jamil menyimpulkan jika dari ketiga pendekatan itu terjadi konsistensi kesimpulan yang sama, maka delik pidana bisa diuptusakan. Sebaliknya jika dari ketiga pendekatan itu tidak terjadi konsistensi, maka tuduhan penodaan agama terhadap seseorang tersebut sulit dipercayai.

Wakil Ketua Umum MUI Pusat Zinut Tahid Sa’adi berharap pemerintah tanggap terhadap upaya pencegahan penistaan agama. Diantaranya adalah melakukan sosialisasi peraturan tentang kehidupan umat beragama. Upaya lainnya adalah dengan memberdayakan forum komunikasi antar umat beragama, membangun dialog, dan silaturahmi.

’’Dalam RUU PUB perlu diatur hak, kewajiban, dan sanksi terkait penanganan penistaan agama,’’ jelasnya. Supaya penanganan penistaan agama tidak hanya merujuk pada KUHP dan UU PNPS saja. (wan)