Mengolah Kolang-kaling Memenuhi Kebutuhan Idul Fitri

Berkah Petani Aren di Bulan Ramadan

KOLANG-KALING. Petani aren Kampung Baong, Kelurahan Kedamin Hulu, Putussibau Selatan memasak buah aren di halaman rumahnya untuk dijadikan kolang-kaling, Rabu (14/5). ANDREAS

Ramadan benarbenar bulan yang penuh berkah bagi umatnya. Sebagaimana dirasakan warga RT 008/RW 003 Kampung Baong, Kelurahan Kedamin Hulu, Putussibau Selatan, Kapuas Hulu. Mereka memetik hasil yang memuaskan, hanya dengan mengolah buah aren yang banyak di daerahnya menjadi kolangkaling.

Andreas, Kapuas Hulu

eQuator.co.id – Kolang-kaling terbuat dari daging buah aren yang berbentuk bulat lonjong putih bening. Kenyalnya daging buah aren memiliki rasa yang khas. Lebih enak apabila dimakan dengan campuran santan, susu dan gula merah dalam kondisi dingin.

Kolang-kaling biasanya menjadi menu untuk berbuka puasa. Selain untuk memulihkan kesegaran dikala dahaga, kolang-kaling memiliki manfaat kesehatan, salah satunya untuk penguatan tulang.

Kubay adalah salah seorang petani aren yang mengolah kolang-kaling. Ditemui Rakyat Kalbar di halaman rumahnya yang tak jauh dari pantai Sungai Kapuas, warga Kampung Baong itu tengah sibuk mensortir buah aren yang sudah dimasak dalam kuwali atau wajan besar.

Dia tak bekerja sendiri. Dibantu warga lainnya yang rata-rata ibu rumah tangga. Masing-masing memiliki tugas tersendiri. Ada yang mengupas dan membersihkan kulit buah aren. Sedangkan Kubay bertugas memasaknya.

Kendati hanya musiman, Kubay mengaku pendapatan mereka sangat membantu memenuhi kebutuhan hari raya Idul Fitri nanti. “Ya, lumayan (keuntungannya) setahun sekali, buat lebaran keluarga,” tutur Kubay sambil merendam buah aren yang sudah dimasak di halaman rumahnya, Rabu (14/6).

Ternyata untuk mendapatlan buah aren sebagai bahan minuman kolang-kaling ini tak segampang yang dilihat. Selain harus dipilih, mana yang layak dijadikan kolang-kaling, memetik buahnya juga butuh perjuangan keras.

“Tak sembarangan orang bisa mengambil buah aren ini dipokoknya. Jika tidak hati-hati memetik buah ini dari tandannya, maka orang tersebut akan mengalami gatal-gatal di sekujur tubuhnya, karena terkena getahnya,” tuturnya.

Selain itu, buah aren ini tidak sembarangan dipetik. Harus dilihat terlebih dahulu apakah buah tersebut benar-benar matang atau tidak. Karena akan mempengaruhi kualitas buah tersebut ketika dimasak menjadi kolang-kaling.

Begitu juga cara mengolahnya. Buah aren yang baru dipetik dari tandannya, tidak langsung dikupas. Harus melalui proses penggodokan atau rebus di atas tungku dengan panas hingga 100 derajat celsius.
“Kalau tidak digodok, kalau dimakan buahnya, tenggorokan terasa gatal. Setelah digodok dalam wajan, barulah bisa dikupas untuk mengeluarkan biji kolang-kaling yang berwarna putih bening dan berbentuk lonjong itu,” jelas Kubay.
Bahkan jika penggodokannya kurang matang, biasanya buah aren tersebut berwarna merah dan bisa menyababkan gagal sehingga tidak bisa dijual. Maka perlu teknik dan keterampilan khusus bagi pengolah kolang-kaling itu.

“Buah kolang-kaling yang telah dikupas, selanjutnya direndam dalam air selama tiga hari untuk mendapatkan kandungan air yang cukup. Baru setelah itu ditumbuk untuk mendapatkan bentuk yang ideal,” ucapnya.

Petani kolang-kaling lainnya, Amisah mengatakan, selama Ramadan, dia bersama petani lainnya mampu menghasilkan puluhan kilo buah kolang-kaling yang siap dijual ke pasar. “Namun sayangnya harga satu canting buah kolang-kaling harganya masih murah, hanya Rp4000 per canting, tak sesuai dengan pengolahan dan mendapatkan buahnya,” ucap Amisah.

Amisah mengatakan, buah kolang-kaling yang mereka olah itu sudah menjadi pesanan untuk dijual. Di bulan Ramadan seperti ini, kata dia, pesanan buah kolang-kaling meningkat. Bahkan kata Amisah, dirinya bersama petani lainnya tidak mampu melayani pembeli.

Mereka merasa bersyukur bahwa bulan Ramadan kali ini, buah kolang-kaling produksi mereka laris terjual. Hanya saja buah khas tersebut mulai terancam kelestariannya, karena sering ditebang warga untuk mengambil umbut pohon aren dijadikan sayur. “Ke depan, kami tidak tahu, apakah buah kolang-kaling ini masih akan tetap ada atau tidak,” tuturnya.

Kata Amisah, pengolahan buah aren menjadi kolang-kaling hanya di bulan Ramadan. Makanya dia dan warga lainnya menjadi petani kolang-kaling dadakan.

Seperti diketahui, pohon aren yang buahnya dijadikan bahan baku kolang-kaleng ini dapat ditemukan di setiap kecamatan di Kapuas Hulu. Tanahnya sangat cocok ditumbuhi pohon jenis palma ini.

Tinggi pohon aren dapat mencapai 25 meter, dengan diameter hingga 65 Cm. Batang pohonnya kokoh dan pada bagian atas diselimuti serabut berwarna hitam yang dikenal sebagai ijuk, injuk, juk atau duk. Ijuk sebenarnya adalah bagian dari pelepah daun yang menyelubungi batang.

Daunnya majemuk menyirip, seperti daun kelapa, panjang hingga lima meter dengan tangkai daun hingga 1,5 meter. Anak daun seperti pita bergelombang, hingga 7 x 145 Cm, berwarna hijau gelap di atas dan keputih-putihan, karena ada lapisan lilin di sisi bawahnya. Sehingga aren (Arenga Pinnata, suku Arecaceae) menjadi palma terpenting setelah kelapa (nyiur). Karena merupakan tanaman serba guna. (*)