eQuator.co.id – Gandi Soni Wicaksono dan Dian Eka seolah tidak pernah lelah mengurus anak berkebutuhan khusus (ABK). Banyak yang telah mereka lakukan. Yang terbaru: mendirikan Ngaji Braille. Alfian Andika Yudistira berjalan perlahan memasuki ruang tamu sebuah rumah di Rungkut Asri, Surabaya. Tangannya menggenggam sebuah buku besar.
Begitu dia duduk, buku itu diletakkan di atas meja kecil. Dua tangannya lantas membuka lembar demi lembar buku tersebut. Dia meraba lembaran putih pada tiap halaman buku berukuran A4 itu. ”Nah, ketemu. Saya baru sampai surah An-Nasr,” ujar Alfian.
Setelah melafalkan bismillah, lantunan ayat suci Alquran terdengar dari bibir pemuda 19 tahun tersebut. Alfian adalah penyandang tunanetra. Sore itu, pemuda kelahiran 30 Oktober 1997 tersebut membaca Alquran braille. Selain Alfian, ada tiga penyandang tunanetra lain yang sedang mengaji. Salah seorang adalah Fadhlakal Jamal Ghofru Aswar.
Kegiatan mengaji menggunakan Alquran braille telah menjadi agenda rutin. Setiap bulan, Alfian bersama beberapa rekannya sesama tunanetra berkumpul di salah satu rumah di Rungkut Asri. Rumah tersebut adalah milik Gandi Soni Wicaksono dan Dian Eka. Sejak 14 November 2014, pasangan suami istri tersebut merombak ruang tamu di kediamannya menjadi tempat berkumpul para tunanetra.
Khususnya yang ingin belajar mengaji. Mereka jugalah yang mengadakan kegiatan mengaji bagi penyandang tunanetra. Kegiatan mengaji tersebut diberi nama Ngaji Braille. Kegiatan mengaji yang berlangsung selama dua jam itu ditutup dengan salat Duhur berjamaah. Lalu, dilanjutkan makan siang bersama. Nah, perihal konsumsi, Eka yang memiliki andil menyiapkannya.
Perempuan kelahiran 23 Juli 1984 itu menyajikan menu nasi campur lengkap dengan lauk ayam. ”Sebenarnya tidak hanya mengaji dengan Alquran braille. Tapi, beberapa kali kami juga mengundang ustad untuk mengisi ceramah,” kata Gandi.
Gandi dan Eka telah lama berkecimpung di dunia sosial. Sejak 2000, mereka akrab dengan penyandang disabilitas. Pria 47 tahun itu menuturkan, awalnya dirinya merasa senasib dengan penyandang disabilitas. Gandi pernah mengalami stroke.
Untuk menguatkan dirinya sendiri, Gandi bergaul dengan sesama penyandang disabilitas. Ada yang tunanetra, tunarungu, dan tunawicara. Ketika bertemu dengan orang-orang yang mengalami ketunaan, Gandi merasa dirinya lebih beruntung. Batin dia, lebih baik tidak bisa berjalan karena lumpuh daripada memiliki kekurangan pada salah satu pancaindra.
Dirikan Grup Band
Karena itu, Gandi nyaris tidak pernah putus asa. Justru dia memiliki tekad kuat untuk sembuh. Bahkan, sembari menjalani pengobatan, Gandi mendirikan grup band. Namanya Komunitas Mata Hati. Anggotanya tiga orang. Selain Gandi, ada Bagus dan Fitri. Dua teman Gandi itu tunanetra.
”Kami sering diundang ke sejumlah acara. Paling sering acara-acara yang dihadiri penyandang disabilitas,” katanya. Nah, seiring berjalannya waktu, Gandi bersama dua rekannya berpikir untuk membuat wadah bagi penyandang disabilitas.
Pada 2008 Komunitas Mata Hati bertransformasi dari nama band menjadi sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang sosial. Komunitas Mata Hati menampung seluruh penyandang disabilitas di Surabaya. Banyak kegiatan yang mereka lakukan. Salah satunya menggali dan mengembangkan potensi mereka.
”Kalau suka musik, ya kami ajari bermusik. Jika sudah pandai, bisa membentuk band,” ujarnya. Namun, Komunitas Mata Hati bersifat universal. Artinya, seluruh difabel boleh bergabung dalam komunitas tersebut.
Tapi, saat itu Gandi memiliki keinginan untuk membentuk kelompok pengajian khusus difabel. Tujuannya, penyandang ketunaan tidak putus asa. ”Mereka masih punya Tuhan yang siap menolong,” kata pria berperawakan tinggi gagah itu. Nah, pada 14 November 2014, Gandi mendirikan Ngaji Braille.
Dia mengajak sang istri untuk menjalankan kegiatan tersebut. Alumnus Universitas Airlangga itu menuturkan, awalnya Ngaji Braille hanya diikuti lima orang. Semuanya tunanetra.
Namun, belakangan, Ngaji Braille diikuti lebih dari 20 orang dalam setiap pertemuan. Bahkan, kegiatan itu tidak hanya dihadiri penyandang tunanetra. ”Yang tunarungu juga ada,” ujarnya. Gandi menambahkan, Ngaji Braille juga diperuntukkan semua kalangan. Balita hingga dewasa boleh ikut kegiatan tersebut.
Misalnya saja, Ngaji Braille yang diadakan Minggu (17/7). Kegiatan mengaji tersebut dihadiri sedikitnya 20 orang. Selain tunanetra, penyandang tunawicara hadir. Bahkan, ada pula peserta yang mengalami down syndrome dan cerebral palsy.
Ketika acara dihadiri penyandang disabilitas dari beberapa ketunaan, Ngaji Braille tidak lagi diisi dengan kegiatan mengaji Alquran. Tapi, Gandi mengundang ustad untuk ceramah. Lama berkecimpung di dunia difabel, banyak kisah yang dialami. Baik suka maupun duka. Namun, Gandi tidak pernah merasa kerepotan berteman dengan para difabel.
”Jangan anggap mereka berbeda. Itu kuncinya,” jelas Gandi. Dia menuturkan, selama ini dirinya sering mengajari para difabel untuk hidup mandiri. Minimal mereka harus bisa meladeni kebutuhannya sendiri. Gandi mengatakan, sedih karena merasa tidak seperti orang lain itu wajar. Apalagi bagi seseorang yang mengalami ketunaan tidak dari lahir. Tapi, mereka tidak boleh putus asa.
Bahkan, Gandi selalu menekankan bahwa seseorang pasti memiliki kekurangan. Meski memiliki indra yang lengkap, belum tentu mereka benar-benar sempurna. Begitu juga sebaliknya. Seseorang yang memiliki indra tidak lengkap, bisa jadi, memiliki potensi diri yang lebih baik. Karena itu, dia berharap Ngaji Braille bisa memulihkan kepercayaan diri para difabel. Gandi percaya, agama akan membuat seseorang menjadi kuat. (jawapos.com)