“Sekarang kalau petani kita produksi cabai dengan hasil yang bagus tapi saat panen harganya jatuh, ya kapok lah petaninya. Itu lah karena tidak ada kepastian dari harga gara-gara salah penanganan,” tuturnya.
Bayangkan saja, saat panen dan produksi berlimpah, harga cabai bahkan bisa tembus Rp10 ribu per kg. Saat berkebalikan arah dan harganya meroket, bisa tembus Rp200 ribu per kg. Ada fluktuasi sebesar 2.000 persen.
“Sangat tidak masuk akal,” Enny heran.
Meskipun bukan kebutuhan pokok yang paling primer, harga cabai tetap harus menjadi perhatian. Terlebih masyarakat dihadapkan pada beberapa kenaikan harga terutama tarif listrik dan bahan bakar minyak (BBM).
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan mengatakan pihaknya sementara ini dari sisi distribusi memang melakukan “subsidi silang” antar daerah.
“Kemarin Kalimantan butuh, biasanya dipasok dari Jawa Timur. Tapi produksi di Jawa Timurnya sendiri lagi sedikit,” ungkapnya.
Akhirnya Kemendag memilih pasokan dari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), karena harga di sana masih tergolong rendah yaitu Rp 25 ribu sampai Rp 30 ribu per kg.
“Tadinya mau dari Gorontalo sama Manado. Tapi ternyata kemarin (Jumat) sama hari ini (Sabtu) di sana juga hujan,” ucapnya.
Untuk langkah selanjutnya, Kemendag sangat tergantung dari hulu mau bagaimana langkahnya. Terutama keputusan dari Kementerian Pertanian yang semestinya sudah berbicara langsung dengan petani.
“Kalau dari kita, distribusi tidak ada masalah. Sudah kita bahas. Intinya kita lagi berkomunikasi dengan petani. Kenapa mereka menurun produksinya hampir 57 persen?” tuturnya.