Pencarian orangutan di Hutan Aur Kuning, Dusun Meliau, Desa Melemba, Kecamatan Batang Lupar, berakhir, Kamis (25/5) siang. Tim jurnalis Kompakh melanjutkan perjalanan ke Dusun Sungai Pelaik, Desa Malemba. Suguhan panorama danau plus pegunungan bak Pulau Raja Ampat kedua menyertai trip hari ketiga.
Ocsya Ade CP, Desa Malemba
eQuator.co.id–Kamis siang itu, menggunakan tiga longboat, tim jurnalis Trip Kompakh meninggalkan Dusun Meliau untuk menuju Dusun Sungai Pelaik. Alur Sungai Leboyan (Lebian) yang kami lewati berliku-liku dikelilingi belantara.
Sempat singgah di Danau Balaiaram. Danau yang masih masuk dalam wilayah Dusun Meliau, tapi di luar kawasan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) ini menggoda kami untuk memancing. Apalagi, kata Direktur Kompakh, L. Radin, Danau Balaiaram menyimpan lebih dari 20 jenis ikan. Termasuk ikan Arwana liar. Celakanya, tak satupun rombongan yang membawa alat pancing.
Ya sudahlah, menculik lirik lagunya Bondan Prakoso. Kami cukup puas menikmati keelokan yang diberikan sang pencipta ini. Di tengah-tengah danau, tiga longboat tim Jurnalis Trip dirapatkan. Di sana, kami berbincang tentang pengembangan kawasan ekowisata yang didampingi Kompakh tersebut. Teriknya mentari tak menyengat kulit, lantaran air danau yang begitu sejuk sesekali disiram ke tubuh.
“Danau Balaiaram ini dikelola dengan kearifan lokal. Awalnya cuma dengan kesepakatan-kesepakatan orangtua kita dulu. Dengan obrolan bahwa dilarang begini dan begitu. Nah, setelah NGO (LSM) masuk dengan beberapa teman lain, kita mulai memperkuat dengan peraturan desa dan adatnya. Kita kemas,” tutur Radin sambil berdiri di atas longboat.
Peraturan desa itu, lanjutnya, dengan penerbitan Perdes tentang pengelolaan hutan lindung. Kemudian koordinasi dengan Dinas Pariwisata untuk pengembangan pariwisatanya dan Dinas Perikanan untuk pengelolaan serta pengembangan sumber daya ikan di danau-danau ini. Meliputi, tentu saja, bagaimana memberikan perlindungan yang baik untuk danau-danau di sana.
Danau Balaiaram merupakan satu dari sepuluh danau konservasi. Oleh masyarakat Desa Melemba ditetapkan sebagai danau lindung. Untuk luasannya, kata Radin, tergantung debit air. Jika air pasang maka luas bisa menjadi besar. Sebaliknya terjadi pada musim kemarau.
Dari jumlah 20 jenis lebih ikan yang ada, yang boleh dikonsumsi masyarakat atau wisatawan hanya sekitar 9-10 saja. Selebihnya, jika tersangkut alat tangkap, ikan-ikan tersebut harus dikembalikan ke danau. Seperti ikan termahal yang ada di sana: Arwana super red.
“Semua ikan-ikan yang ada di danau ini masuk dalam paket ekowisata. Ketika terkena pancing, ikan-ikan tertentu harus dirilis kembali. Contoh Arwana tadi, harus dilepasliarkan lagi ke dalam danau,” jelas Radin.
Kompakh, lanjut dia, melakukan pendampingan tidak hanya ujuk-ujuk untuk mendatangkan wisatawan. Tapi bagaimana menyiapkan masyarakatnya untuk dapat mengelola sumber-sumber ekowisata yang ada. Agar kegiatan konservasi bisa bersinergi dengan bisnis ekowisata masyarakat. Sejalan.
“Sehingga tidak ada kecemburuan sosial antara mereka. Tidak ada konflik konservasi dengan bisnisnya,” terangnya.
Selain itu, Kompakh juga melakukan pendampingan bagaimana masyarakat setempat memperkuat kearifan lokal untuk melakukan pendekatan terhadap wisatawan yang datang. Seperti yang diketahui, wisatawan lebih doyan hal-hal yang masih orisinil.
“Aktivitas setiap hari masyarakat di sini, apapun misalnya soal makanan, gaya hidupnya, komunikasi, itu sudah dilakukan tanpa di-setting kepada siapapun. Keseharian masyarakat di sini yang ditampilkan. Seperti mencari ikan. Bahkan, kita sering mengusulkan jika ada wisatawan yang ingin mancing dan masak sendiri di homestay, itu dibolehkan,” papar Radin.
Muhammad Rifai, Bendahara Kelompok Pengelola Pariwisata (KPP) Desa Melemba yang mengantar kami menerangkan, setiap ada wisatan lokal maupun mancanegara datang memancing di danau, dikenakan biaya Rp150 ribu. Dana tersebut untuk kas KPP.
“Kami menawarkan paket wisata ke wisatawan seperti pemancingan, penelitian satwa liar, kerajinan, kesenian dalam bentuk upacara adat penyambutan tamu,” jelasnya.
Ia menuturkan, jika musim kemarau datang, ikan-ikan di danau yang ada di Dusun Meliau melimpah ruah. Terbukti dengan banyaknya hasil tangkapan nelayan setempat.
“Kalau saat sekarang ini, bulan-bulan ini, ikannya kurang. Sehingga nelayan kurang berhasil, seperti ikan Lais, Biawan. Nah, kalau musim banjir besar pun, nelayan banyak berhasil dapat ikan,” ujar Rifai.
Sedikit pengetahuan didapat dari perbincangan singkat itu. Perjalanan ke lokasi utama pun dilanjutkan. Karena lajunya longboat sehingga angin menerpa wajah, saya pun mengantuk. Namun, seketika kembali segar ketika melihat bangunan di tengah-tengah Danau Telatap.
Rupanya, rumah mengambang itu difungsikan untuk pengawasan perikanan yang dibangun Dinas Perikanan. Letaknya masuk dalam Dusun Sungai Pelaik dan kawasan TNDS.
Bangunan itu juga bisa dijadikan tempat istirahat wisatawan sambil menikmati pesona alam. Kami pun sempat rehat di sana. Ketika berada di atas rumah, seolah berada di Pulau Raja Ampat. Aries Munandar, rekan saya juga punya pemikiran demikian.
“Wow, ini seperti di Raja Ampat. Coba lihat ini. Bedanya Raja Ampat adalah pulau dan perairannya laut dan dikelilingi batu kars,” kata reporter Media Indonesia ini sambil menunjukkan fotonya ketika bertugas di Raja Ampat, Papua Barat.
Di sana, kami berjumpa masyarakat setempat sedang memancing. Saat itu, belum satupun ikan yang berhasil ditangkapnya. Maklum, mungkin karena umpannya ikan bohongan.
Berada di danau-danau dan pemukiman penduduk Desa Melemba ini bisa menghilangkan penat dan letihnya kehidupan di kota. Di sana, seolah kita menjadi bagian alam dan lingkungan sekitar.
Wajar saja, sebelum meninggalkan Dusun Meliau, kami bertemu dengan dua wisatawan dari Afrika Selatan yang menunjukkan rasa kagumnya akan kemolekan alam Malemba. Kami sempat berbincang dengan mereka.
“Sambutan di rumah panjang ini begitu ramah dan hangat. Makanannya juga sangat enak. Saya sangat tertarik untuk memancing, karena ikan disini berbeda dengan ikan lainnya. Situasi alamnya sungguh menantang. Belum lagi matahari terbit dan terbenam yang sangat indah di kawasan danau,” singkat Maria Magdalena disampingi rekannya Aleta.
Rehat selesai. Kami pun melanjutkan perjalanan. Total sekitar dua jam perjalanan. Pukul 17.10, tiba lah di Dusun Sungai Pelaik. Longboat yang digunakan ditambatkan di tepian gertak yang terbuat dari kayu. Dari tambatan perahu, mesti berjalan menyusuri gertak susunan papan sejauh dua kilometer.
Udara segar dan alam yang hijau membentang luas sepanjang jalan. Langkah kami diiringi suara burung dan satwa hutan lainnya. Sebelum memasuki gerbang Rumah Panjai Dusun Sungai Pelaik, kami bertemu dengan pohon. Buahnya ada beberapa handphone poliponic. Tidak. Itu hanya handphone penduduk yang digantungkan. Karena di pohon itu, mereka mendapat jaringan telekomunikasi.
“Ini pohon sinyal,” cetus Radin. Sampai di teras Rumah Panjai, suara riuh anak-anak yang mandi terdengar di sungai sekitar 50 meter dari depan pelantaran teras. Ketika kaki menginjakkan Ruai (ruang kumpul penduduk Rumah Panjai), sambutan hangat dari penghuni Rumah Panjai sedikit melepas lelah aktivitas kami hari itu.
Sebagian teman jurnalis duduk bercerita bersama masyarakat Suku Dayak Iban sembari menikmati suguhan kopi dan teh. Ada pula yang melakukan peliputan mengambil suasana dan aktivitas sore hari di Rumah Panjai dan membersihkan diri dengan ikut mandi di aliran sungai yang bening tersebut.
Sebelum santap malam, dilakukan upacara ritual adat penyambutan tamu persis seperti yang terjadi di Dusun Kelayam pada hari pertama kami memulai perjalanan ini. Usai prosesi ini, teman-teman jurnalis dan perwakilan Kompakh yang Muslim diminta untuk memotong ayam yang tadi digunakan untuk ritual.
“Kawan-kawan yang muslim tolong sembelihkan ayam untuk makan nanti,” kata Kaya, tokoh adat yang memimpin ritual penyambutan tamu, Bedara’ Nyambut Temuai Datai.
Para jurnalis pun saling berpandangan. Saya yang ditunjuk mereka untuk menyembelih ayam tersebut sesuai syariat Islam. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Dayak Iban, yang mayoritas menganut keyakinan Kristen, sangat menghormati dan menghargai perbedaan keyakinan. Dan seperti yang sudah diceritakan sebelumnya, di Rumah Panjai ini terdapat satu bilik yang dihuni keluarga Muslim.
Usai ritual adat, kami menyantap makan malam bersama. Ayam yang saya sembelih tadi ludes disantap. Sebenarnya, bukan karena saya yang sembelih, karena daging ayam kampung itu memang enak. Apalagi dimakan saat sangat lapar.
Acara selanjutnya, ramah tamah. Sama di Rumah Panjai Dusun Kelayam, kami disajikan penampilan musik dan tarian khas Dayak Iban. (*/bersambung)