Puas bercengkerama dengan suguhan alam dan budaya masyarakat Dayak Iban, Dusun Kelayam, Desa Menua Sadap, Kecamatan Embaloh Hulu, tim Jurnalis Trip Kompakh melanjutkan perjalanan ke Dusun Meliau, Desa Melemba, Kecamatan Batang Lupar. Rencananya, pengin berjumpa dengan puluhan Orangutan dan satwa liar lainnya.
Ocsya Ade CP, Meliau
eQuator.co.id–Rabu (24/5) sore, tim Jurnalis Trip meninggalkan Desa Menua Sadap, Kecamatan Embaloh Hulu. Kami diantar masyarakat yang sudah seperti keluarga sendiri ke Desa Lanjak, Kecamatan Batang Lupar. Mengingat hari semakin senja, kami bertolak dari dermaga Desa Lanjak menggunakan dua speedboat untuk mengarungi alur Danau Sentarum. Pelangi indah terlihat tepat di atas pegunungan menyambut dan mengiringi perjalanan kami. Seperti di tengah lautan. Nyatanya, itu di atas danau.
Untuk menuju Dusun Meliau, Desa Melemba, hanya bisa melalui jalur air. Sepanjang perjalanan, kami melewati beberapa pemukiman pinggiran sungai. Semitau misalnya, yang saya tahu. Selebihnya kami tak bertanya karena cuaca hujan saat itu. Tak sembarang orang bisa melewati alur-alur perairan ini. Bisa tersesat, karena untuk menuju pemukiman hanya berpatokan pada pohon-pohon di atas danau itu.
Menjelang Magrib, kami tiba di Dusun Meliau. Saya lihat arloji, kurang lebih dua jam waktu dihabiskan untuk perjalanan ini. Mendarat di lanting, kami disambut hangat masyarakat di sana yang dipimpin Ketua Kelompok Pengelola Pariwisata (KPP) Desa Malemba, Sodik Asmoro. Berbincang sebentar, tim diarahkan menginap di rumah tunggal Bendahara KPP Desa Malemba, Muhammad Rifai. Tak lain ayahnya Sodik. Di Dusun Meliau ini, terdapat juga Rumah Panjai (betang/panjang).
Lepas Magrib, kami masing-masing mengenalkan diri. Banyak percakapan dan canda kala itu. Sodik pun orangnya gokil, doyan Stand Up Comedy. Seteko kopi dan teh panas mengiringi percakapan kami. Ibunya Sodik buka warung sembako, sudah pasti kampung tengah (perut) dijamin aman.
Usai mereguk kopi, hujan turun deras. Kami dipersilakan ke dapur untuk menyantap buah tangan ibundanya Sodik. Asam pedas ikan Tapah. Yummy…
Nah, makan sudah, menyeruput kopi pun sudah. Saatnya rehat di kamar lantai atas. Sebagian jurnalis masih di lantai bawah bersama masyarakat menonton siaran langsung kejadian bom Kampong Melayu.
Malam berganti. Kamis itu, (ajaibnya) tanpa alarm, kami bangun sekitar pukul 07.00. Sama saja sih kesiangannya. Kami segera mandi dan bersiap ke Hutan Aur Kuning untuk melihat habitat Orangutan (Pongo pygmaeus). Ibundanya Sodik menjamu dengan sarapan nasi goreng spesial. Jadi, tak ada alasan lagi kami kelaparan dalam hutan.
Menuju Hutan Aur Kuning, tiga speedboat (masyarakat di sana menyebutnya Landas) diturunkan. Luar biasa ketika mengarungi alur Sungai Leboyan yang masih begitu asri. Suara burung dan satwa di hutan sekitar pinggir sungai mengiringi suara mesin Landas 15 PK itu.
Sepanjang perjalanan, berpapasan dengan masyarakat lokal yang kesehariannya melintasi sungai itu dengan Landas. Tak hanya lelaki, kaum hawa pun ada yang sebagai juru mudi Landas. Beberapa nelayan lokal yang sedang mengecek Bubu (alat tangkap ikan) pun kami temui sepanjang perjalanan.
Tak lama, hanya sekitar 15 menit, sampai lah di Hutan Aur Kuning. Sodik dan beberapa temannya bertindak sebagai guide.
“Teman-teman, sebisa mungkin kita jangan berisik atau krasak-krusuk ketika masuk hutan. Agar tidak mengganggu orangutan. Karena orangutannya sangat liar,” tutur Sodik memberikan pengarahan kepada Tim Jurnalis Trip Kompakh. Arahan ini, sama halnya diberikan kepada wisatawan dan turis-turis yang hendak masuk ke hutan Aur Kuning.
Sodik mengatakan, orangutan di sana beda dengan orangutan yang berada di penangkaran. Terang saja, para jurnalis sangat berharap dapat melihat langsung orangutan di alam liar. Hal itu suatu keberuntungan. Soalnya, ketemu orangutan jamak hanya ketika sudah dievakuasi otoritas terkait.
Wajar saja dengan semangat ’45 kami masuk ke hutan. Lumpur dan genangan air yang menghadang tak dipikirkan. Apalagi, berdasarkan data yang diberikan Sodik, menurut hasil riset bersama WWF 2013-2016, di sekitar Hutan Aur Kuning terdapat sekitar 20 orangutan. Dan, di Bukit Peninjau dan daerah rawa terdapat 100 lebih orangutan. Sebagai informasi, Dusun Meliau memiliki tiga bukit, yakni Peninjau, Peninjau Tua dan Pengelang.
Harapan akan keberuntungan tinggal harapan. Ternyata, kami tak bertemu orangutan di sana. Meski kami puas berkeliling mengikuti jejak-jejak peninggalan orangutan yang terlihat dari bekas makanannya, yakni buah Kenarin dan Kubal. Serta tumpukan daun di atas pohon yang dijadikan rumah atau sarangnya.
Sodik mengatakan, populasi orangutan di Hutan Aur Kuning memang kecil dan lebih banyak terdapat di bukit. Sebab, bukit-bukit yang ada di Dusun Meliau saling berhubungan sehingga daya jelajah orangutan lebih luas.
“Orangutan di Hutan Aur Kuning ini kebanyakan betina dewasa. Ada juga yang membawa anak. Kalau yang jantan memang susah ditemui,” ujarnya.
Frekuensi munculnya orangutan, dijelaskan dia, tergantung musim buah yang menjadi panganan orangutan. Ada dua tipikal buah di Hutan Aur Kuning ini. Yakni buah bukit dan rawa. Bila di rawa sedang musim berbuah, hampir setiap hari masyarakat bisa bertemu dengan orangutan. Namun, bila di bukit, masyarakat jarang bertemu karena sangat luas dan buahnya bervariasi.
“Ini yang susah diprediksi. Jadi kita harus bisa dulu mengidentifikasi dimana-mana saja tumbuh buahnya,” ucap Sodik.
Lanjut dia, selama ini tidak pernah terjadi konflik antara masyarakat dan orangutan. Konflik yang ada justru antara pohon Madu (lalau) dengan orangutan. Ada beberapa cara mengatasi hal ini yakni dengan membersihkan pohon lalau, sehingga orangutan tidak mendekat.
“Karena kalau tidak ada pohon di sisinya, dia tidak bisa manjat ke situ. Karena pohon lalau itu besar,” ungkapnya.
Memang pengelola pariwisata tidak dapat memberikan garansi atau kepastian wisatawan akan bertemu dengan orangutan. Hal ini karena orangutan di kawasan Hutan Aur Kuning masih liar.
“Tetapi kita ajak wisatawan tetap ke hutan untuk melihat habitatnya. Paling tidak mereka bisa melihat sarang orangutannya. Kalau sarang pasti bertemu. Kunjungan wisatawan dari Jerman dan Belanda belum lama ini rata-rata bertemu,” beber Sodik.
Eksplor tim Jurnalis Trip di Hutan Aur Kuning ini hanya menemukan sarang-sarang yang baru dibuat orangutan. “Wisatawan yang hanya bertemu sarang dan buah bekas makan orangutan selalu ngomong, mungkin belum beruntung. Terkahir tanggal 12 Mei, jam empat sore, wisatawan bertemu orangutan di sini, sedang makan di pohon bersama anaknya,” tukasnya.
Ia memaparkan, kunjungan wisatawan grafiknya selalu meningkat tiap tahun. Pada 2007 saja, wisatawan mancanegara berjumlah tiga orang dan wisatawan nusantara 57 orang dengan total keseluruhan 60 orang. Tahun 2008 ada lima wisatawan mancanegara dan 49 wisatawan nusantara dengan total 54 orang. Tahun 2009 ada satu wisatawan mancanegara dan 19 wisatawan nusantara dengan total 20 orang. Tahun 2010 terdapat enam wisatawan mancanegara dan 64 wisatawan nusantara dengan total 70 orang. Tahun 2011 terdapat tujuh wisatawan mancanegara dan 76 wisatawan nusantara dengan total 83 orang. Tahun 2012 ada 15 wisatawan mancanegara dan 60 wisatawan nusantara dengan total 75 orang.
Lalu, tahun 2013 meningkat 32 wisatawan mancanegara dan 127 wisatawan nusantara dengan total 159 orang. Tahun 2014 ada 49 wisatawan mancanegara dan 58 wisatawan nusantara dengan total 107 orang. Tahun 2015 terdapat 63 wisatawan mancanegara dan 120 wisatawan nusantara dengan total 183 orang. Serta tahun 2016 ada 63 wisatawan mancanegara dan 108 wisatawan nusantara dengan total 171 orang.
Sodik mengatakan, selain Orangutan, Bekantan (Nasalis larvatus), Kepuh (Presbytis melalophos cruniger), Ungko Tangan Hitam (Hylobates agilis), Kelempiau Kalimantan (Hylobates muelleri), dan sekitar 23 jenis lainnya, merupakan potensi dan daya tarik yang sangat tinggi di Dusun Meliau. Direktur Kompakh, L. Radin menambahkan, pihaknya mendampingi pengembangan destinasi ekowisata di Dusun Meliau sejak dari 2008.
“Kita punya komitmen dengan masyarakat, apa saja yang berpotensi ekowisata, masyarakat yang mengemasnya dan bekerja sama dengan kita,” katanya. Tingkat kesadaran masyarakat pun cukup tinggi setelah adanya pendampingan dari Kompakh.
O ya, sebelum menelusuri orangutan di Hutan Aur Kuning, kami bertemu dengan dua wisatawan dari Afrika Selatan. “Dari saya muda sudah membaca tentang Kalimantan, saya ingin sekali kesini, dan akhirnya kesampaian. Setelah kunjungan di Kalimantan, saya akan ke Amerika Selatan, mungkin juga ke Chili,” singkat Maria Magdalena disampingi rekannya Aleta.
Karena tak bertemu dengan orangutan, kami lantas bergegas kembali ke rumah ayah Sodik untuk beristirahat sejenak dan menyantap makan siang sebelum melanjutkan perjalanan ke Rumah Panjai Dusun Pelaik, Desa Malemba. (*/bersambung)