Menelisik Aksi Plus-plus di Balik Tirai Panti Pijat

Erni tak terima upah dari pemilik panti pijat. Biaya Rp110 ribu itu murni masuk kas perusahaan alias kantong bos.

“Tamu bayar Rp200 ribu, saya dapat Rp90 ribu. Kalau bayar Rp150, saya dapat Rp40 ribu,” bebernya.

Ia mengisyaratkan, kerja sebagai terapis bukan mencari upah. Tapi mencari keuntungan dengan menawarkan jasa plus-plus.

“Kalau diupah, biaya hidup tidak cukup,” jelas ibu dua anak ini.

Perempuan asal Purwokerto, Jawa Tengah, itu mengaku hampir tiga tahun bekerja sebagai terapis. Sebelumnya, ia bekerja di Jakarta sebagai tukang cuci piring di sebuah rumah makan kawasan Grogol, Jakarta Barat.

“Gajinya cuma Rp900 ribu,” ucap Erni.

Ia mulai bekerja di rumah makan sejak 2011-2015. Medio 2015, Erni ditawari salah satu teman sekampungnya yang bekerja sebagai terapis di Pontianak.

“Tapi sekarang teman sudah pulang, karena menikah,” ungkapnya.

Karena diiming-imingi penghasilan besar, Erni pun tergiur. “Datang waktu itu biayanya ditanggung sama bos. Saya diberi uang tiket,” bebernya. Namun, dia tak menjelaskan apakah tiket diberi cuma-cuma atau sebaliknya.

Meski sekali bekerja mendapat penghasilan besar, jasa plus-plus Erni dan koleganya tak setiap hari didatangi pelanggan. “Tidak bisa dipastikan ramainya hari apa. Kadang ramai, kadang sepi. Kalau lagi ramai, satu orang bisa pijat dua sampai tiga tamu,” terangnya.

Usai investigasi di Kebugaran Berseri, Rakyat Kalbar mendatangi rumah Ketua RT setempat. Dua sekuriti berbeda yang ditanya menyebutkan bahwa Ketua RT tinggal tak sampai sepuluh rumah dari kebugaran tersebut.