Apakah ada yang muda atau cabe-cabean? Karin menggelengkan kepalanya. ”Kalau pijat di sini, yang ada hanya ini saja,” urainya sambil menunjuk foto-foto perempuan yang dipajang di meja ruang tamu itu. Sambung Karin, “Yaudah, pilih aja mas. Nanti saya panggilkan”.
Setelah menunjuk satu foto terapis, ia mengantar wartawan koran ini masuk ke salah satu kamar yang tak jauh dari ruang tamu. “Yuk, silakan mas, masuk,” ucap Karin.
By the way, tak jauh dari meja kaca, terpampang kertas yang terbingkai. Terbaca di situ Surat Izin Kepolisian dan Izin Gangguan dari Pemerintah Kota Pontianak.
Di dalam kamar, tersedia dua tempat tidur berukuran 2 meter x 70 centimeter. Selain itu, ada tirai berwarna kuning.
“Yuk buka bajunya. Kita pijat,” ajak Erni, terapis yang dipesan.
Wartawan koran ini, sebut saja Don Juan, diarahkan berbaring di salah satu tempat tidur. Erni langsung memijat kaki dan badan. Sambil dipijat, wartawan melempar sejumlah pertanyaan. Tanpa canggung ia menjawab.
“Di sini yang tukang pijat ahli ya mbak? Atau sebelumnya ada belajar memijat dan terapi?” tanya Don Juan. “Ya enggaklah. Tidak ada yang pandai pijat. Tidak pernah sama sekali belajar,” aku Erni.
Setelah hampir 40 menit, pijat kaki, badan, dan tangan, selesai. “Yang mana lagi mau dipijit? Depannya mau gak?” ujar Erni. Perempuan berusia 40-an tahun ini lantas menawarkan sejumlah paket. Plus-plus.
“Main Rp500 ribu,” tuturnya sambil memperlihatkan jari jempol yang diapit jari telunjuk dan jari tengah. Don Juan mengelak dengan alasan kemahalan. “Ya sudah, saya kocok Rp250 ribu. Kalau isap (oral) Rp300 ribu,” rayunya.
Mengingat penelusuran prostitusi di balik tirai panti pijat tradisional ini masih sedikit, Don Juan pun berupaya mengulur waktu. Beruntung, Erni tak curiga. Dia mau melanjutkan kisahnya.