Menangis Dipaksa Tinggalkan Kayong

TANGIS. Kelompok masyarakat eks Gafatar di Desa Sedahan Jaya, Kecamatan Sukadana terdapat banyak anak-anak dan Balita. Mereka sedih bukan buatan ketika dipaksa pergi meninggalkan desa itu, Selasa (19/1). KAMIRILUDDIN/RK

20-JAN-2016--FOTO-HAL-1--EKS-GAFATAR-BERSEDIHUltimatum 1×24 jam yang diberikan masyarakat dan aparat Pemerintah Desa Sedahan Jaya kepada kelompok eks Gafatar dipatuhi. Terdata 16 kepala keluarga (KK) berjumlah 56 jiwa terpaksa angkat kaki. Mereka meninggalkan desa itu, Selasa (19/1) sebelum pukul 12.00 WIB.

Kamiriluddin, Sukadana

Enam belas KK yang didominasi anak dan Balita-nya itu ditampung sementara di Asrama Polisi Sukadana. Mereka pun hanya diberi waktu hingga besok (21/1) atau 2 x 24 jam untuk meninggalkan Negeri Bertuah (julukan Kayong Utara, Red) kembali ke daerah asalnya masing-masing.

Sebelum meninggalkan Desa Sedahan Jaya, Wakil Bupati Kayong Utara, Idrus didampingi Kepala Satpol PP Sy. Basri beserta aparatur pemerintah dan keamanan menemui kelompok itu. Ketika ditemui Idrus dan rombongan, mereka sudah tidak di tempat tinggalnya yang dibangun di tengah sawah. Pendatang dari luar Kalbar ini berkumpul di salah satu rumah yang memang ditumpangi warga dan dekat dengan akses jalan untuk keluar dari Sedahan Jaya.

Di sana, Idrus menemui koordinator 16 KK, Joko Suryo Darmo, memberikan pengarahan ke seluruh eks Gafatar yang tampak larut dalam kesedihan. Di antara mereka banyak yang meneteskan air mata.

“Jadi kami tidak memberikan fasilitas lain selain dari tempat tinggal untuk sementara. Juga kami menyiapkan petugas kesehatan untuk melakukan pemeriksaan terhadap bapak, ibu, dan anak-anak yang ada ini,” tegas dia.

Usai mendapat arahan singkat itu, Joko Suryo Darmo menanyakan status kelompoknya yang telah mengantongi KK dan KTP Kayong Utara. Sebab, kata dia, administrasi kependudukan mereka di daerah asal sudah tak berlaku. Menanggapi ini, dengan santai Idrus mengatakan Pemkab Kayong Utara sanggup mengembalikan dan akan mengeluarkan surat pindah kembali.

“Kemarin sewaktu Bapak pindah ke Kayong Utara dan setelah Bapak keluar dari Kayong Utara maka kami akan terbitkan surat pindah lagi. Dan silakan Bapak kembali ke daerah asal masing-masing,” jelasnya.

Dengan suara lesu, Joko juga menyampaikan keluhan akan biaya kepada Orang nomor dua di jajaran eksekutif Kayong Utara itu. Dikatakan Joko, tidak semua kelompok masyarakatnya memiliki duit. “Mungkin hanya satu atau dua orang yang masih punya simpanan, kalau yang lain bagaimana nasibnya Pak?” tanya Joko, memelas.

Tanpa basah-basi, Idrus menyatakan pihaknya tidak menyiapkan biaya karena memang pembahasan anggaran pemerintah telah lewat dan juga pemerintah tidak menganggarkan untuk mengirim pulang ke kampung asal. “Anda datang ke Kayong Utara sudah tentu menggunakan biaya, dan sekarang anda diminta pulang ke daerah asal masing-masing dan rasanya mustahil kalau tidak punya uang,” tandasnya seraya menegaskan hanya menyiapkan penampungan sementara untuk dua hari.

Joko masih tak berhenti berharap. Ia mencoba meyakinkan Idrus bahwa mereka sudah tidak punya apa-apa lagi. “Uang kami sudah habis menjadi padi dan sayur, tidak mungkin kami pulang ke Palembang dari Kayong Utara ini dengan berjalan kaki,” keluhnya.

Idrus memotong pembicaraan. Ia langsung meminta Joko dan kelompok masyarakatnya segera meninggalkan Sedahan Jaya karena waktu yang diberikan oleh masyarakat di desa tersebut sudah hampir habis. “Soal itu, nanti kita bicarakan karena sekarang sudah hampir jam 12 siang. Sekarang bawa keluarganya dan angkut semua barang menuju ke penginapan di Asrama Polisi di Sukadana,” perintahnya.

Joko bersama kelompoknya pun langsung bergerak meninggalkan Sedahan Jaya. Di antara mereka ada yang meneteskan air mata ketika harus pergi sambil membawa anak-anaknya yang masih Balita. Diantara mereka, ada ibu-ibu yang tak bisa menahan tangis dan berpelukan dengan warga setempat karena harus pergi meninggalkan desa yang sudah sekitar delapan bulan ditinggalinya itu.

Dari Sedahan Jaya, kelompok ini diangkut menggunakan mobil Satpol PP dan pick up yang telah disiapkan pemerintah. Tiba di Asrama Polisi, mereka langsung didata. Bawaan mereka tak luput dari pemeriksaan petugas kepolisian.

Diantara bawaannya itu, polisi mengamankan beberapa barang yang harus diselidiki seperti kaset CD, piagam kosong mirip milik Polri, dan buku rekening bank. Polisi juga menemukan beberapa berkas berupa surat tanda tamat belajar.

Polisi juga menemukan buku yang bertuliskan daftar nama. Buku tersebut dimiliki seorang pria yang mengaku asal Batam dan pernah sebagai pengurus Gafatar.

Anehnya, mereka semua mengaku sebagai Muslim. Namun, ketika satu persatu tas diperiksa polisi, tak ditemukan Alquran. “Alquran ada bawa Bu?” tanya anggota polisi kepada seorang ibu yang sibuk mengemas barangnya, yang dijawab dengan gelengan kepala.

Di penampungan itu, terlihat pula petugas dari Dinas Sosial sibuk mendata. Menurut staf Bagian Sosial di Dinsosnakertrans KKU, Selamat, dari hasil pendataan ada 16 KK dengan 56 jiwa. “Kita mendata mereka untuk menyiapkan konsumsi mereka selama di penampungan ini. Dan kabarnya, pemerintah akan rapat lebih lanjut untuk membahas kepulangan mereka ke kampung asalnya-masing-masing,” tutur Selamat.

Wakil Ketua DPRD KKU, Alias, tampak hadir di penampungan tersebut. Ia merasa prihatin ketika melihat anak-anak dari kelompok itu yang jumlahnya tidak sedikit.

“Mereka ini juga merupakan warga Indonesia yang jadi korban dari kelompok Gafatar. Bahkan, sebagian mereka juga tidak tahu, dan mereka ini korban. Untuk itu, pemerintah daerah harus arif dan bijaksana dan cepat menangani masalah ini, persoalan ini tidak bisa ditunda-tunda,” kata Legislator PKB asal Teluk Batang ini.

Alias juga meminta, kelompok itu dapat kembali ke keluarganya masing-masing. Sebab, beredar kabar banyak anggota keluarga yang hilang karena masuk Gafatar. “Jadi saya harap kepada pengurus di kelompok ini, kembalikan mereka ke keluarganya, kasihan keluarga mereka,” harapnya. (*)