eQuator.co.id – JAKARTA–RK. Mayoritas perempuan berkeluarga di Indonesia pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Mulai yang berkenaan psikis hingga yang menyangkut fisik.
Menurut Asisten Deputi Perlindungan Perempuan dari Kekerasan dalam Rumah Tangga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Usman Basuni, persisnya ada empat jenis KDRT yang dialami para perempuan-di Indonesia. “Kekerasan psikis, kekerasan seksual, penelantaran, hingga kekerasan yang sifatnya fisik. Yang paling banyak masuk laporannya itu kekerasan psikhis,” imbuhnya dalam diskusi di Kantor KPPPA, Jakarta, kemarin (9/3).
Menurut Basuni, data itu didasarkan pada survei terakhir yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) akhir tahun 2016 lalu terkait Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN). Di situ disebutkan, lebih dari setengah perempuan yang berkeluarga pernah mengalami KDRT.
“Angkanya enam dari sepuluh perempuan pernah menjadi korban KDRT. Itu menjadikan Indonesia sebagai negara diurutan keempat dalam hal KDRT,” katanya.
Penyebabnya, untuk masing-masing daerah sangat beragam. Ada yang disebabkan minimnya kebutuhan ekonomi, budaya feodal, hingga tingkat pendidikan yang rendah.
“Ada yang karena pengangguran tinggi. Tapi, ada juga seperti Jogja yang ekonomi rendah tapi kebahagiaannya tinggi,” terangnya.
Sayangnya, lanjut Usman, tingginya angka KDRT belum diimbangi dengan keberanian untuk melaporkan. Hal itu tercermin dari masih rendahnya jumlah laporan yang diterima KPPPA.
Untuk tahun 2018 saja misalnya, hingga bulan pekan pertama Maret, hanya 619 kasus yang masuk. Padahal, jika melihat rasio enam dari sepuluh wanita mengalaminya, jumlah kasus mencapai jutaan.
“Biasanya kalau sudah babak belur baru mau melaporkan,” tuturnya.
Oleh karenanya, salah satu target KPPPA dalam waktu dekat adalah membuat perempuan berani melaporkan. Sehingga bisa mendapat pendampingan dan terhindar dari kekerasan yang berkelanjutan.
Sementara untuk jangka panjang, pihaknya mendorong untuk meningkatkan kualitas Pendidikan di Indonesia. Pasalnya, jika merujuk tren global, tingkat pendidikan yang tinggi, melahirkan kesadaran yang lebih tinggi juga. Baik kesadaran untuk berani melaporkan, hingga kesadaran untuk tidak melakukan kekerasan.
“Di kita rata-rata SMP kelas dua. Di singapura yang rata-rata SMA lebih minim,” terangnya.
Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto mengatakan, komitmen pemerintah khususnya di daerah terhadap persoalan kekerasan perempuan belum terlihat. Dalam aspek politik anggaran, saja misalnya, alokasi yang disediakan sangat minim.
Berdasarkan studi Fitra di Kabupaten Sumba Barat misalnya, pemerintah setempat hanya memiliki satu rumah aman (shelter). Itupun, masih sangat jauh dari standar rumah aman seperti yang direkomendasikan Komnas
Perempuan. Padahal, sebagai daerah dengan tingkat kekerasan yang cukup tinggi, keberadaan rumah aman sangat penting. “Ini artinya komitmen dari pemerintah daerah belum total menyiapkan regulasi dan sarana prasarana pendukung,” ujarnya. (Jawa Pos/JPG)