eQuator – Praktik gratifikasi di dunia kedokteran bukan barang baru. Perusahaan farmasi memberikan ‘imbalan’ kepada setiap dokter yang meresepkan obat produksi perusahaan farmasi tersebut. Praktik kotor ini jadi perbincangan menyusul pemberitaan investigasi sebuah majalah.
Menteri Kesehatan RI, Nila F Moeloek langsung menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk meramu langkah-langkah pencegahannya.
Dari hasil investigasi majalah tersebut, nilai gratifikasi yang diberikan perusahaan farmasi kepada dokter cukup fantastis. Nilainya hingga ratusan juta rupiah. Menurut hasil penelusuran majalah tersebut setidaknya ada 2.125 dokter di Indonesia yang terindikasi menerima gratifikasi.
Ketika pabrik obat kongkalikong dengan dokter, muara derita itu tentunya sampai pasien. Apa langkah yang ditempuh Menteri Kesehatan Nila F Moeloek menghadapi kenakalan para dokter tersebut:
+Praktik pemberian gratifikasi dari perusahaan farmasi kepada dokter ini tentunya berimbas kepada pasien, apa langkah kementerian Anda?
-Ke depan, Kementerian Kesehatan perlu mengatur lebih rinci apa saja yang boleh dan yang tidak boleh diterima dokter. Tapi sebenarnya seorang dokter boleh menerima hadiah dari perusahaan obat bila ditujukan untuk pengembangan kemampuan si dokter. Misalnya, untuk riset dan penelitian bagi dokter boleh, karena meningkatkan keahlian dokter. Namun saya tidak setuju bila hadiah dari perusahaan farmasi itu diberikan secara individu kepada dokter. Seperti hadiah jalan-jalan, misalnya.
+Lantas apa upaya preventif yang sudah Anda lakukan?
-Kami bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia melakukan upaya preventif dengan menggandeng KPK. KPK sendiri sebenarnya juga memang mempunyai suatu pemikiran untuk merumuskan suatu konsep pencegahan dulu dari pada kita sudah jatuh kepada masalah hukum. Jadi saya kira itu yang kami lakukan.
+Selain itu?
-Ya, sebenarnya saat ini di era layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kita sudah memakai yang namanya elektronik katalog (e katalog). Jadi rumah sakit yang sudah bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan itu mengambil obatnya melalui e katalog. Misalnya obat antibiotik, obat antibiotika yang sudah di-acc itu biasanya yang direkomendasikan itu dimasukkan terlebih dulu ke Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Di situ mereka melakukan semacam tender tapi yang dilihat itu kualitas dan harganya. Misalnya obat antibiotik yang terdiri dari tiga jenis itu dua di antaranya masuk karena kualitas dan harganya yang terjangkau untuk masyarakat. Nah kami harus memilih di antara kedua itu. Dengan cara itu mudah-mudahan meminimalkan hubungan antara dokter dan perusahaan farmasi. Dengan begitu kan berarti praktik (gratifikasi) itu sudah bisa diminimalisir.
+Anda yakin dengan e katolog sudah memutus mata rantai gratifikasi?
-Sudah tidak bisa karena ada e katalog. Misalnya tadi obatnya A dan B, farmasi itu obatnya C. kalau saya nulis tetap C itu saya tidak akan bisa dibayar diganti oleh rumah sakit, pasien ini harus beli sendiri. Nah nanti kami juga akan melakukan pencerdasan kepada masyarakat. Jika saya menerima resep dan tidak dibayar oleh BPJS itu protes, jangan mau. Jadi mudah-mudahan terminimalkanlah.
Re-editing: Andry Soe