eQuator.co.id – Walau bandul jam baru 04.45 WIB, Amrul Yunan Usman sudah terbangun dari tidurnya. Bersama rekan sekamarnya, ia mengganti pakaian dan merebahkan badan sembari menunggu azan subuh berkumandang. Beberapa saat kemudian, lemari berjatuhan dan listrik padam.
Ariful Usman, Pidie Jaya
Usianya 13 tahun, Amrul lahir 20 Oktober 2003, setahun sebelum tsunami melanda Aceh. Tentu kedahsyatan gempa kala itu, tak dirasakannya.
Setelah menamatkan sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Peukan Cunda, Kota Lhokseumawe. Orang tuanya menyekolahkan Amrul disekolahkan ke pesantren Dayah Ummul Ayman, Samalanga belajar agama dan bahasa asing. Ia mengikuti jejak tiga abang kandungnya di Dayah Terpadu.
Ia masuk Dayah pada 22 Juli 2016. 7 Desember lalu, hari yang tak bisa dilupakannya. Baru enam bulan, ia menempati kamar yang ditempati 23 santri. Jelang subuh, seluruh ruangan panik tak kepalang. Bumi berguncang, lemari berjatuhan dan lampu padam.
“Keluar. Lari…lari!” teriakan dari luar kamar itu, membuat seisi kamar berhamburan. Namun ia sempat menyambar peci dan sajadah, sebelum menyelamatkan diri.
“Amrul begitu keluar, ketabrak tong sampah di depan kamar, memang gak ada luka, cuma lebam aja,” kata Amrul menunjukkan pahanya.
Amrul mengisahkan, pagi itu memang sangat berbeda, beberapa lemari di bilik -kamarnya berjatuhan. “Ada kawan yang masih ngantuk juga ikut lari, udah kosong pikiran bang, gelap lagi, penting kami lari kemana teman-teman lain lari,” kisahnya.
Amrul bersama rekannya, begitu panik, usia rata-rata mereka baru 12-13 tahun, dan duduk kelas 1 SMP. “Banyak yang nangis, teringat orang tua, pokoknya, Amrul pikir ini udah berakhir hari ini,” katanya. Saat itu, gempa berkekuatan 6.4 SR.
Sampai di luar, semua santri berkumpul di halaman asrama. Teungku (guru), meminta mereka untuk tetap di sana, mushala tempat mereka salat akhirnya retak, dan tidak ambruk. Meski demikian, subuh itu mereka tidak shalat di musala.
“Sekitar 30 menit kami di lapangan, terus azan dikumandangkan, kami wudhu dan salat jamaah bersama seribuan santri lain.”
Usai subuhan, ustad memberi nasehat pada kami. “Ini adalah cobaan pada kita semua, mungkin banyak diantara kita yang lalai dengan dunia dan lupa pada Allah,” kata Amrul mengulang ucapan nasehat dari gurunya, teungku Subhan.
Langit mulai terang. Kabar duka kembali menyelimuti para santri, seorang ustad ikut terkena kaca mading saat membangunkan santri keluar dari kamar saat gempa.
Pagi tiba, santri bergegas gotong royong membersihkan kamar, dan lemari-lemari yang berjatuhan. Santri-santri yang mengalami luka, langsung di bawa ke Puskesmas Pesantren (Puskestren).
Ibunda Amrul, Maryati langsung menjemput anaknya. “Sejak masuk ke pesantren, ia sangat betah dan tidak ingin pulang. Tapi, saya jemput untuk pulang biar Amrul bisa istirahat sejenak di rumah, hari Minggu nanti insya Allah saya antar lagi ke dayah,” ungkapnya, Jumat (9/12).
Tak jauh dari asrama, lantai pertama gedung kampus Sekolah Tinggi Agama Islam ( STAI) Al-Aziziyah hancur serta kubah masjid di komplek dayah MUDI Mesra Samalanga roboh. Di luar dayah, pencarian dan penyelamatan korban di Kabupaten Pidie Jaya, Bireuen dan Pidie masih terus dilakukan. (*/Rakyat Aceh/JPG)