eQuator.co.id – Serangan udara yang akrab menghantam Aleppo, Syria, tidak mampu mengusir semua warga untuk pergi dari kota tersebut. Di antara mereka ada Malaika. Seorang perawat yang berjanji untuk setia dan bertahan meski semua pergi meninggalkannya.
Perawat berusia 29 tahun itu memegang Ali, bayi mungil berusia dua hari, yang sedang berjuang untuk mengambil nafas terakhirnya. Terlahir di kawasan barat Aleppo yang menjadi kawasan paling terdampak dari perang sipil selama lima tahun belakangan ini, Ali lahir dengan masalah jantung. Keluhan tersebut membuat Ali bergantung penuh pada pasokan oksigen dan lindungan inkubator di unit neonatal RS Anak Aleppo, Syria.
RS yang didukung oleh Independent Doctors Association, organisasi non pemerintahan (NGO), tersebut menyediakan bantuan kesehatan untuk Aleppo. Pada pukul 13.00 waktu setempat 23 Juli 2016, pemerintah melakukan serangan udara yang langsung menghantam RS tersebut. Debu dan reruntuhan mengisi kamar yang berisi 11 bayi di dalam inkubator. Beberapa jam kemudian, awal 24 Juli, serangan udara kedua terjadi.
Petugas RS langsung mengevakuasi bayi dan membawa mereka ke tempat yang lebih aman di basement. Tetapi Ali yang sudah lemah, kehilangan suplai oksigennya. Malaika dan dokter berusaha untuk melakukan tindakan CPR secara manual pada tubuh Ali. Namun mereka tahu, tidak ada yang bisa dilakukan.
Malaika memeluk Ali sampai akhirnya bayi malang itu meninggal karena kesulitan bernafas. ”Itu disengaja. Itu adalah kejahatan perang,” kata Malaika merujuk serangan yang dilakukan ke RS tersebut.
Hari itu, tidak hanya Ali yang menjadi korban. Tiga bayi lain meninggal karena menghirup debu saat serangan tersebut. ”Saya menangis tak henti. Sangat menyakitkan,” sambung Malaika putus asa.
Hari itu, Malaika juga tidak punya rumah untuk dituju begitu pekerjaannya selesai. Rumahnya hancur lebur akibat terkena satu dari sekian banyak serangan udara yang membabi buta. Dia pun harus tidur di rumah sakit.
Tak hanya rumah, sudah tidak ada saudara yang Malaika miliki. Semua anggota keluarganya sudah pindah ke Turki demi menghindari konflik. Sang suami menceraikannya, mengambil kedua anak perempuan mereka, dan pindah ke Marea, sebuah kota di utara Aleppo yang tertutup. Suaminya adalah pendukung regim berkuasa Presiden Syria Bashar al-Assad. Diceritakan Malaika, sang suami marah padanya karena bekerja sebagai perawat yang merawat pemberontak.
Malaika adalah satu-satunya perawat yang masih bertahan di Aleppo yang dikuasai pemberontak pada 2012. Selain Malaika, hanya ada 35 dokter. Dan mereka harus merawat 300 ribu penduduk yang memilih bertahan.
Pada awal Agustus, 15 dokter menulis surat terbuka kepada Pemerintahan Barack Obama. Mereka memohon bantuan. ”Kami tidak butuh air mata, simpati, bahkan doa. Kami butuh aksi kalian. Buktikan kalau kalian adalah teman rakyat Syria,” tulis para dokter.
”Bulan lalu, ada 42 serangan ke fasiiltas medis di Syria, 15 di antaranya adalah RS dimana kami bekerja,” sambung mereka. ”Sekarang, setiap 17 jam sekali ada serangan ke fasilitas medis. Dengan tingkat serangan seperti itu, fasilitas medis di Aleppo bakal hancur semua dalam waktu sebulan. Bakal ada 300 ribu warga tewas”.
Gedung Putih pun memberikan tanggapannya. Namun, sampai sekarang serangan masih terus terjadi.
Pada Sabtu (6/8), pemberontak yang ada di Aleppo berhasil memukul mundur pasukan regim berkuasa. Mereka menghancurkan blokade utama yang menutup Aleppo. Mereka berhasil masuk kawasan pemerintahan penting di Aleppo.
Malaika pun bergabung dengan warga untuk merayakan keberhasilan tersebut. Kemudian, tepat saat itu, serangan udara kembali terjadi. Malaika terkena pecahan meriam yang meledak. Serpihan-serpihan itu menancap di kulitnya. Dia harus dibawa ke RS umum untuk dirawat. Bersamanya, ada seorang gadis kecil berusia enam tahun. Dalam insiden itu sepuluh orang lain juga terluka dan dua terbunuh.
Malaika menjalani operasi untuk mencabut serpihan meriam dan kembali bekerja di RS Anak Aleppo hari berikutnya. Namun dua hari kemudian Malaika harus kembali ke RS karena hasil operasinya tidak sempurna.
Ditinggalkan keluarga, diceraikan suami, tidak punya rumah, sudah terkena meriam, dan hidup dalam ancaman, ternyata tidak meruntuhkan Malaika.
”Saya tidak bisa meninggalkan mereka. Tidak mungkin. Anak-anak itu. Saya mencintai mereka. Saya tahu banyak sekali bahaya di kota ini. Tetapi saya ingin mati di sini. Saya mencintai negeri ini dan saya tidak akan pergi,” kata Malaika (dalam bahasa Arab berarti malaikat). (Jawa Pos/JPG)