eQuator.co.id – Jakarta–RK. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mengakui fungsi pengawasan di lapangan belum maksimal. Kondisi itu memberikan celah bagi perusahaan untuk mempekerjakan tenaga kerja asing (TKA) ilegal.
Saat ini, jumlah petugas pengawas ketenagakerjaan (wasnaker) hanya 1.961 orang, tersebar di seluruh Indonesia. Diantaranya 370 berstatus penyidik PNS (PPNS).
Kekuatan personel yang minim itu bertugas mengawasi 265.209 perusahaan dan 74.183 tenaga kerja asing (TKA). Itu berarti, satu petugas mengawasi sedikitnya 135 perusahaan.
Pelaksana tugas (Plt) Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Kemenaker Maruli Hasiloan Tambunan mengakui jumlah pengawas dengan objek yang diawasi tidak sebanding. ”Sangat kurang,” ujarnya kepada Jawa Pos, kemarin (28/12).
Pengawas yang minimalis itu pun sejalan dengan pelanggaran TKA yang ditangani. Sepanjang 2016, hanya 673 kasus yang diungkap. Perinciannya, 587 temuan TKA tidak mengantongi izin mempekerjakan tenaga kerja asing (IMTA) dan 86 pelanggaran dokumen perizinan yang tidak sesuai dengan rencana penggunaan TKA (RPTKA).
“Kasus itu tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan hingga Sulawesi,” tuturnya.
Maruli mengatakan, pihaknya saat ini mengandalkan kerjasama dengan stake holder untuk memaksimalkan fungsi pengawasan ketenagakerjaan, khususnya TKA di seluruh perusahaan. Diantaranya imigrasi, pemerintah daerah (pemda), dan kepolisian.
“Tujuannya sebenarnya untuk kepatuhan, bagaimana cara membuat perusahaan itu patuh (tidak mempekerjakan TKA ilegal, Red),” ujarnya.
Kemenaker pun tidak menampik banyaknya laporan terkait TKA yang diduga ilegal. Sejauh ini, klaim dia, semua laporan itu ditindaklanjuti dengan cara berkoordinasi lintas instansi. Terutama pemda dan imigrasi. Kemudian, pengawas dibantu pihak terkait akan turun ke lapangan untuk melakukan klarifikasi ke perusahaan yang terindikasi mempekerjakan TKA ilegal.
“Kami juga terus melakukan pengawasan secara periodik dan pemeriksaan TKA (legal), apakah sesuai (antara rencana dan jabatan),” ungkapnya.
Dia menambahkan, jumlah pengawas masih akan terus bertambah seiring penyesuaian urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan di pusat dan provinsi. Penyesuaian yang diatur di UU Pemda tersebut diyakini akan memperkuat sistem pengawasan.
“(Pengawas) yang di daerah-daerah jumlahnya masih dihitung, ini masih proses,” imbuhnya.
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan, pemerintah mestinya mencari cara lain untuk memperkuat pengawasan itu. Misal, mengelola dana pengembangan keahlian dan keterampilan (DPKK) USD 100 per TKA per jabatan per bulan untuk memaksimalkan koordinasi dengan instansi lain.
“Harusnya dengan isu TKA ilegal ini, anggaran pengawas ketenagakerjaan ditingkatkan, baik pusat maupun provinsi,” ucapnya saat dihubungi Jawa Pos.
Keresahan terhadap serbuan tenaga kerja asing juga dirasakan Kemenristekdikti. Mereka bahkan mendapat tugas khusus dari Presiden Joko Widodo. Yakni untuk merevitalisasi perguruan tinggi vokasi atau politeknik. Tahun depan sebanyak 12 unit politeknik negeri yang jadi sasaran revitalisasi.
Dirjen Kelembagaan Iptek dan Dikti Kemenristekdikti Patdono Suwignjo mengatakan, saat ini sudah dibentuk tim pelatihan tenaga kerja Indonesia. Tim ini dibentuk untuk keroyokan menggarap peningkatan keterampilan dan keahlian tenaga kerja Indonesia.
“Memang menurut pihak industri, kompetensi lulusan perguruan tinggi vokasi belum relevan,” katanya kemarin.
Patdono mengatakan iklim perguruan tinggi vokasi di Indonesia memang belum sehat. Diantaranya adalah jumlah perguruan tinggi vokasi di Indonesia sangat kecil. Dia mengatakan komposisi perguruan tinggi vokasi di Indonesia masih sangat kecil yakni 5,6 persen. Sisanya adalah perguruan tinggi akademik.
“Di negara maju, perguruan tinggi vokasinya yang lebih banyak,” jelasnya. Dia mencontohkan di Austria, jumlah perguruan tinggi vokasinya mencapai 78 persen. Sisanya adalah perguruan tinggi akademik.
Patdono mengakui bahwa perguruan tinggi kalah pamor dengan perguruan tinggi akademik. Padahal jika dioptimalkan, perguruan tinggi vokasi adalah tempat mencetak tenaga terampil. Dosen ITS Surabaya itu mengatakan, mulai akhir 2016 ini Kemenristekdikti gencar kampanye kepada masyarakat untuk masuk kuliah vokasi.
Diantara “iming-imingnya” adalah pada 2019 nanti lulusan perguruan tinggi vokasi dapat jaminan bekerja. Patdono mengatakan janji itu bukan asal-asalan. Tapi sudah disiapkan sejak dini oleh pemerintah.
Caranya adalah perguruan tinggi dijadikan sebagai lembaga sertifikasi kompetensi. “Industri sudah sepakat, menerima karyawan bukan dari ijazah. Tetapi sertifikat kompetensi,” katanya.
Melalui komitmen itu, syarat dasar melamar kerja bukan ijazah tetapi sertifikat kompetensi. Patdono menjelaskan dengan menjadikan kampus vokasi sebagai lembaga sertifikasi kompetensi, mahasiswanya relatif lebih siap untuk lolos uji kompetensi. (Jawa Pos/JPG)