Lantaran sulitnya akses internet di desa-desa, membuat sejumlah pemuda dan sekelompok mahasiswa membentuk komunitas Desa Desa Melek Informasi Teknologi (DedemIT). Tujuannya satu, agar para penghuni desa tak lagi gaptek alias Gagap Teknologi.
Laporan Rizky Panchanov, Bandarlampung.
eQuator.co.id – “Kami pecinta teknologi, ya miris saja nggak usah jauh-jauh deh, kita ke Hanura, Padangcermin saja susah internetan,” ketus Rifki Indrawan ketua DedemIT kepada Radar Lampung mengawali pembicaraan kemarin. Hal tersebut terjadi kata Rifki lantaran beberapa provider memilih ogah memasang akses internet jauh ke pelosok desa. Sebab, lantaran didesa sedikit yang menggunakan internet.
”Kalau yang menggunakan internet banyak kan akhirnya otomatis internet datang dengan sendirinya kedesa itu,” ujarnya.
DedemIT lahir sejak Oktober 2013, komunitas yang beranggotakan 25 orang ini kini telah banyak berkontribusi dalam hal sistem informasi dan teknologi didesa. Melalui program 2.0 mereka pun aktif membuatkan desa-desa webiste dengan domain desa.id. kini sudah ada 55 desa di Lampung yang memiliki website yang lahir dari tangan para relawan dan anggota DedemIT. Ada tiga aspek yang wajib diisi untuk mengelola website desa yakni unsur pemuda, perempuan dan unsur perangkat desa. Beberapa desa yang sukses telah memiliki webiste desa diantaranya yakni desa Tanjung Anom di Lampung Tengah, Desa Datar Rajan, Ulubelu Tanggamus, dua desa di Suoh Lampung Barat yakni desa Sumber Agung dan desa Tugu Ratu. Tak sehari dua hari para anggota mengajari pemuda dan perangkat desa mengenai IT, mereka pun harus menginap dirumah penduduk sekitar. Alhasil para anggota pun harus merogoh kocek sendiri demi membagikan keahlian mereka.
”Semua gratis kami sediakan, ini karena kami cinta teknologi,” sambungnya. para anggota DedemIT pun merasa puas berbagi ilmu informasi dan teknologi kepada para pemuda didesa.
Ada saja suka duka membuat dalam berbagi ilmu informasi dan teknologi ke pelosok desa. Seperti pengalaman Rifki yang kala itu berkunjung di desa Batu Menyan, Ketapang Pesawaran. Saat itu dirinya bersama beberapa anggota komunitas DedemIT. Akses internet yang super lambat menjadi kendala yang hanya 64 kilobite per detik.
”Buat mengirim sampai emailnya sampai saja butuh waktu dua jam, buat kopi ditinggal jalan-jalan dahulu baru email terkirim,” kenangnya.
Tak hanya itu, pengalaman lucu dan miris juga dirasakan oleh Rifki, ia pun kaget saat dirinya pernah menemukan salah satu pegawai perangkat desa yang baru seumur hidupnya melihat komputer.
”Disemua desa kita temukan beberapa mereka yang sama sekali tidak tahu apa itu komputer. Ya kita harus ajari mereka dari nol mulai dari cara mengoprasikan keyword, buka word, semua kita ajari,” jelasnya. Namun, niat belajar para pemuda desa membuat anggota DedemIT semakin semangat mengajarkan internet. Beberapa pemuda yang tak memiliki laptop ataupun komputer pun meminjam dengan mereka yang memiliki seperti meminjam ke sekolah dan desa. Menurutnya penggunaan website desa dan informasi teknologi sangat bermanfaat bagi ekonomi kreatif desa. Disitu, para pemuda bisa mempromosikan desanya dari produk hingga objek wisata yang ada didesa tersebut. Belakangan dalam prorgam 2.0, DedemIT menggandeng organisasi nirlaba yang fokus pada satwa yakni World Wide Fund (WWF). (*/jpg)