eQuator.co.id – Pontianak-RK. Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) dan International Animal Rescue (IAR) Indonesia bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar melakukan pelepasliaran enam individu orangutan (Pongo pygmaeus) di dalam kawasan TNBBBR, Kamis (14/2).
Keenam individu ini semuanya merupakan orangutan hasil rehabilitasi. Termasuk sepasang induk dan anak orangutan bernama Maili dan Osin. Untuk pertama kalinya, induk anak orangutan hasil rehabilitasi dilepaskan di kawasan ini. Selain Maily dan Osin, keempat orangutan lainnya yang turut dilepaskan bernama Lady, Obi, Muria dan Zoya.
Direktur Program IAR Indonesia, Karmele L. Sanchez menerangkan, Maili merupakan orangutan hasil rehabiltasi IAR Indonesia yang diselamatkan dari kasus pemeliharaan satwa dilindungi pada 2015 lalu, di Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya.
“Setelah diselamatkan dari tangan pemeliharanya, Maili menjalani masa rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi dan Konservasi Orangutan IAR Indonesia di Desa Sungai Awan Kiri, Delta Pawan, Ketapang,” terang Karmele dalam keterangan pers yang diterima Rakyat Kalbar, Sabtu (16/2).
Dalam proses rehabilitasi ini, orangutan ditempatkan di dalam pulau-pulau buatan. Dibiarkan bebas mengeksplorasi pulau untuk mensimulasikan kondisi alami seperti di habitat aslinya. “Rehabilitasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan sifat alami orangutan,” tuturnya.
Pada masa rehabilitasi ini, orangutan akan belajar kemampuan dasar bertahan hidup di alam seperti memanjat, mencari makan, dan membuat sarang.
Sementara itu, dijelaskannya, Osin merupakan anak Maili hasil dari perkawinannya dengan salah satu orangutan jantan di dalam pulau buatan yang digunakan sebagai tempat rehabilitasi. Meskipun kelahiran bayi orangutan dalam pusat rehabilitasi tidak diharapkan terjadi, perkawinan antar orangutan juga tidak bisa dihindarkan dalam kondisi semacam ini. “Karena proses reproduksi di alam merupakan hal yang alami bagi orangutan,” ujar Karmele.
Lalu, Lady adalah orangutan betina berusia 10 yang dulunya diselamatkan dari salah satu perusahaan tambang di Marau, Kabupaten Ketapang, Kalbar, pada Desember 2010. Setelah menjalani proses rehabilitasi selama lebih dari 8 tahun, Lady akhirnya dinyatakan layak untuk dikembalikan ke habitat aslinya.
Sedangkan Obi merupakan orangutan jantan yang ditemukan oleh salah satu pekerja ladang di daerah Pulau Kumbang, Kecamatan Teluk Batang, Kabupaten Kayong Utara. Obi dipelihara selama 10 bulan. Selama itu, Obi sempat mengalami demam dan diare. Pada saat dipelihra, Obi diberi makan nasi yang diberi udang, kue, fanta, dan buahan sesekali. Obi tiba di pusat rehabilitasi IAR Indonesia pada Juni 2014 untuk menjalani rehabiltasi. “Saat ini Obi berusia 8 tahun dan berdasarkan hasil pemantauan perilaku, dia dinyatakan layak untuk dikembalikan ke habitat aslinya,” tuturnya.
Sementara Muria, dulunya merupakan orangutan betina yang dipelihara oleh seorang petani di daerah Desa Sumber Rejo, Dusun Demit, Kecamatan Sandai. Muria dipelihara selama kurang lebih 3 tahun. Setelah mengetahui peraturan undang-undang terkait satwa liar dilindungi, pada akhirnya pemilik menyerahkan Muria kepada BKSDA Kalbar untuk direhabilitasi di IAR Indonesia.
Muria tiba di Pusat Rehabilitasi IAR Indonesia pada Juni 2014. Muria yang sudah menguasai semua kemampuan hidup di alam ini menjadi induk asuh bagi Zoya, bayi orangutan yang terpisah dari induknya pada akhir tahun 2017 lalu. Zoya sendiri merupakan bayi orangutan yang masih memerlukan induknya.
“Sehingga tim rehabilitasi mencarikan induk asuh untuk Zoya. Muria yang mempunyai naluri yang bagus sebagai seorang ibu menjadi kandidat kuat dan diperkenalkan dengan Zoya pada Juni 2018. Hasilnya sangat cukup menggembirakan karena keduanya menunjukkan perkembangan yang positif,” jelas Karmele.
Ia menceritakan, proses rehabilitasi sampai pelepasliaran ini bisa memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Tim pelepasan berangkat dari Pusat Rehabilitasi IAR di Ketapang pada 12 Februari 2019 pada pukul 06.00 Wib. Selama di perjalanan tim selalu memperhatikan kondisi orangutan yang dibawa agar tidak mengalami stress di dalam kandang mengingat jarak tempuh yang sangat jauh. Memerlukan waktu sekitar 17 jam bagi tim untuk mencapai di kantor seksi TNBBBR di Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi. Tim beristirahat satu malam sebelum melanjutkan perjalanan ke titik pelepasan.
Perjalanan dilanjutkan keesokan paginya menuju dusun terdekat dengan kawasan TNBBBR. Perjalanan darat ditempuh selama 5 jam dan kemudian diteruskan dengan perahu motor selama 1 jam. Tidak sampai di situ, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki memasuki kawasan hutan TNBBBR. Dalam kegiatan ini, anggota Koramil dan Polsek Menukung juga turut hadir.
Porter yang terdiri dari belasan warga desa sekitar TNBBBR, siap untuk memikul kandang yang beratnya antara 100 kg dan 150 kilogram. Perjalanan memikul kandang ini memakan waktu hingga 5 jam. Keempat orangutan ini kemudian ditempatkan di dalam kandang habituasi agar mereka bisa beristirahat dan sedikit beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Keesokan harinya tim melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki dan keempat orangutan ini dilepaskan di dua titik pelepasan yang berbeda.
“Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya dipilih menjadi tempat pelepasliaran orangutan karena hutannya yang masih alami dan bagus. Survey dari tim IAR Indonesia juga menunjukkan jumlah pohon pakan orangutan yang berlimpah,” kata Karmele.
Selain itu, statusnya sebagai kawasan taman nasional akan lebih mampu menjaga orangutan ini dan habitatnya sebagai kawasan konservasi. Dari kajian yang pernah dilakukan juga oleh tim ahli dari YIARI, di lokasi TNBBBR Resort Mentatai yang menjedi lokasi pelepasliaran orangutan, tidak ditemukan keberadaan orangutan dan dinyatakan orangutan wilayah ini telah punah dalam 20-30 tahun terakhir. “Oleh karena itu upaya untuk pelepasan orangutan sangat penting sekali. Sampai saat ini IAR Indonesia telah melepasakan 36 orangutan sejak tahun 2016,” terang dia.
Karena orangutan yang dilepaskan merupakan orangutan hasil rehabilitasi, IAR Indonesia menerjunkan tim monitoring untuk melakukan pemantauan perilaku dan proses adaptasi orangutan ini di lingkungan barunya. Tim monitoring yang terdiri dari warga desa penyangga kawasan TNBBBR ini akan mencatat perilaku orangutan setiap 2 menit dari orangutan bangun sampai tidur lagi setiap harinya. Proses pemantauan ini berlangsung selama 1-2 tahun untuk memastikan orangutan yang dilepaskan bisa bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Karmele melanjutkan, proses rehabilitasi merupakan proses panjang yang memakan waktu, tenaga dan upaya yang tidak sedikit. Salah satu tantangan terbesar dalam proses rehabilitasi adalah tidak adanya buku panduan yang pasti bagaimana merehabilitasi orangutan dan mengembalikan perilaku serta kemampuan alaminya untuk hidup bertahan di hutan.
“Dalam pelepasan kali ini kami melakukan satu terobosan untuk melepasliarkan bayi orangutan dengan induk asuhnya. Zoya dan Muria saling belajar bagaimana bertahan hidup di alam. Zoya yang tidak pernah dipelihara oleh manusia menunjukan perilaku alami yang bisa dipelajari Muria, dan Muria yang protektif selalu melindungi Zoya dari berbagai ancaman yang ada di alam,” terangnya.
Melihat kemajuan keduanya yang pesat, kata Karmele, pihaknya tidak ragu untuk menjadikannya sebagai kandidat pelepasliaran. Setelah pemantauan intensif selama beberapa bulan, hasilnya menunjukkan keduanya siap untuk dikembalikan ke habitat aslinya. “Semoga Muria dan Zoya serta semua orangutan yang sudah dilepasliarkan bisa hidup aman di alam bebas,” pungkasnya.
Untuk diketahui, saat ini IAR Indonesia menampung lebih dari 100 individu orangutan untuk direhabilitasi. Proses rehabilitasi juga tidak bisa dibilang singkat. Proses ini dapat mencapai 7-8 tahun tergantung kemampuan masing-masing individu.
Sementara itu, Plt Kepala Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR), Hernowo mengatakan, pelepasliaran enam orangutan hasil rehabilitasi ini merupakan salah satu program kerjasama TNBBBR dengan YIARI yang telah disepakati dalam Rencana Kerja Tahunan (RKT) Tahun 2019. Juga termasuk dalam tahap pertama pelepasliaran orangutan tahun 2019.
“Rencananya akan ada tiga tahapan pelepasliaran orangutan selama tahun 2019. Dan orangutan hasil rehabilitasi ini setelah dilepasliarkan akan dimonitoring. Dimana kegiatan monitoring akan dilakukan mulai dari orangutan bangun tidur sampai tidur lagi di sarang,” terangnya.
Lanjutnya mengatakan, idikator pencapaian dari dilakukannya kegiatan pelepasliaran dan monitoring orangutan paska pelepasliaran ini adalah orangutan yang dilepasliarkan di TNBBBR dapat bertahan hidup dan beradaptasi dengan baik di habitatnya. Serta meningkatnya jumlah populasi dan terjaminnya keberlangsungan hidup orangutan di alam.
“Semoga semua orangutan yang telah dilepasliarkan di TNBBBR akan dapat segera beradaptasi dengan habitat alaminya dan mereka semua dapat survive bahkan berkembang di kawasan TNBBBR,” harapnya.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alama (BKSDA) Kalbar, Sadtata Noor mengatakan, upaya konservasi satwa liar dari waktu ke waktu menghadapi tantangan yang semakin besar. Namun, kerja konservasi tidak boleh berhenti. “Pelepasliaran orangutan kali ini merupakan salah satu pertarungan yang harus terus dilakukan dan harus dimenangkan. Terima kasih dan apresiasi untuk para mitra, khususnya IAR Indonesia, yang telah memberikan kontribusinya dalam mendukung tugas-tugas BKSDA Kalbar dalam mengemban amanah di bidang konservasi tanaman dan satwa liar di Kalbar,” ucapnya. (oxa)