-ads-
Home Nasional Kejantanan Hanya Diambil Dua Tahun

Kejantanan Hanya Diambil Dua Tahun

IDI Tak Mau Eksekusi Cari Alternatif Lain

Ilustrasi.NET

eQuator.co.id – SURABAYA-RK. Pemerkosa 12 anak di Mojokerto, M. Aris, akan dikebiri saat masa hukuman penjaranya tinggal dua tahun. Karena dia divonis 12 tahun, berarti sanksi kebiri baru diterapkan ketika masa hukumannya memasuki tahun kesepuluh.

’’Menjelang akhir masa hukuman badan, terpidana Aris kami eksekusi kebiri kimia,’’ tegas Kepala Kejari (Kajari) Kabupaten Mojokerto Rudy Hartono saat diskusi publik bertajuk Hukuman Kebiri untuk Predator Anak di Empire Palace, Surabaya, kemarin (28/8).

Dia menjelaskan, kebiri kimia itu hanya bersifat sementara. Tidak permanen seperti kebiri bedah. Di dalam aturannya, kebiri kimia hanya berlaku untuk dua tahun. Dosis obat untuk kebiri kimia paling lama hanya enam bulan. ’’Kalau dua tahun, berarti dia nanti dikebiri kimia empat kali,’’ ucapnya.

-ads-

Setelah masa dua tahun berakhir, jaksa harus bertanggung jawab mengembalikan kejantanan Aris. Dengan demikian, ketika keluar penjara, Aris sudah normal. Jaksa juga harus bertanggung jawab menjamin kesehatan Aris ketika sudah bebas. ’’Negara wajib memulihkan terpidana sampai pulih saat dia bebas. Misal dia punya masalah jantung karena kebiri atau impotensi, itu tanggung jawab negara,’’ jelasnya.

Kini Kejari Mojokerto masih menunggu petunjuk teknis dari Kejagung untuk pelaksanaan kebiri. Rudy juga belum mengajukan permohonan kebiri kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Jika tidak ada dokter yang bersedia mengebiri Aris, jaksa siap mengeksekusi sendiri. ’’Tidak harus dokter. Pelajar belajar nyuntik tiga hari sudah bisa. Kami dari kejaksaan juga punya bidan sendiri, perawat sendiri, bisa menjadi eksekutor,’’ tegasnya.

Diskusi yang diselenggarakan Komunitas Media Pengadilan Kejaksaan (Kompak) Surabaya itu juga menghadirkan Ketua Majelis Pengembangan Profesi Kedokteran (MPPK) IDI dr Pudjo Hartono. Pudjo secara tegas menolak apabila dokter harus menjadi eksekutor kebiri kimia. Kebiri, menurut dia, bertentangan dengan kode etik dan sumpah dokter. ’’Bahwa kami tidak akan menggunakan ilmu kami untuk membuat orang menderita,’’ katanya.

Dia mencontohkan hukuman mati. Dalam teknis eksekusinya, dokter tidak menjadi eksekutor. Dokter hanya berperan memastikan apakah orang yang dieksekusi sudah mati atau belum. Selain itu, eksekutor hukuman mati dirahasiakan.

Kebiri kimia, menurut Pudjo, membutuhkan biaya yang cukup besar. Harga obat-obatan untuk mengebiri sangat mahal. Selain itu, efek sampingnya banyak. Dia khawatir kebiri kimia berdampak buruk bagi kesehatan orang yang dikebiri.

Pengamat hukum pidana Universitas Airlangga Surabaya Taufik meyakini bahwa tidak semua dokter menolak eksekusi kebiri kimia. Jaksa, menurut dia, bisa merahasiakan dokter dan rumah sakit yang mengeksekusi kebiri. Dia mencontohkan dokter di Amerika Serikat yang juga mengeksekusi hukuman mati.

’’Kita bisa mencontoh di Amerika. Identitas dokter yang mengeksekusi dirahasiakan. Rumah sakit tidak ditunjukkan,’’ katanya.

ATURAN TEKNIS TIDAK AKAN MELANGGAR HAM

Di sisi lain, Kejaksaan Agung tidak mundur meski ada penolakan untuk eksekusi kebiri M Aris asal Mojokerto. Apabila Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tetap tidak menyanggupi eksekusi, Kejagung bakal mencari alternatif lain.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Mukri menjelaskan bahwa kemungkinan kejaksaan sebagai eksekutor akan memilih alternatif tenaga medis yang membantu Kejagung. “Kalau memang menolak, kami akan cari solusi alternatif medis lain selain ke IDI,” jelasnya ditemui di kantornya kemarin (28/8).

Namun, Mukri mengakui Kejagung belum mendaftar alternatif apa saja yang bisa dipilih. Untuk menginventarisir alternatif tersebut, Kejagung harus mengadakan pertemuan dengan Kementerian Kesehatan dulu. Kejagung membuka pintu untuk masukan-masukan dari Kemenkes terkait pelaksanaan kebiri kimia. Dia mencontohkan, misalnya detail prosedur eksekusi kimia seperti apa.

“Itu menjadi kewenangan tim medis, tetapi sebagai eksekutor kita perlu mengetahui,” lanjutnya.

Alternatif pun akan dipilih Kejagung berdasarkan masukan Kemenkes nantinya. Pihak mana saja kemungkinannya, masih belum dibeberkan Kejagung.

“Nanti lah itu, kita serahkan ke Kemenkes,” ujarnya.

Bahkan, ketika ditanya rencana koordinasi tersebut, Kejagung belum mengatur jadwalnya. Alasannya, pelaksanaan hukuman pidana tambahan sendiri tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Kejaksaan di tingkat daerah pun harus menunggu lebih lama untuk kejelasan petunjuk teknisnya (juknis).    Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise mendukung keputusan majelis hakim dalam memberikan putusan kebiri. Menurutnya Kemen PPPA tidak mentoleransi segala bentuk kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak.

”Kemen PPPA mengapresiasi putusan yang dilakukan oleh Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto atas pemberlakuan hukuman pidana tambahan berupa pidana kebiri kepada terdakwa,” ujar Yohana.

Menteri asli Papua itu menerangkan bahwa UU 17/2016 yang berfungsi untuk melindungi dan memberikan keadilan bagi korban anak dalam kasus kekerasan seksual sudah seharusnya digunakan oleh aparat penegak hukum. Apa yang dilakukan Majelis Hakim PN Mojokerto menjadi yang pertama di Indonesia. Hal ini merupakan sebuah langkah maju yang diharapkan mampu memberikan efek jera bagi terdakwa.

”Ini salah satu upaya untuk memberikan efek jera kepada para predator anak dan seperti kita ketahui bahwa Presiden telah menyatakan bahwa kejahatan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa,” ungkapnya.

Hukuman kebiri yang diputuskan PN Mojokerto kepada M Aris memang menuai banyak polemik. hukuman kebiri dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM). Melihat hal ini, Dirjen Perlindungan Anak Kementerian PPPA Nahar menyatakan bahwa hal itu tidak benar. Pemerintah tengah menyusun teknis pemberian hukuman tambahan bagi pelaku pencabulan anak. Salah satunya adalah hukuman kebiri.

”Nanti rumusan dalam PP dan Permennya sangat memperhatikan masalah HAM ini,” katanya kemarin.

Hukuman kebiri ini dilakukan setelah hukuman pokok selesai. Menjelang selesai, terpidana akan dilihat kondisinya. PP akan diselesaikan tahun ini. Selanjutnya kementerian terkait akan menyusun Permennya.

Di sisi lain, penanganan psikologis dari M. Aris juga menjadi perhatian serius  pemerintah. Kementerian Sosial (Kemensos) berencana memberikan pendampingan untuk rehabilitasi sosial.

Menteri Sosial (Mensos) Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan, pendampingan bukan hanya dibutuhkan oleh korban tapi juga pelaku. Kejiwaan dari pelaku juga perlu disembuhkan sehingga nantinya tak mengulangi kejahatan yang diperbuat.

“Saya kira, kita harus masuk untuk rehabilitasi sosial agar secara moral dan mental mereka tersembuhkan,” ujarnya ditemui di Kantor Kementerian Sosial (Kemensos), Jakarta, kemarin (28/8).

Selain itu, rehabilitasi juga untuk menyiapkan pelaku saat kembali ke masyarakat. Meski nantinya, pelaku tidak bisa mengulangi kejahatannya karena dikebiri, tapi hukuman sosial dari masyarakat pasti akan diterima. Baik itu berupa stigma ataupun pengucilan di lingkungan tinggal.

“Kita  harus menganggap mereka itu insan. Kan sudah dihukum, dia punya hak juga untuk hidup,” paparnya.

Agus menuturkan, proses rehabilitasi tidak akan memotong masa tahanan. Artinya, rehabilitasi dilakukan usai pelaku menjalani masa tahanan dan tambahan hukuman kebiri kimia.

Politisi Partai Golongan Karya (Golkar) itu sendiri secara tegas mendukung adanya pemberatan hukuman yang diatur dalam UU 17/2016. Aturan tersebut diyakini bisa memberikan efek jera pada orang-orang yang berniat atau memiliki kebiasaan melakukan kejahatan seksual. Terlebih pada anak-anak yang menjadi generasi penerus bangsa.

“Menurut saya UU sudah benar. Bagi mereka yang tidak sepakat boleh saja mengajukan gugatan ke MK,” tegasnya. (Jawa Pos/JPG)

Exit mobile version