eQuator.co.id – Tahun lalu, orang se-Kalbar dibuat kelimpungan dengan asap yang merasuki paru-paru selama beberapa bulan. Di salah satu sumber kebakaran besar, pada September 2015, warga Desa Teluk Empening, Terentang, Kubu Raya, panik luar biasa.
Halide, salah seorang tokoh masyarakat yang juga mantan Kepala Desa Empening periode 1991-2007 mengatakan, butuh waktu tidak kurang setengah bulan lebih agar api di sana bisa dipadamkan. Saking hebatnya kebakaran yang terjadi.
“Masalahnya, di sini sumber air jauh untuk padamkan api, antara lokasi kebakaran dan Sungai Kapuas jaraknya sekitar 2 kilo-an meter. Jadinya kami warga hanya mengandalkan air parit,” tuturnya kepada sejumlah wartawan yang ikut Jurnalis Trip bersama JARI Indonesia Borneo Barat, di Teluk Empening, Kamis (26/5).
Kebakaran bermula pada 15 September. Setelah beberapa hari, barulah tim dari Manggala Agni, Mandiri, Alas Kusuma, Sporc, Shabara, Brimob, serta Polsek setempat, bisa turun ke lokasi.
Jauhnya sumber air memang kendala tersendiri. Proses pemadaman api sangat ribet. Tim terpaksa harus menyedot air dari Sungai Kapuas ke saluran sekunder yang berjarak sekitar 800 meter.
Dari saluran itu, baru kemudian air dipindah lagi ke saluran tersier menggunakan selang. Kemudian dialirkan ke saluran-saluran atau kanal-kanal manual buatan warga sehinga air dapat disemprotkan ke sumber api.
“Sampai lebaran hari H (Idul Adha) saja kami masih padamkan api. Habis jak sembahyang, salam-salaman, langsung kami turun ke kebun. Sampai ada yang nginap di sana, jaga agar api biar tidak muncul lagi,” ungkap Halide.
Akibat kebakaran tersebut, menurut dia, tak kurang dari dua hektar lahan karet yang ditanamnya pada 2013 habis terbakar. Seperti halnya Sekretaris Desa Teluk Empening, Badron, Halide juga mengaku kapok menanam karet kembali. Di samping waktu menuju panen yang lama dan mahal, ketiadaan saluran air membuat sebagian besar warga berpikir seribu kali.
“Sekarang warga di sini sebisanya menanam tanaman apa yang ada sajalah. Ada jahe, tanam jahe. Ada cabai, tanam cabai. Ada nanas, tanam nanas. Kalau karet, tiga tahun saya memproduksinya, habis semua kemarin (akibat kebakaran). Ya saya tinggal diam jak,” kenangnya.
Petani karet lainnya, Syawal, yang juga Ketua RW 02 Dusun Kelola Jaya mengaku saat ini lebih memilih menanam jahe ketimbang karet. Alasannya, walaupun biaya yang dibutuhkan lebih mahal, kurun enam bulan jahe sudah dapat dinikmati hasilnya. Tidak seperti karet yang harus menunggu tujuh tahun.
Dan lagi, insiden kebakaran yang telah menghabiskan sebanyak 3000-an batang karetnya tahun lalu itu cukup menjadi pelajaran. “Belum saya panen, capek saja merawatnya, (baru jalan) 3 tahun,” terang Syawal.
Senada, Ketua RT 02 RW 02 Dusun Kelola Jaya, Candra mengatakan, untuk menata kembali perekonomian, warga setempat sebagian besar memilih beralih pada tanaman lembut yang sifatnya musiman. Kebakaran yang datang hampir pada siklus tiga tahunan itu menyisakan trauma besar.
“Ada yang baru panen sekali, tanam lagi, dimakan api lagi. Ada yang belum sempat panen. Begitu terus. Takut mau nanam (karet). Saya sekarang tanam jahe, ada 10 galang. Biayanya lumayan besar kalau kerjakan sendiri. Ini saya pakai tenaga sendiri, biayanya sekitar Rp6 juta-an, waktu pengerjaannya 20 hari, dengan masa 6 bulan saja bisa panen. Kalau karet, 7 tahun baru bisa ditoreh,” paparnya.
Kondisi ini berbeda dengan beberapa warga di dusun sebelah, Dusun Sampang. Syahri, petani jahe, mengaku cukup tenang karena puluhan galang jahenya selamat saat kebakaran yang juga melanda sebagian area perkebunan di dusunnya.
Saat ini, Syahri memiliki 40 galang tanaman jahe putih dengan luasan area 25×60 meter. Dia mulai menanam jahe sejak tiga tahun lalu karena melihat pasarannya yang bagus.
“Dulu saya noreh getah, kebun saya ada 4 hektar, waktu kebakaran itu tidak kena. Sekarang saya tanam jahe. Hasilnya bisa sekitar 2-4 ton,” bebernya.
Berdasarkan informasi dan data yang diperoleh dari warga dan pemerintah desa, insiden kebakaran yang terus bersiklus ini mengindikasikan beberapa ancaman serius. Salah satunya, pertambahan lahan tidur karena ditinggal masyarakat yang tentunya berdampak pada perekonomian setempat.
Sebelum kebakaran besar 2015, angka pengangguran di sana sudah menjadi persoalan. Sampai saat inipun, kebanyakan masyarakat, umumnya para pemuda-pemudinya, lebih memilih bekerja di luar kampung. Ada yang ke Pontianak atau menjadi TKI ketimbang menetap dan menggarap lahan yang ada.
Tak hanya itu, rusaknya habitat hewan-hewan seperti landak, trenggiling, lutung, kangkareng (sejenis burung enggang), rusa, ular, elang, babi hutan, dan lain sebagainya telah membuat ketimpangan ekosistem alam di Desa Teluk Empening. (*/bersambung)
Fikri Akbar, Kubu Raya