eQuator.co.id – SINGKAWANG-RK. Ada 51 kasus kekerasan terhadap perempuan di Kota Singkawang pada 2018. Didalamnya, termasuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Khusus KDRT, kasus ini dianggap masih besar. Karena, sepanjang 2018 saja, terjadi 23 kasus KDRT yang korbannya adalah perempuan.
“Pemicu KDRT terhadap perempuan, karena masalah ekonomi dan gangguan pihak ketiga. Juga masih banyak faktor yang mempengaruhi seperti komunikasi dalam rumah tangga yang tidak efektif dan harmonis,” ujar Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Singkawang, Sri Adha Yanti, Selasa (22/1).
Tidak hanya itu, kata Sri, banyak suami yang menelantarkan istri karena masalah ekonomi dan pada akhirnya menimbulkan rasa ketidakpuasan. “Suami memukul istrinya dipicu pihak ketiga juga ada. Meskipun ada perempuan yang melakukan kekerasan terhadap suaminya. Namun itu langka dan hanya ada dua kasus saja,” katanya.
Dua kasus tersebut, jelas Sri, tentunya hanya sifat kekerasan non fisik yaitu ketika suami hendak menemui anaknya, namun dilarang oleh istrinya. Sehingga suaminya melaporkan istrinya.
Permasalahan KDRT juga menjadi pemicu dalam meningkatnya angka perceraian. Untuk menanggulangi dan sekaligus pendampingan terhadap korban kekerasan dan perlindungan anak, maka dibentuklah Pusat Pelayanan Terpadu dan Perlindungan Anak.
“Kami melakukan sosialisasi terkait kekerasan dalam rumah tangga dan
juga bagi keluarga yang mengalami perceraian. Kita berupaya mencegah jangan sampai terjadinya perceraian karena dampaknya juga terhadap anak-anak,” ujarnya.
Direktur LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Perempuan dan Keluarga (Peka) Kalimantan Barat, Rosita Nengsih menambahkan, bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak juga dipicu dengan keberadaan ponsel dan video.
“Untuk perempuan memang sebagian besar yang kita tangani yaitu kekerasan dalam rumah tangga, namun angkanya masih di bawah Kabupaten Sambas dan Bengkayang,” katanya.
Rosita menegaskan, yang paling penting saat ini yaitu bagaimana memperbanyak sosialisasi terkait dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Kita lebih banyak terlibat dalam penegakan hukum dan perlindungan hukum. Namun untuk sosialisasi kita perlu bekerjasama dengan pihak terkait yang memiiki dana dalam sosialisasi,” katanya.
Pihak terkait itu seperti Pemerintah Daerah (Pemda) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang perempuan. (hen)