eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Seorang siswa SMPN 09 Pontianak diduga menjadi korban kekerasan saat berada di lingkungan sekolah. Beberapa bagian tubuh korban lebam akibat dipukuli teman-temannya.
Kasus tersebut akhirnya berujung damai. Setelah orangtua korban dan keluarga melakukan pertemuan dengan pihak sekolah di ruang Kepala SMPN 09 Pontianak, Selasa (16/10). Kasus kekerasan itu pun dibenarkan ibu korban. “Iya benar, tapi tidak apa-apa sudah di selesaikan dengan damai,” ujarnya tanpa mau namanya dikorankan.
Dijelaskannya, ia hanya ingin memberikan efek jera dengan pelaku kekerasan terhadap anaknya. “Supaya tidak melakukan hal sepert itu lagi,” tutupnya.
Sebelumnya, Rakyat Kalbar sekitar pukul 08.20 WIB mendapat informasi bahwa salah seorang siswa sekolah SMPN 09 Pontianak mengalami penganiayaan oleh kawan-kawan se kelasnya. Ketika dikomfirmasi kepada salah seorang dewan guru terkait kronologi kejadian penganiayaan terhadap siswa dia membenarkan. “Tapi bukan penganiayaan dia hanya gurau bah. Bertolak-tolak murid sama murid,” ucapnya tanpa mau menyebutkan namanya.
Tak mau berbicara banyak, dia meminta awak media untuk bersabar menunggu keputusan rapat yang sedang berlangsung. Informasi penganiayaan didapat dari paman korban yang sedang menunggu di depan pintu masuk sekolah.
“Iya benar, itu keponakan saya. Kejadian itu terjadi saat berada di dalam kelas,” ungkapanya yang juga namanya dikorankan.
Disebutkan dia, kepala keponakannya ditutup dengan tas. Kemudian korban dipukuli rekan-rekannya. Atas kejadian itu, keponakanya mengalami lebam di bagian rusuk dan bahu bagian atas.
Namun jawaban berbeda disampaikan Kepala SMPN 09 Pontianak Mulyadi Supriyanto. Dia mengatakan tidak ada kejadian apa-apa. “Tidak terjadi apa-apa, titik. Kejadianya tidak terjadi,” ucapnya.
Saat ditanya ada salah seorang siswanya ditutup dengan tas dan dipukuli rekan-rekannya, dia juga tidak menanggapi. “Tidak ada, itu hanya kasus guru yang terjatuh,” sebut Mulyadi.
Awak media coba mendapatkan informasi kasus ini ke Komnas HAM Kalbar di Jalan Daeng Abdul Hadi, Pontianak. Namun Staf Pengaduan Komnas HAM Kalbar, Yono mengaku belum menerima laporan terkait kasus pemukulan terhadap salah seorang siswa di sekolah. “Kita belum menerima laporan dan kita belum menerjunkan anggota di lapangan,” sebutnya.
Namun pihaknya akan menampung informasi tersebut. “Akan kita tampung dan akan kita koordinasikan dulu kepada pimpinan. Karena saat ini Ketua dan Kasubag sedang tidak berada di tempat,” pungkas Yono.
Terpisah, Akademisi Hukum Pidana Universitas Kapuas (UNKA) Sintang, FX Nikolas mengatakan setiap tindak pidana baik dilakukan oknum siswa harus dipertanggungjawabkan. Karena terdapat beberapa pasal di dalam KUHP yang dapat diterapkan terhadap pelaku. Misalnya pasal 170 KUHP.
“Dalam pasal ini membahas kekerasaan yang dilakukan secara bersama-sama dan ancaman pidananya 5 tahun enam bulan penjara,” ungkapnya dihubungi Rakyat Kalbar via WhatsApp, Selasa (16/10).
Begitu pula pelaku bullying, bisa dikenakan pasal 351 KUHP ayat 1. Ancamannya 2 tahun 8 bulan penjara. Kemudian ayat 2 di pasal yang sama dengan ancaman 5 tahun penjara dan ayat 3 ancamannya 7 tahun penjara. Namun ada sebuah penyelesaian secara diversi dalam kasus ini. Syarat terjadinya diversi bila ancaman pidana di bawah 7 tahun dan bukan penggulangan tindak pidana.
“Sehingga jika dilihat dari ancaman di dalam KUHP, maka secara teori penyelesaian peristiwa pidana kenakalan anak atau juvennile delinquency tidak terlepas dari pendekatan restorative justice dan konsep diversi, karena ada undang-undangnya seperti Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,” terang Nikolas.
Dijelaskannya, dalam sistem peradilan pidana anak tepatnya dalam pasal 1 ayat 7, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Maksud dilakukan diversi mempunyai tujuan yaitu mencapai perdamaian antara korban dan anak.
“Penyelesian perkara anak di luar proses peradilan menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpatisifasi dan menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak,” paparnya.
Demi tercapainya tujuan tersebut, maka konsep diversi ini sifatnya wajib dilihat di pasal 5 ayat 3 Undang-Undang Perlindungan Anak. Dasar yang lain berkaitan dengan penyelesaian tindak pidana anak, yaitu pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
“Dikatakan dalam pasal itu, hakim peradilan anak wajib mengupayakan diversi dalam hal anak didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun” jelasnya.
Dalam peristiwa ini, walaupun anak melakukan perbuatan dewasa, akan tetapi tetap saja dalam teorinya disebut dengan kenakalan anak. Sehingga diharapkan kepada stakeholder baik dari penyidik anak, Bapas, pembimbing anak, Komnas HAM dan KPAI harus aktif dalam menyelesaikan perkara anak yang berhadapan dengan hukum. Stakeholder harus senantiasa melakukan pembinaan dalam bentuk sosialisasi ke sekolah-sekolah.
“Jangan hanya melihat sudah terjadinya suatu peristiwa pidana baru aktif. Artinya melakukan pencegahan diutamakan dibandingkan melakukan tindakan penindakan,” ujarnya.
Pada dasarnya, lanjut dia, peran guru sangat penting untuk melakukan pencegahan dibantu pengawasan orangtua murid. Bila orangtua tak mampu mengawasi anaknya, maka sekolah wajib menyediakan guru pembimbing konseling.
“Jika merasa tidak mampu melakukan bimbingan di luar sekolah, orangtua dapat meminta bantu guru BK untuk melakukan pembinaan kepada anak mereka,” pungkas Nikolas.
Laporan: Andi Ridwansyah, Bangun Subekti
Editor: Arman Hairiadi