eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Kalbar menggelar unjuk rasa guna menyikapi rupiah yang kian hari nilainya makin anjlok terhadap dollar Amerika Serikat, Jumat (7/9) sekira 16.00 WIB. Massa yang menggelar aksi di Taman Digulis Pontianak itu membawa spanduk bertuliskan #Save Rupiah, Stop Impor, serta turunkan Sri Mulyani.
Satu persatu dari mereka berorasi. Mereka meminta kepada pemerintah, khususnya Menteri Keuangan Sri Mulyani agar serius menangani lemahnya nilai rupiah. “Jokowi turun, rupiah naik,” teriak massa.
Ketua KAMMI Kalbar, Imran Ramadhan menururkan, aksi mereka dalam rangka mengingatkan pemerintah terkait melemahnya nilai tukar rupiah. Dimana kemarin sempat menyentuh angka Rp15 ribu per dollar. Walau anjloknya rupiah belum sampai defisit seperti krisis tahun 1998, tapi gejalanya tetap ada. Sehingga harus diwaspadai.
“Dulu Menteri-Menteri bilang tidak kolaps, nyatanya juga kolaps. Sehingga kita minta pak Jokowi serius menangani ini,” katanya kepada wartawan di sela-sela orasi.
Dia mengingatkan Jokowi agar serius bekerja. Mengesampingkan kerja-kerja pencitraan. Pihaknya menilai, pelemahan rupiah lantaran Jokowi tidak serius mengurusi negara.
“Utangnya diperbanyak, infrastruktur digenjot, dan kita tau semua, barang-barang impor. Dan semuanya terbengkalai, karena kerjaan yang tidak becus,” sebutnya.
Dalam rangka menaikkan nilai rupiah, sampai saat ini dia belum melihat hasil yang dilakukan pemerintah. Pihaknya khawatir pelemahan rupiah ini berdampak dengan keraguan investor kepada keuangan negara. “Kalau sampai ada keraguan bisa-bisa mereka lari,” ucapnya.
Anjloknya rupiah dapat menyebabkan harga bahan pokok ikut naik dan menghambat perekonomian masyarakat. Sebagain contoh, harga tempe sudah naik akibat kedelai masih impor. Kalau pun tidak naik, tempe dikecilkan.
“Sekarang semua barang impor sudah naik, dan itu akan menghambat ekonomi di masyarakat dan itu sangat berbahaya,” paparnya.
KAMMI khawatir negara mengambil jalan pintas guna menanggulangi anjloknya rupiah ini. Misalnya menaikkan harga BBM dan pajak. Makanya, pihaknya mendesak Jokowi melalui Menteri Keuangan serius menyikapi persoalan ini.
“Kalau memang tidak becus harus mundur. Karena kita menilai ada salah urus di sini,” ucapnya.
Diakuinya memang semua negara-negara Asia Tenggara juga menghadapi pelemahan nilai mata uang masing-masing. Namun Indonesia dampaknya paling parah. Makanya pemerintah harus segera mengambil tindakan guna meningkatkan nilai rupiah. “Kalau kita lihat saat ini banyak masyarakat yang telah menukar dollar ke rupiah, sehingga kita berharap tindakan seperti itu juga dapat mengikuti para Menteri,” harapnya.
Irman menegaskan akan kembali melakukan aksi serupa apabila rupiah terus melemah atau makin parah. “Memang harus ada aksi lagi. Pak Jokowi harus terus diingatkan, jangan sampai santai-santai,” tutupnya.
Sehari sebelumnya, Anggota Komisi X DPR RI, Nizar Zahro mengatakan, dibutuhkan peran mahasiswa untuk memberikan kritikan agar pemerintahan Jokowi cepat mencari solusi soal nilai tukar ini. “Jangan sampai pemerintahan Jokowi terlena karena mahasiswanya diam-diam saja. Jadi, sebagai agen perubahan sudah saatnya memberi kritik membangun,” ucap Nizar kepada INDOPOS (Jawa Pos Group) di Jakarta, Kamis (6/9).
Nizar menjelaskan, akhir- akhir ini gerakan mahasiswa bisa dibilang lumpuh total, terlebih dengan kenaikan harga BBM dan harga listrik di era kepemimpinan Joko Widodo ini. “Ketika saat ini mahasiswa banyak diam dan tak turun ke jalan, maka wajar jika hal itu timbul pertanyaan. Apakah mahasiswa sudah hilang nalar kritisnya? Apakah mahasiswa sudah acuh terhadap kondisi bangsa dan rakyatnya? Ataukah Mahasiswa memang sengaja dibungkam oleh penguasa,” tukasnya.
Ketua DPP Partai Gerindra ini menjelaskan, sebagai generasi midle class, tentu mahasiswa harus kembali ke jati dirinya. “Yakni sebagai agen rakyat dibandingkan sebagai agen penguasa. Parlemen jalannya harus menjadi kekuatan lagi yang bisa mengubah kebijakan kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat menjadi prorakyat,” jelasnya.
Senada, pengamat politik Indonesia, Muslim Arbi. “Ini dolar naiknya banyak turunnya sedikit. Pertumbuhan tetap 5 persen. Emak-emak sudah mulai banyak berteriak karena sembako mahal. Kok mahasiswanya malah diam,” ucap Muslim.
Padahal, lanjut dia, pada era 1998, saat nilai tukar USD juga mencapai Rp15.000, mahasiswa sudah bergerak sampai kejatuhan rezim Soeharto. “Nah situasi sekarang ini mirip 1998 di mana posisi rupiah semakin tak terkendali dan melemah terus menerus bahkan bisa mencapai Rp 20.000 jika tidak ada langkah luar biasa dari pemerintah. Maka perlu adanya dorongan dari mahasiswa sebagai kritik membangun,” terangnya.
Lebih lanjut, koordinator Gerakan Perubahan (Garpu) ini menuturkan, mahasiswa seharusnya malu gerakan Barisan Emak-emak Militan (BEM) yang beberapa waktu lalu melakukan aksi demonstrasi di depan Istana Negara, Jakarta. “Kalau BEM itu Badan Eksekutif Mahasiswa, tapi karena beberapa waktu belakangan mahasiswa seperti ayam sayur, maka peran strategis mereka sementara digantikan oleh Barisan Emak-Emak Militan yang berdemo memprotes soal mahalnya harga sembako dan naiknya BBM, tarif listrik, dan lain-lain,” sindirnya.
Pengamat Politik dari Indonesia Public Institute (IPI) Jerry Massie turut menyatakan, mahasiswa sebagai penggerak moral di negeri ini sudah harus mulai banyak bicara di depan publik. Baginya, mahasiswa tidak melulu turun aksi ke jalanan, namun bisa melakukan pertemuan dengan sejumlah pihak yang berkompeten.
“Lakukan saja dulu hearing dengan DPR dan pemerintah. Yang penting tunjukkan bahwa mahasiswa peduli terhadap kondisi bangsa. Kalau memang makin parah, ya itu kembali kepada mahasiswa apakah sudah harus kembali ke jalanan atau tidak,” ujar Jerrie.
Lebih lanjut, doktor jurusan politik universitas di Amerika ini mengakui bahwa kondisi perekonomian saat ini dengan dolar sudah mencapai Rp 15.000 perlu tindakan yang spektakuler dan bukan melempar masalah akibat dampak krisi di luar negeri.
“Harus fantastis. Perlu dobrakan. Kalau bisa dolar AS turun ke Rp 11.000 dan pertumbuhan ekonomi capai 6 persen. Kalau ini terjadi di sisa waktu pemerintahan Jokowi, maka saya yakin rakyat dan mahasiswa juga akan mengapresiasinya,” ungkapnya.
Pengamat pendidikan dari Universitas Al Azhar Prof Suparji Ahmad juga mengimbau mahasiswa untuk tidak kalah dengan emak-emak yang menuntut harga sembako dan kebutuhan sehari-hari agar kembali murah. Padahal sebelumnya mahasiswa kerap turun ke jalan ketika ada sesuatu yang membuat rakyat sengsara.
“September merupakan tahun ajaran baru bagi mahasiswa. Momentum ini hendaknya dimanfaatkan mahasiswa untuk bangkit menjadi pemandu dan pengawal reformasi,” kata Suparji.
Ia menegaskan, kehadiran Barisan Emak Emak Militan harusnya membuat mahasiswa malu dan menjadi cambuk untuk tampil di depan sebagai agen perubahan. “Suara mahasiswa kepada lembaga legislatif dan eksekutif sangat penting untuk menjaga agar bangsa ini tetap berada on the track sesuai ideologi, kontitusi, regulasi dan reformasi,” paparnya.
Lebih lanjut Suparji mengatakan, sebagai agen perubahan, mahasiswa jangan sampai terlena terhadap keadaan negeri ini, ekonomi dan supremasi hukum sedang tidak jelas. “Nawacita dan revolusi mental yang menjadi program pemerintahan saat ini perlu diingatkan dan ditagih mahasiswa,” jelasnya.
Sebelumnya Koordinator Barisan Emak-emak Militan (BEM) Tri Erniyanti dalam bincang-bincangnya kepada INDOPOS juga meminta kepada mahasiswa agar aktif mengingatkan pemerintah bahwa harga sembako sudah semakin mahal. “Saya heran, para emak-emak sudah mengibarkan genderang aksi jalanan, ini malah mahasiswanya diam-diam aja. Yang bayar kalian kuliah kan juga dari emak, kenapa tidak seperti dulu lagi yang mampu bersuara lantang,” tegas Tri.
Sedangkan politisi PPP Lena Maryana Mukti menegaskan bahwa dirinya meyakini mahasiswa tidak bergerak dikarenakan masih percaya dengan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. “Kalau ditanya kenapa mahasiswa tidak turun ke jalan, ya tanyakan saja ke mahasiswanya. Tapi kalau saya pribadi menilai ini karena masih ada trust dari mahasiswa dan masyarakat terhadap Pak Jokowi,” kata Lena.
Ia menjelaskan, untuk menurunkan nilai dolar AS dan sembako memang dibutuhkan kerja sama dari semua kalangan. “Semua harus bersatu. Jangan malah memancing hal kontroversi. Mahasiswa, rakyat, pengusaha, anggota DPR, dan lain-lain berikanlah trust kepada pemerintah,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menilai bahwa saat ini rakyat sudah paham bahwa tidak ada hal yang ditutupi dari pemerintahan Jokowi-JK. “Keterbukaan informasi sudah sangat gamblang. Rakyat sudah tahu mana yang benar dan salah. Dan rakyat juga sudah tahu bahwa pemerintah terus bekerja menekan harga dolar dan sembako. Terbukti sekarang juga sudah menurun menjadi Rp 14.800, dan BBM juga tidak naik meski dolar mahal,” ucap Lena yang juga menjadi juru bicara pasangan capres-cawapres Jokowi-Maruf Amin.
Di tempat berbeda, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo juga mengimbau masyarakat agar tetap tenang serta tidak panik dan percaya bahwa pemerintah tidak tinggal diam atas merosotnya rupiah atas mata uang Dolar AS. “Seperti halnya Turki, Argentina dan hari-hari ini Afrika Selatan yang juga mengalami hal yang sama. Inilah saatnya kita tunjukan kepedulian kita pada negara dan bergandengan tangan untuk mengatasi pelemahan rupiah,” ucapnya.
Politikus Partai Golkar ini pun menegaskan agar tidak ada pihak-pihak yang mengambil kesempatan dalam kesempitan dengan mengambil untung di tengah-tengah kesulitan bangsa. “Pemerintah bersama dunia usaha yang didalamnya juga ada KADIN (Kamar Dagang dan Industri) juga saat ini sedang mencari solusi yang tepat,” ujarnya.
Dirinya juga menjelaskan bahwa DPR saat ini juga meminta Kementerian Keuangan sebagai otoritas fiskal dan BI sebagai otoritas moneter lebih kreatif melancarkan jurus-jurus yang tepat dalam menghadapi pelemahan rupiah.
Misalnya, melakukan akselerasi APBN semaksimal mungkin, karena saat ini APBN merupakan sumber penting dalam memutar ekonomi nasional. Kemudian, kata Bambang, diperlukan kemudahan akses ke institusi keuangan, khususnya perbankan, yakni kebijakan kredit tanpa jaminan harus di perluas untuk sektor-sektor produktif usaha kecil menengah rakyat.
Lalu melakukan perluasan bantuan tunai langsung untuk menyangga daya beli rakyat yang tergerus karena menurunnya penerimaan rumah tangga, sementara harga-harga kebutuhan pokok terus melonjak. Serta mendorong percepatan Proyek-proyek padat karya agar dapat menyerap tenaga kerja di daerah-daerah.
“Terakhir, kami mengimbau agar memberikan insentif atau pengurangan pajak terhadap barang-barang dan produk tertentu agar Indonesia bisa menjadi sorga belanja bagi turis-turis manca negara,” pungkasnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memaparkan pelemahan rupiah hingga level Rp 14.900/dollar AS tidak serta merta disebabkan oleh sentimen global yang kuat. Untuk itu pemerintah berupaya mencari titik lemah dalam negeri supaya bisa mendapatkan solusinya.
“(Sentimen global) memang kuat tapi masalahnya kita tidak bisa cuma jelaskan dari sentimen doang. Jadi harus ada juga yang konkret ya di titik lemah kita, ya itu di transaksi berjalan di neraca perdagangan kita,” kata Darmin di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit USD 3,08 miliar. Penyebabnya adalah impor migas. Sebenarnya kinerja neraca perdagangan non migas mengalami surplus akan tetapi tak dapat menutup defisit migas. Belum lagi transaksi berjalan yang angka defisitnya lebih besar dibandingkan neraca perdagangan.
“Melihat situasi itu tekanan di luar terus berjalan ada yang sifatnya agak cepat, tapi se instan-instannya tak bisa mengimbangi pergerakan harian,” kata Darmin.
Untuk itulah pemerintah bergerak cepat menghadapi situasi ini dengan melaunching mandat B20 ke semua sektor. Meski, diakui Darmin meski B20 sudah bergerak tapi respon pasar juga tak kalah cepatnya. Akan tetapi dengan campuran CPO sebesar 20 persen untuk BBM PSO dan non PSO maka diperkirakan sampai akhir tahun akan ada penghematan impor tiap harinya.
“Seperti apa hasilnya B20 kalau tidak ada hambatannya bisa saja (membantu),” ujarnya.
Diakui Darmin, memang mandatory B20 belum sepenuhnya dapat menyelesaikan defisit neraca perdagangan akan tetapi akan mengurangi beban. Diharapkan adanya B20 maka transaksi berjalan yang tadinya sudah defisit 3 persen pada triwulan II-2018, kemungkinan akhir tahun bisa turun ke 2,7 persen hingga 2,6 persen.
Di sisi Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mereka berupaya mendorong ekspor produk BUMN yang bergerak di bidang industri strategis. Hal itu ditujukan sebagai upaya memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
“Komitmen ekspor tersebut akan tetap kami jaga demi mendukung penguatan Rupiah,” ujar Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno, Jumat (7/9).
Sedangkan BUMN industri strategis yang pada tahun ini berkomitmen mengekspor produknya diantaranya PT Pindad (Persero), PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, PT Industri Kereta Api/INKA (Persero), PT Dirgantara Indonesia (Persero) dan PT Barata Indonesia (Persero). Untuk Pindad memproyeksikan bisa mengekspor produk senjata, amunisi dan kendaraan tempurnya ke Thailand, Brunei, Myanmar, Korea Selatan, Perancis dan mendukung misi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ditargetkan nilai ekspornya bisa mencapai diangka Rp 78 miliar.
Untuk PT INKA sudah memiliki kontrak ekspor kereta dengan Filipina dan Bangladesh dengan nilai masing-masing mencapai Rp 1,36 triliun dan Rp 126 miliar. Dan untuk PT Krakatau Steel menargetkan ekspor baja hot rolled coil ke Malaysia dan Australia akan mencapai Rp 907 Miliar pada 2018. Sementara itu Barata Indonesia yang akan mengekspor komponen perkeretaapian ke Amerika, Afrika dan Australia dengan target nilai mencapai Rp 210 miliar.
“Ada pula PT Dirgantara Indonesia yang berkomitmen ekspor pesawat terbang jenis NC212i ke Filipina dengan nilai PHP 813 juta dan CN235 ke Vietnam dengan nilai USD 18 juta,” tambahnya.
Di bagian lain, pengusaha menyatakan depresiasi nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Depresiasi ini hanya perlu diantisipasi agar tidak merugikan dunia usaha.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional, Shinta Widjaja Kamdani menyebutkan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang terjadi saat ini tidak sama dengan saat krisis moneter 1998. Sehingga pengusaha tidak terlalu khawatir akan hal ini.
“Ini bukan krisis yang sama seperti 1998. Jadi mungkin kita tidak perlu khawatir seperti itu,” kata Shinta Widjaja.
Saat ini para pelaku usaha juga telah mengantisipai terkait pelemahan nilai tukar rupiah. Salah satunya dengan efisiensi. ” Tapi efisiensi itu pasti akan ada pengaruhnya. Ada yang mengatakan pengetatan ikat pinggang, jelas ada,” tegasnya.
Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden Denni Puspa Purbasari menambahkan, Indonesia memiliki pengalaman sebagai negara yang pernah mengalami krisis-krisis sebelumnya.
Sementara itu, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berdampak pada subsidi listrik. Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) memperkiraan tambahan subsidi tersebut bisa mencapai Rp 30 triliun. Ketua MKI, Supangkat Iwan Santoso, menuturkan sebagian besar komponen listrik masih dinilai dengan dolar AS. Mulai dari bahan bakarnya seperti batu bara dan gas hingga investasi pembangunan pembangkitnya.
”Kita membangun pembangkit itu kan 60-70 persen komponennya (dibayar pakai) dolar, kira-kira ya. Berarti kita depresiasinya dolar. Kalau dolar naik, naik dia. Itu bagian dari costnya listrik,” ujar Supangkat usai bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kemarin (7/9).
Supangkat menuturkan memang penyediaan batu bara sudah menggunakan skema Domestic Market Obligation (DMO) atau kewajiban memasok kebutuhan dalam negeri. Sehingga tidak terlalu terpengaruh. Tapi berbeda dengan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) yang bisa langsung terdampak pelemahan rupiah. Misalnya
”Harga listriknya 5 sen atau Rp 650, katakanlah gitu ya, perKwh. Karena dolar 5 sen kalau tadinya katakan Rp 600 sekarang jadi Rp 700,” ujarnya.
Sedangkan harga listrik yang diterima pelanggan tetap. Nah, biaya tersebut pun ditutup dengan subsidi. Dia memperkirakan jumlah subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah puluhan triliun. ”Cukup besar mungkin sampai Rp 30 triliun,” terang dia.
Sedangkan tentang pembangunan pembangkit listrik, Supangkat menuturkan pihaknya juga mempertimbangkan rasio kecukupan kebutuhan tenaga listrik. Yang dijadikan patokan adalah surplus 30 persen. Selain itu pembangunan pembangkit sebenarnya juga butuh waktu yang cukup lama. Bisa sampai empat tahun untuk membangun pembangkit tersebut.
”Kalau ini ditunda terus dibutuhkan nanti defisit. Harus hati-hati disana,” ungkap dia.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi belanja subsidi hingga Juli telah mencapai Rp 91,26 triliun atau 58,41 persen dari pagu alokasi APBN 2018. Jumlah tersebut terdiri atas subsidi energi Rp 71,01 triliun dan subsidi non energi Rp 20,25 triliun.
Lebih tingginya realisasi belanja subsidi sampai dengan Juli tersebut dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan nilai tukar rupiah (kurs). Selain itu juga untuk pembayaran sebagian kurang bayar belanja subsidi tahun-tahun sebelumnya.
Pada Juni, realisasi subsidi mencapai Rp 73,94 triliun terdiri atas subsidi BBM Rp35,41 triliun, subsidi listrik Rp 24,10 triliun dan subsidi non energi Rp14,43 triliun.
Laporan: Andi Ridwansyah, JPG
Editor: Arman Hairiadi