eQuator – Setahun terakhir, Nurhasanah hidup tertekan lantaran hamper tiada hari tanpa disiksa abang kandungnya, BL, 34, yang diketahui suka mabok dan diduga pemakai drug.
Achmad Mundzirin, Kota Pontianak
Padahal, sejak kecil mereka hidup serumah peninggalan kakeknya. “Saya tersiksa, hanya bisa menangis,” ungkap Nurhasanah, 28, di Mapolresta Pontianak, Rabu (26/11). Hidup serumah di Gang Abadi, Jalan KH.Ahmad Dahlan, Pontianak Kota, ia diperlakukan seperti pembantu. Yang parah adalah penyiksaan yang kerap di luar batas itulah hingga akhirnya dia lapor polisi karena sudah tak tahan lagi.
Puncaknya pada Selasa (24/11) sekitar pukul 20.00. BL yang duda cerai beranak satu itu pulang dalam keadaan mabuk berat. Begitu dibukakan pintu, tanpa ba bi bu tangannya melayang ke wajah Nurhasanah. Berkali-kali wajah adiknya itu dipukuli hingga memar lebam biru dan membengkak. Tak puas, dada sang adik diterajangnya hingga terjengkang.
Jatuh di hadapannya bukan iba didapat, BL malah menendang dada adiknya itu lagi. Akibatnya sudah dipastikan, darah segar muncrat dari mulutnya. Syukurlah, malam itu Bibinya datang hingga BL lari meninggalkan Nurhasanah dalam kondisi berdarah-darah.
“Sebenarnya saya tak mau melaporkan abang ke polisi, bagaimana pun dia adalah saudara sendiri,” ungkapnya dengan berurai air mata. Penyiksaan itu dirasakannya bagaikan makanan sehari-hari. Terutama jika tidak membukakan pintu kalau pulang kemalaman atau tidak memberikan uang.
Nurhasanah merasakan, penyiksaan setahun belakangan setelah BL bercerai dengan istrinya. Ia tidak tahu apa yang membuat saudara kandungnya tega menganiayanya. “Terlalu kejam, sejak abang terpengaruh minuman keras,” ujar Nurhasanah yang bahkan mendug kalau abangnya itu juga mengonsumsi obat-obatan terlarang.
Pernah Nurhasanah coba melakukan perlawanan. Tapi apalah daya perempuan seperti dirinya berhadapan dengan lelaki yang kehilangan pikiran waras. Ia malah jadi bulan-bulanan bogem mentah dan tending terajang.
Dari minggu ke bulan hingga hitungan tahun, Nurhasanah berharap abangnya berubah, tidak menyakitinya sepeninggalan kedua orangtuanya. Bl selaku abangnya diharapkan dapat menjaga dan melindunginya.
Tapi akhirnya kesabaran dan sakit ada batasnya. Kejadian tadi malam itu tidak bisa ditoleransi dan tak ingin terulang lagi dialaminya. Nurhasanah bersama bibi dan pamannya bergegas ke Mapolresta Potianak melaporkan kejadiannya. Ia langsung divisum dan diambil keterangan oleh penyidik atas penganiayaan yang di luar batas kemanusiaan.
“Satu tahun ini saya merasakannya. Saya dipukuli, ditendang. Bahkan pernah mau ditikam pakai pisau atau gunting,” ungkap Nurhasanah ketika ditemui di Mapolresta, Rabu (25/11). “Kalau saya biarkan lagi (tidak lapor polisi,red), bisa habis nyawa saya dibuatnya,” keluh Nurhasanah kepada wartawan.
Dirinya berharap dengan melaporkan abangnya itu ke polisi dapat membuat abangnya sadar dan tidak semena-mena kepada siapapun. Terlebih kepada anggota keluarga.
“Saya sedih kenapa bisa seperti ini. Saya laporkan, agar ada efek jera. Dan dia harus bertanggung jawab secara hukum atas apa yang dibuatnya kepada saya adiknya ini,” harap Nurhasanah sambil menyeka air mata menuruni pipinya yang lebam.
Sejumlah anggota Sat Reskrim Polresta Pontianak langsung merespon laporan Nurhasanah. Anggota polisi langsung memburu BL yang ternyata sadar akan ditangkap langsung kabur dari tempatnya nongkrong.
Nasib buruk dan penderitaan Nurhasanah yang berkepanjangan membuat paman beserta bibinya itu sangat iba. Merasa kasihan terpaksa setiap malam menjaga ponakannya itu. “Kasihan adiknya ini. Ia dipukul terus-terusan. Tapi masih sabar. Tadi malam itu sudah keterlaluan. Sampai berdarah-darah adiknya dibuatnya,” geram Yanto, sang paman Nurhasanah dan BL.
Yanto mengakui dan jujur bahwa tidak ada orang yang ingin menjebloskan anggota keluarga ke dalam penjara. Namun yang dialami oleh keponakannya itu sudah tidak bisa ditolerir lagi. ”Sudah sering, terlalu sering. Wajar jika dilaporkan ke polisi. Mudah-mudahan dia (BL,red) sadar,” harapnya.*
Editor: Hamka Saptono