eQuator.co.id – Masyarakat Desa Batu Ampar, Kecamatan Batu Ampar, Kubu Raya, tak hanya memanfaatkan batang bakau untuk diproduksi menjadi arang. Pemanfaatan hutan mangrove nonkayu pun tengah digeluti mereka.
Ocsya Ade CP, Batu Ampar
Abdul Hadi, warga Dusun Sungai Limau, Desa Batu Ampar, tampak tak kuasa lagi mencari sesuap nasi dengan membuat arang. Ketika ditemui, peluh sebesar butiran jagung salah seorang pemilik tungku arang berusia 55 tahun itu memadati bagian wajahnya.
“Kalau ada kerja lain, tak mau saya kerja begini,” ujar Abdul sambil memasukkan kayu bakar ke bibir tungku, di kediamannya, Jumat (3/6).
Ia berpanas-berpanas di depan tungku arang sejak 30 tahun silam. Meneruskan usaha orangtuanya, Abdul dibantu seorang pekerja.
“Banyak risiko sebenarnya menjalankan usaha ini. Ada yang meninggal dunia ditimpa pohon bakau, ada kaki yang kena chainsaw (gergaji/mesin potong, red). Sudah tak terhitung jumlahnya,” beber dia.
Tapi apa hendak dikata, risiko itu tak seberapa dibanding kewajiban menafkahi keluarganya. Pun tak seimbang dengan penghasilannya. Hitung saja, sekali proses pembuatan arang, yang memakan waktu kurang lebih 40 hari, menghasilkan empat sampai lima ton. Satu kilogramnya dijual Rp1.900.
“Kata orang saja yang untungnya besar. Tapi kalau dirincikan pendapatan kami sebulan bersihnya tidak lebih dari Rp1,2 juta saja,” ungkap Abdul.
Proses pembuatan arang memang memerlukan waktu cukup lama. Ia bercerita, dimulai dari mencari pekerja penebang pohon untuk mendapatkan bahan bakunya. Kemudian perlu 25 hari proses pembakaran batang bakau. Setelah menjadi arang tidak bisa langsung diambil. Arang di dalam tungku itu mesti didinginkan hingga 15 hari lamanya.
Belum lagi pembuatan tungku yang butuh modal dan proses lumayan panjang. Jika dikerjakan sebanyak sepuluh orang secara kontinyu, satu tungku dengan bahan dasar tanah merah pergunungan dapat selesai 40 hari. Ukurannya bervariasi, 4 hingga 5 ton arang jadi.
“Bisa dibayangkan betapa sulitnya. Makanya, jika ada pilihan lain, sudah kami tinggalkan pekerjaan ini,” tuturnya. Awalnya, Abdul hanya punya 80-an tungku. Kini, hampir 400 tungku dimilikinya.
Ia dan rekan-rekannya yang memiliki pekerjaan serupa menyadari aktivitas turun temurun itu telah merusak hutan mangrove. Jumlah batang-batang bakau di sana merosot drastis. Tapi, apa boleh buat, dapur tetap harus berasap.
“Kami harus bekerja memanfaatkan batang bakau untuk arang sebelum ada pekerjaan lain sebagai penggantinya,” tegas Abdul.
Sebenarnya, Abdul dan masyarakat Desa Batu Ampar menyadari penebangan pohon bakau merusak ekosistem di sana. Belakangan, usaha sampingan mulai dilirik. Yaitu pemanfaatan hasil hutan mangrove nonkayu yang didapat dari pelatihan oleh lembaga sosial.
Madu hutan mulai dibudidayakan, tepatnya menjaga kelangsungan sarang lebah. Kemudian, buah bakau diolah jadi tepung, buah nyirih diproses jadi bedak, buah nipah diubah bentuknya jadi dodol dan sirup. Semua dijalankan termasuk pembuatan kerupuk udang dan kepiting dengan bahan baku satwa setempat.
Ketua Kelompok Tani Madu Desa Batu Ampar, Suheri, mengungkapkan budidaya madu hutan masih sebatas percobaan. Belum begitu signifikan hasilnya.
“Sebelum pelatihan, kita mengambil madunya dengan menghancurkan sarangnya. Sekarang, ada sistem pengambilan madu tanpa merusak sarang lebahnya sehingga lebah bisa kembali seminggu kemudian dan menghasilkan madu kembali,” tuturnya.
Praktik menjaga sumber madu ini diplot menggunakan lahan seluas 5 hektar. “Jika nantinya ini sukses, maka akan kita perluas. Tentunya modal awal, keberadaan hutan ini terjaga. Tanpa adanya hutan, mustahil bisa mendapatkan pemanfaatan hutan melalui cara apapun,” ujar Suheri.
Begitu juga dengan pengolahan sirup mangrove. Bahan utama sirup serba alami. “Buah nipah yang masih muda diblender dan dicampur dengan buah berembang dan nanas. Kami pakai gula, tanpa pemanis buatan. Tiga bahan utama itu sudah memiliki warna,” terang Nur Ana dari PKK Desa Batu Ampar.
Pemasaran pertama sirup mangrove dilakukan di acara MTQ Kubu Raya belum lama ini. Dijual seharga Rp18 ribu. “Kami sepakat jual di bawah pasaran sirup yang ada,” tutur Ana.
Di sisi lain, semua upaya dan kesadaran untuk melestarikan hutan mangrove itu tak akan berhasil tanpa dukungan pemerintah. Sekretaris Desa Batu Ampar, Abdul Gani menyatakan, pemerintah harus lebih fokus mengawasi perusahaan yang kerap melakukan eksploitasi bakau skala besar.
“Jika dibandingkan, penebangan yang dilakukan masyarakat skalanya sangat kecil sekali,” ujarnya.
Gani mengatakan, sebelum terlambat, pemerintah harus menggencarkan program percepatan perhutanan sosial. Skemanya melalui Hutan Kemasyarakat (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), hutan ada, dan hutan kemitraan.
Karena itulah, Gani meminta pemerintah merealisasikan hutan sosial di Batu Ampar yang telah diajukan aparatur desa dan masyarakat yang tergabung dalam Lembaga Perlindungan Hutan Desa (LPHD). Hutan desa tersebut diajukan seluas 30 ribu hektar.
“Masyarakat ini mencari batang bakau hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Penebangan dilakukan secara manual. Cuma karena sejak perusahaan investor masuk, mereka menggunakan alat-alat modern. Masyarakat jadinya ngikut,” terang dia.
Makanya, Gani menekankan, sebelum ada alternatif pekerjaan lain bagi masyarakat Batu Ampar, sebaiknya jangan dilarang menebang pohon bakau tersebut. Pilihannya memang berat. Antara kelaparan atau kelangsungan ekosistem, sebuah warisan bagi anak-cucu mereka. (*/selesai)