eQuator.co.id – Sulitkah masuk ke Korea Utara? Pertanyaan tersebut sering dilontarkan para traveler. Ternyata, sekadar berwisata ke negeri komunis yang serba tertutup itu tidaklah rumit.
Tomy C. Gutomo, Pyongyang
SEJAK semula saya sudah yakin bahwa bukan tidak mungkin berkunjung ke Democratic People’s Republic of Korea (DPRK), sebutan resmi Korea Utara. Sama dengan ketika saya berhasil masuk ke Myanmar pada 2007 dan 2010, saat negara itu masih menutup diri dan belum bebas visa.
Dari berbagai informasi yang saya dapatkan, ada beberapa tour and travel yang menyediakan paket wisata ke Korea Utara (Korut). Ada banyak event menarik di negara yang sedang dikecam negara Barat dan sekutunya karena ditengarai melakukan uji coba nuklir itu.
Bulan yang paling pas untuk mengunjungi Korut adalah April. Ada banyak event di bulan tersebut. Di antaranya, Pyongyang Marathon, ulang tahun Bapak Bangsa Korut Kim Il-sung, dan The 30th April Spring Friendship Art Festival. Selain itu, April adalah musim semi. Saat itulah Korut tidak terlalu dingin, tapi juga tidak panas.
Event Pyongyang Marathon 10 April 2016 akhirnya menjadi pilihan saya. Pertimbangannya, dengan menjadi peserta lari, saya tidak butuh banyak alasan untuk masuk ke negara itu. Selain hobi berlari, saya menggawangi halaman Running and Fitness di Jawa Pos.
Ada sejumlah tour and travel resmi yang ditunjuk pemerintah Korut untuk melayani perjalanan wisata. Seluruhnya berpusat di Tiongkok. Dan memang saat ini satu-satunya pintu menuju Korut adalah Tiongkok. Baik dengan pesawat terbang maupun kereta api. Jangan bermimpi bisa masuk ke Korut melalui Korea Selatan. Impossible.
Saya memutuskan untuk memilih salah satu tour and travel yang memang sudah punya banyak pengalaman membawa turis ke Korut. Harga yang ditawarkan untuk mengikuti wisata ke Korut cukup masuk akal. Yakni, EUR 1.100 (sekitar Rp 16,4 juta) untuk empat hari tiga malam. Itu belum termasuk biaya mengikuti race Pyongyang Marathon senilai EUR 45 (10k) (Rp 670.500).
Ditawarkan juga pilihan pulang menggunakan kereta api melalui Sinuju dengan menambah biaya EUR 210 (Rp 2.130.000). Peserta tur harus memiliki asuransi perjalanan dan kesehatan yang meng-cover hingga Korut.
Ada lagi satu syarat bagi warga non-Tiongkok. Yakni, harus memiliki visa Tiongkok double entry. Sebab, peserta tur masuk dan keluar dari Korut melalui Tiongkok. Untuk visa ke Korut, yang mengurus adalah pihak biro perjalanan. Peserta tur tinggal mengirim pas foto terbaru.
Paket yang saya pilih itu berangkat dari Beijing pada 8 April 2016 dengan menggunakan pesawat terbang. Saya menginap tiga malam di Pyongyang dan pulang pada 11 April 2016. Karena pulang menggunakan kereta api dan singgah satu malam di kota perbatasan Sinuju, saya baru menginjakkan kaki lagi di Beijing pada 13 April 2016.
Awalnya saya ragu apakah bisa memotret di Korut. Banyak informasi yang mengatakan bahwa turis dilarang membawa kamera. Namun, pihak tour and travel meyakinkan saya bahwa kamera, HP, dan laptop memungkinkan untuk dibawa. Dengan catatan, lolos dari pemeriksaan di imigrasi bandara internasional Pyongyang. Kalau gagal, berarti barang-barang itu harus ditinggal di bandara dan akan dikembalikan saat saya pulang.
Satu catatan mereka, lensa kamera tidak boleh lebih dari 200 mm. Dengan terpaksa, saya meninggalkan lensa wide 18-200 mm pinjaman dari kantor di rumah dan menggantinya dengan lensa kit 18-55 mm.
Pertengahan Maret, pihak travel mengirim e-mail, mengabarkan bahwa visa Korut saya sudah keluar. Itu berarti, saya bisa mengikuti tur. Artinya, saya harus segera melunasi pembayaran paket tur.
Pada 6 April saya sudah mendarat di Beijing. Sebab, pada 7 April semua peserta tur harus mengikuti brifing di kota itu. Brifingnya seputar peraturan yang harus ditaati bagi wisatawan yang akan ke korut dan pembagian kelompok. ’’Ada 600 peserta tur yang ikut di biro perjalanan kami,’’ kata Josh Green, tour leader saya.
Tentu tidak berangkat bersamaan. Dibagi dalam beberapa kloter. Ada yang berangkat 8 April. Sisanya berangkat 9 April. Ada juga yang berangkat dari Shanghai. Pulangnya juga tidak bersamaan.
Hari yang bersejarah bagi saya akhirnya tiba. Pada 8 April 2016 pukul 10.00 kami sudah harus berkumpul di terminal 2 Beijing Capital International Airport. Josh Green kemudian membagikan selembar kertas seukuran dua halaman paspor yang ternyata adalah visa Korut.
Ya, visa Korut memang tidak ditempel di paspor seperti visa-visa dari negara lain pada umumnya. Visa itu harus dikembalikan saat kami meninggalkan Korut. Tidak ada stempel atau jejak lain di paspor yang menunjukkan kami pernah ke Korut. Entah apa alasannya. Tapi, itulah kebijakan pemerintahan Kim Jong-un.
Kami terbang dengan pesawat Air Koryo milik Korut. Namun, ground handling di Beijing dioperasikan Air China. Makanya, di boarding pass kami tertera Air China, bukan Air Koryo. Proses check-in biasa saja, seperti pada umumnya.
Air Koryo mengoperasikan pesawat Tupolev buatan Rusia tipe Tu-204-100 yang berkapasitas 210 penumpang. Maskapai itu terbang sekali setiap hari dari Beijing ke Pyongyang. Hebatnya, dalam kondisi apa pun, seperti cuaca buruk, Air Koryo tetap akan terbang. Ada dua pilihan penerbangan dari Beijing, yakni Air Koryo dan Air China. Namun, Air China hanya terbang seminggu tiga kali ke Pyongyang.
Pukul 12.00 waktu Beijing pesawat take off. On time! Setelah take off dengan sukses, kami dihibur tayangan girlband di layar televisi pesawat. ”Ini Mo Ran Bong Band. Girlband kebanggaan kami,” kata salah seorang pramugari yang saya tanyai. Dua jam perjalanan, kami tidak memiliki pilihan hiburan lain selain girlband dengan baju seragam militer menyanyikan lagu-lagu berbahasa Korea itu.
Menu khas maskapai ini adalah beef hamburger. Mudah-mudahan benar-benar sapi. Saya tidak terlalu yakin. Dan pilihan minumannya adalah apple juice, peach juice, air putih, kopi, dan teh. Tepat dua jam perjalanan, pesawat Air Koryo mendarat di Pyongyang International Airport. Akhirnya saya benar-benar mendarat di Korea Utara. (*/JAWA POS/JPG)