eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Euforia pergerakan mahasiswa menunjukkan mereka masih peduli terhadap isu-isu yang mengundang ketidakpuasan. Kontroversi ini juga terjadi kalangan mahasiswa di Kalimantan Barat. Di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak.
Banner bertuliskan berbagai macam aksi protes terhadap upaya membungkam pergerakan mahasiswa tertempel rapi di berbagai sudut kampus. Banner itu diteken Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
“Banner cuma cara untuk menjadi alasan dan menjadi wadah teman-teman Fisip yang mau ke jalan. Dengan banner-banner yang disebar diharapkan kawan-kawan yang merindukan masa jaya mahasiswa dapat terobati,” ungkap Ketua BEM Fisip Untan, Panji Kurniaji, kemarin (24/9).
Banner tersebut juga dapat dijadikan sebagai pengobar rasa semangat mahasiswa Fisip. Tujuan utama banner itu ditempel sebagai bentuk peringatan kepada oknum pihak kampus yang saat ini mencoba mematikan pergerakan mahasiswa dengan statement yang tidak membangun.
“Gerakan mahasiswa jangan dimatikan oleh statement-statement yang tidak membangun seperti itu,” tegasnya.
Panji menegaskan BEM bersama seluruh mahasiswa Fisip Untan tidak akan menanggapi lebih lanjut, apabila masih ada oknum dosen yang akan memboikot gerakan mereka. “Pada intinya kami meminta jangan halangi kebebasan berekpresi mahasiswa sebagai mana mestinya. Semangat lebih membara dari pada amarah pihak kampus,” tukasnya.
Sementara itu, Mahasiswa Fisip Untan, Angger Endro Prasetyo, menuturkan sebagai fakultas yang bergerak didalam bidang ilmu sosial dan ilmu politik sudah seharusnya lebih mendukung pergerakan yang membela masyarakat. “Kita sebagai mahasiswa fakultas ilmu sosial dan ilmu politik tidak seharusnya kontra dengan pergerakan yang membawa suara rakyat. Karena kita sebagai mahasiswa harus lebih menyuarakan suara rakyat,” ujar Angger.
Ia mengatakan jika masih ada oknum dosen yang mencoba membungkam pergerakan mahasiswa, hal itu menunjukkan bahwa mereka sudah lupa pernah menjadi mahasiswa yang membela dan memperjuangkan suara rakyat. “Jadi untuk bapak dan ibu dosen yang terhomat jangan membungkam suara mahasiswa karena suara mahasiswa adalah suara rakyat,” sindirnya.
Melihat keadaan saat ini, Angger juga menuturkan sikap apatis tidak seharusnya tertanam pada diri mahasiswa. Karena jika sikap apatis tertindas maka rakyat akan ditindas dengan RUU KUHP yang akan menyengsarakan rakyat.
“Jadi kita harus memilih jalan menolak dan melawan itu dengan cara tidak apatis,” tandas ia.
DPR Tunda Pengesahan RUU Pemasyarakatan dan RKUHP
Sementara itu, DPR RI akhirnya menyerah untuk sementara. Mereka menunda pengesahan dua rancangan undang-undang (RUU) Pemasyarakatan dan RUU KUHP. Dewan dan pemerintah akan melakukan kajian dan menyosialisasikan peraturan baru yang kontroversial itu. Pengesangan peraturan itu hanya ditunda, bukan dibatalkan.
Penundaan pengesahaan peraturan perundang-undangan itu disampaikan dalam rapat paripurna DPR di Gedung Nusantara I kemarin (24/9). Khususnya, RUU Pemasyarakatan. Dalam jadwal rapat paripurna, RUU itu dicantumkan sebagai salah satu aturan yang akan disahkan.
“Namun, sebelumnya DPR menerima surat dari Menteri Hukum dan HAM pada 24 September perihal penundaan. Kami juga dengar pernyataan terkiat permintaan penundaan,” terang Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah saat memimpin rapat kemarin.
Fahri pun mengusulkan agar dilakukan lobi antara DPR dan pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna H Laoly. Rapat yang dihadiri 288 anggota itu pun diskors selama 15 menit untuk melakukan lobi-lobi. Pimpinan DPR, para ketua fraksi, dan pimpinan Komisi III mengadakan rapat lobi dengan pemerintah di ruangan yang berada di belakang ruang paripurna.
Tidak sampai 15 menit, rapat lobi pun selesai. Mereka kembali ke ruang paripurna. Fahri mengatakan, dalam rapat lobi, pihaknya mendengarkan penjelasan dari pemerintah soal perlunya penundaan pengesahan RUU Pemasyarakatan. “Kami menyetujui penundaan dalam rapat lobi,” papar dia.
Namun, kata dia, walaupun pengesahan RUU ditunda, pihaknya memberikan kesempatan kepada panitia kerja (Panja) Komisi III RUU Pemasyarakatan untuk menyampaikan poin-poin penting peraturan tersebut.
Ketua Panja RUU Pemasyarakatan Erma Suryani Ranik mengatakan, RUU itu terdiri dari 11 bab dan 99 pasal. “RUU ini sudah disepakati di tingkat I,” tutur dia saat menyampaikan laporannya.
Selama ini, masih banyak permasalahan lembaga pemasyarakatan (Lapas). Menurut dia, peraturan itu tidak hanya mengatur pemidanaan, tapi juga pembinaan, agar ketika mereka keluar bisa bergaul dengan masyarakat dan mentaati hukum.
Permasalahan yang terjadi di Lapas, yaitu soal sarana prasarana dan maraknya peredaran narkoba. Banyak lapas yang kelebihan kapasitas. Lapas di DKI Jakarta, kata dia, kelebihan kapasitas sampai 260 persen. Selain itu, peredaran narkoba juga sangat marak.
“UU Pemasyarakatan sekarang tidak bisa mengatasi perkembangan zaman,” ungkapnya.
RUU itu berisikan sekitar 11 poin penting. Mulai penguatan sistem pemasyarakatan dalam peradilan pidana terpadu sampai sistem pengawasan pemasyarakatan.
Setelah pemaparan dari panja RUU Pemasyarakatan, Fahri pun meminta persetujuan untuk penundaan pengesahan. Semua anggota yang hadir pun setuju dengan penundaan. “RUU ini sudah melalui perjalanan panjang dan berliku,” ungkap politikus asal Sumbawa, NTB itu.
Menteri Yasonna mengatakan, penundaan pengesahaan itu sebenarnya sudah dibahas antar DPR dengan presiden. Menurut dia, pemerintah berharap RUU itu bisa di-carry over, dilanjutkan pada periode DPR berikutnya. Dengan cara itu, pemerintah dan DPR bisa menjelaskan kepada publik isi dari peraturan baru itu. Yang pasti, ucap dia, tidak ada napi yang jalan-jalan di mal. “Itu kan sudah kebablasan,” tegas dia saat ditemui usai rapat paripurna kemarin.
Di sisi lain, eskalasi demonstrasi mahasiswa yang kian meluas mendapat respon DPR. Ketua DPR Bambang Soesatyo menyampaikan pihaknya telah memenuhi tuntutan mahasiswa. Yaitu menunda pengesahan RUU KUHP dan RUU PAS dalam rapat paripurna kemarin.
“Aspirasi adik-adik mahasiswa, yaitu menunda RUU KUHP dan RUU PAS sudah kami kabulkan,” kata Bambang Soesatyo seusai rapat paripurna, kemarin.
Sampai kapan dilakukan penundaan? Bamsoet tidak menjawab secara lugas. Disampaikan, penundaan pengesahan dua RUU tersebut belum bisa dipastikan. Apakah pembahasan dilanjutkan DPR periode berikutnya atau tetap disahkan dalam periode ini. Sebab DPR masih akan mengagendakan sidang paripurna pada 26 dan 30 September.
“Saya katakan sampai waktu yang tidak terhingga,” ucapnya.
Dia pun meminta mahasiswa untuk tidak terus-terusan melanjutkan aksinya. Dia mengimbau demonstran untuk menyudahi aksinya.
“Saya minta mahasiswa jangan sampai terprovokasi. Jangan sampai terpancing dengan hasutan-hasutan yang tidak benar,” ujar Bambang Soesatyo.
Terpisah, pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie mendesak presiden untuk bersikap tegas terhadap polemik RKUHP. Dia menilai, keputusan presiden untuk menunda pengesahan tidak menyelesaikan persoalan. Sebab, sejatinya yang menjadi tuntutan publik adalah keberadaan pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP tersebut.
“KUHP yang bermasalah itu substansi, bukan prosesnya,” ujarnya saat ditemui Jawa Pos di kantornya, kemarin (24/9).
Oleh karenanya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menyarankan agar presiden menghapus saja pasal-pasal yang dinilai bermasalah dan bertentangan dengan semangat demokratisasi. Dengan demikian, pengesahan RKUHP bisa dilakukan tanpa melukai hati masyarakat. “Kalau ditunda semua, berarti presiden sebetulnya ga bersikap terhadap pasal yang disoalkan,” imbuhnya.
Jimly menilai, pengesahan RKUHP dengan membuang pasal-pasal bermasalah sebagai jalan tengah yang paling tepat untuk di ambil. Di satu sisi, masyarakat tidak merasa dirugikan. Namun di sisi lain, keinginan DPR periode 2014-2019 yang ingin meninggalkan legacy bersejarah pun bisa didapat.
Pasalnya, jika ditunda sepenuhnya, dia pesimis Indonesia bisa memiliki KUHP sendiri dan akan terus menggunakan KUHP Belanda. Hal itu, merujuk dari pengalaman puluhan tahun sebelumnya. Di mana KUHP versi bangsa Indonesia selalu gagal untuk diselesaikan.
“Kalau ditunda ga tau kapan selesai. Ini sudah puluhan kali ditunda. Nanti bisa rumit tim baru lagi. Jadi biarlah membuat sejarah. Ada 700 pasal lebih, mencoret cuma sekitar sepuluh pasal ringan,” kata dia.
Mahasiswa peserta unjuk rasa di gedung DPR/MPR memang makin tak terkendali. Mereka sukses merobohkan pagar pintu masuk gedung parlemen bagian belakang kemarin.
Tak hanya itu, pos pemeriksaan DPR di pintu belakang juga ikut dirusak. Serpihan kaca berserakan akibat terkena lemparan batu. Kusen-kusen jendela bangunan tersebut juga turut rusak.
Aparat TNI-Polri terlihat sudah berjaga mengamankan pintu yang bobol tersebut. Mereka menghalau massa yang masih bertahan di dekat lokasi.
Aksi pengerusakan lainnya pun terjadi di dekat pintu belakang. Area pos polisi di pertigaan dengan kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) turut menjadi sasaran massa.
Mulanya mereka membakar spanduk. Namun, lama kelamaan, pos polisi tersebut ikut terbakar. Selain pos polisi, pintu tol di depan gedung Badan Pemeriksa Keuangan juga ikut jadi korban amukan massa. Aparat masih berusaha memukul mundur massa meninggalkan area DPR/MPR RI.
Aksi demonstrasi memang kembali digelar ribuan mahasiswa dan beberapa elemen masyarakat di depan Gedung DPR/MPR, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (24/9). Mereka menolak RUU KPK dan RKUHP yang sudah disepakati DPR dan pemerintah. Oleh sebab itu, ribuan personel gabungan disiagakan untuk mengawal aksi demonstrasi itu.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Polisi Argo Yuwono menyebut pasukan yang disiagakan untuk aksi demo sekitar 18 ribu. Padahal, pada hari pertama aksi di DPR hanya 5.500 personel. “Personel yang disiagakan 18 ribu,” tutur Argo saat dikonfirmasi.
Aksi ricuh para demonstran di depan Gedung DPR RI itu pun berbuntut panjang. Puluhan mahasiswa yang terlibat kemelut dengan aparat kepolisian dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Dari data yang dihimpun JawaPos.com, hingga pukul 21.00 sudah ada 76 demonstran yang dilarikan ke RSPP. Kebanyakan dari mereka dibawa ke rumah sakit karena terkena gas air mata. Beberapa orang lagi mengalami luka-luka akibat timpukan batu dan hantaman benda tumpul.
Dika, 20, mahasiswa Universitas Budi Luhur menuturkan, kondisi mulai kacau ketika polisi menembakkan gas air mata ke arah para demonstran. Kondisi carut marut itu akhirnya membuat Dika terkena lemparan batu di pipinya hingga memar cukup serius.
“Saya waktu unjuk rasa ada di depan gerbang. Saya langsung lari ke arah TVRI dalam keadaan sesak napas. Yang pingsan juga banyak. Saya kena timpuk di bagian pipi. Di sebelah saya ada mahasiswa UI pelipisnya bocor,” katanya.
Mahasiswa Budi Luhur lainnya, Wahyu, 21, menambahkan bahwa ia terpaksa dilarikan ke IGD RSPP karena tenggorokannya terasa seperti terbakar akibat gas air mata. Hal senada diungkapkan Fahmi, 21, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta.
“Ada ratusan mahasiswa terkena gas air mata sampai tidak bisa napas. Ini di IGD RSPP banyak yang dibawa dari sana (DPR, Red). Gas air matanya ini perih sekali. Di hidung tajam, mata perih dan di kulit juga panas,” keluh Fahmi.
Laporan: Rizka Nanda, Jawa Pos/JPG
Editor: Mohamad iQbaL