Ingin Jadi Nomor Satu, Picu Sebaran Berita Hoax

Perjuangan Menangkal Berita Bohong di Dunia Maya

”Ini hanya salah satu contoh begitu banyaknya berita bohong atau hoax,” ujar Septiaji.

Kegelisahan lelaki kelahiran Wonosobo, 6 September 1978, tersebut terhadap berita hoax begitu besar. Dia melakukan perlawanan sejak 2012. Tidak sendiri. Septiaji menggandeng sejumlah rekan. Pada September 2015 mereka mulai lebih intensif menangkal dan meluruskan berita-berita hoax. Gerakan itu terus berkembang.

Pada 1 Desember 2016 Septiaji meresmikan gerakan Masyarakat Indonesia Anti-Hoax. Gerakan itu kemudian dibuat menjadi lembaga berbadan hukum bernama Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFI). Slogan yang mereka usung bernuansa kekinian, yakni Turn Back Hoax (turnbackhoax.id).

Menjamurnya berita hoax di tanah air tidak lepas dari rendahnya budaya literasi. Hasil pengukuran tingkat literasi dunia pada April 2016, Indonesia berada di urutan ke-60 di antara 61 anggota. Posisi Indonesia hanya lebih baik daripada Botswana, negara kecil di Afrika yang berpenduduk 2,1 juta jiwa.

”Tentu bukan prestasi yang membanggakan,” kata Septiaji.

Tingkat literasi yang rendah itu lantas mendapat gempuran perkembangan teknologi informasi (TI) yang signifikan. Smartphone menjamur. Bukan hanya orang dewasa yang memiliki telepon pintar, tapi juga anak-anak. Tingkat kepemilikan smartphone dan akses ke media sosial di Indonesia menduduki peringkat kelima dunia.

Perpaduan antara literasi yang rendah dan akses ke media sosial yang tinggi menimbulkan dampak yang luar biasa. Orang dengan beragam latar belakang profesi ikut menyebarkan berita hoax. Di sisi lain, upaya untuk  mengklarifikasi sangat rendah. Apa pun berita yang didapat langsung dibagikan (share) ke orang lain.