eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Menurut data yang dimiliki Badan Pusat Statistik (BPS) sekitar 0,5 persen anak sudah menikah. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPPA) menganggap hal ini merupakan kasus yang luar biasa.
“Coba lihat angka kanker serviks. Banyak yang menganggap kalau cuma 0,5 persen jangan dikhawatirkan,” kata Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan Keluarga dan Lingkungan, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Kementerian PPPA Rohika Kurniadi Sari. Masih adanya anak yang menikah menurut Rohika bisa disebut jika Indonesia darurat pernikahan anak.
Menikah muda mempunyai dampak yang tidak baik. Selain melanggar undang-undang perlindungan anak, juga berdapak pada kesehatan anak. Dari sisi psikologis, anak masih dalam masa tumbuh kembang. Sehingga ketika harus menikah dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhannya. Orang tua biasanya sudah tidak akan mengurusi anak ketika sudah menikah, inilah menjadi salah satu gangguan tumbuh kembangnya.
Selain itu, kerena tidak siap secara psikologis maka risiko perceraian pun akan tinggi. Bahkan bisa jadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga rentan pada pernikahan anak.
Dari sisi kesehatan fisik pun, pernikahan anak membawa dampak buruk. Perempuan yang menikah dini menyebabkan risiko kematian ibu dan bayi semakin tinggi. Salah satu alasannya karena rahim belum siap. “Tidak lantas sudah baligh maka bisa dinikahkan. Untuk itu kami sering bilang kepada orang tua “apa anak bapak mau rahimnya rusak?”ungkap Rohika.
Salah satu cara menanggulangi pernikahan anak adalah kuatnya keluarga ini. Menurutnya, keluarga yang kuat merupakan pionir untuk mengurangi angka pernikahan dini. Pemahaman orang tua yang baik dalam memberikan pengasuhan membuat.
Dalam undang-undang perkawinan disebutkan jika usia minimal perempuan menikah adalah 16 tahun. Sementara usia laki-laki setidaknya 19 tahun. Padahal dalam undang-undang, dinyatakan jika usia 18 tahun masih dinyatakan anak. Untuk itu menurut Rohika, Kementerian PPPA tengah berupaya untuk menambah batasan usia menikah. Menurutnya, idealnya adalah 21 tahun.
Namun di lapangan banyak yang melakukan pengajuan dispensasi ke pengadilan agama. Menurut Rohika, seharusnya pengadilan agama juga memiliki fungsi mencegah perkawinan anak. “Hakim pengadilan agama harus mencegah bila mudharatnya lebih banyak daripada manfaat,” katanya. (Jawa Pos/JPG)