eQuator.co.id – Musisi Ian Antono merupakan sosok penting dari perjalanan God Bless. Di usianya yang tak lagi muda, Arek Malang itu kini lebih banyak menyalurkan hasrat bermusiknya untuk kegiatan sosial. Dia pun mengaku ingin pulang kampung, setelah puluhan tahun tinggal di Jakarta.
Umur boleh 55 tahun. Tapi, soal kemampuan memetik gitar melodinya yang khas, barangkali masih belum ada yang bisa menyamai Ian Antono.
Itulah setidaknya kesan yang dapat ditangkap ketika wartawan Radar Malang (Jawa Pos Group) menyaksikan penampilan Ian di acara: Lunch (Love, Unity, and Celebration in Harmony) yang dihelat SMAK St. Albertus Malang (Dempo), Sabtu (6/8).
Saat Ian mulai naik ke panggung acara yang dipusatkan di Ballroom Ijen Suites siang sekitar pukul 14.00 itu, sambutan untuk dia cukup meriah.
Satu persatu tembang lawas dia nyanyikan, diiringi grup band miliknya sendiri. Sambil memetik gitar, mengenakan setelan baju hitam-hitam, dia membawakan empat lagu berturut-turut. Mulai dari Balada Sejuta Wajah, Panggung Sandiwara, Syair Kehidupan, lalu Rumah Kita.
Sedikitnya 450 orang yang hadir di acara itu seperti terbius dengan lantunan suara dan petikan gitar Ian. Tak sedikit yang ikut menyanyi. Ada yang menyanyi dengan suara keras, tapi ada juga yang menyanyi dengan suara rengeng-rengeng (agak pelan).
Ketika lagu keempat, Rumah Kita, dinyanyikan, hampir semua yang hadir berdiri dari tempatnya duduk. Mereka ikut larut dengan lagu ciptaan Ian yang sangat hit kala itu bersama God Bless.
”Lebih baik di sini….rumah kita sendiri….segala nikmat dan anugerah yang kuasa….semuanya ada di sini…..,” reffrain lagu Rumah Kita ini dinyanyikan hingga dua kali oleh Ian.
Diikuti gemuruh suara ratusan undangan yang hadir, yang kebanyakan adalah alumnus Dempo. Mereka kompak nyanyi bareng.
Lewat lagu itu, mungkin Ian ingin menyampaikan pesan kepada para undangan yang hadir di acara tersebut, bahwa Malang adalah rumahnya. Dan dia selalu merindukan rumahnya.
Ian memang Arema asli. ”Saya pernah sekolah di Dempo, angkatan 1969. Tapi saya bukan alumni lho. Karena kelas 2 SMA saya keluar, merantau ke Jakarta untuk meneruskan minat bermusik saya,” kata Ian kepada Radar Malang yang mengajaknya ngobrol di sela-sela menunggu boarding di Bandara Abdulrachman Saleh, Senin pagi lalu (8/8).
Ketika diajak ngobrol masa lalunya, Ian sempat terdiam beberapa saat. Seperti sedang mengingat-ingat peristiwa demi peristiwa yang dia alami di masa lalu.
Mengapa tidak menunggu lulus SMA, lalu merantau ke Jakarta? Dan mengapa yang dipilih Jakarta? Kembali Ian harus terdiam, seperti berusaha mengumpulkan ingatan demi ingatan di masa lalunya.
”Semula, orang tua tidak setuju saya fokus ke musik. Apalagi sampai harus meninggalkan sekolah demi musik. Tapi, waktu itu saya ngotot. Akhirnya orang tua memberi saya dua pilihan: sekolah atau musik. Dan saya memilih musik. Makanya, saya harus ke Jakarta untuk menunjukkan bahwa saya ingin total di musik,” kisah alumni SMP Kolese Santo Yusup Malang ini.
Ian masih sangat ingat, ketika pergi ke Jakarta sekitar tahun 1970, dia hanya bermodal uang yang hanya cukup untuk membeli tiket kereta api. Disertai dengan doa dari orang tua.
Begitu tiba di Jakarta, Ian menjadi pengamen untuk bertahan hidup. Tiga tahun dia lakoni menjadi pengamen dari bus kota ke bus kota lainnya.
”Saat itu saya hampir mau balik lagi ke Malang, karena hidup di Jakarta ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Saya waktu itu benar-benar prihatin, karena harga barang serbamahal di Jakarta,” kata Ian yang menghabiskan masa kecilnya di kawasan Dieng ini.
Nasib Ian berubah saat dia dipilih menjadi drummer band di salah satu grup milik sebuah produsen rokok ternama (Bentoel) di Jakarta. Dari sinilah, lama-lama kehidupan ekonomi Ian mulai membaik. Dia bisa membeli gitar sendiri. Selain itu, Ian juga mendapatkan fasilitas tempat tinggal.
Tiga tahun di bawah naungan perusahaan rokok, Ian lantas dilirik God Bless yang sedang mencari gitaris. Ian yang serbabisa ini, lantas bergabung dengan God Bless sebagai gitaris.
Dari sinilah, Ian lantas ikut terlibat merilis album bersama God Bless. Di antaranya: Huma Di Atas Bukit (1975), Cermin (1980), dan Semut Hitam (1989).
”Saya mulai menulis lagu di album kedua God Bless. Dari sana sudah mulai rutin tiap album pasti ada lagu saya,” ujar anak keempat dari enam bersaudara ini.
Hingga kini, nama Ian tak bisa dilepaskan dari God Bless. Bagi Ian, God Bless yang telah mencapai usia 43 tahun itu merupakan sebuah anugerah. Sebab, dia tidak pernah membayangkan grup band yang mengharumkan namanya itu akan bisa bertahan lama.
”Tujuan pertama ingin main musik. Tidak pernah terbayang sedikitpun akan seperti ini,” ujar putra dari pasangan Darmo Pusoko dan Siti Maryani itu.
Kini, di usia yang lebih dari setengah abad, Ian sedang mempertimbangkan kemungkinan untuk pulang kampung ke Malang.
”Saya pengin tinggal di Malang lagi. Suasana dan makanannya enak. Bisa bernostalgia juga. Di Jakarta sudah sumpek,” ungkap ayah dari 3 anak tersebut.
Selain itu, dia juga ingin lebih fokus pada kegiatan sosial sebagai jalan melengkapi karirnya. Belakangan ini, Ian memang kerap tampil di acara sosial kemanusiaan.
”Dari sisi karir, saya seperti sudah mentok, mau ngapain lagi. Recording sudah sering, bikin lagu juga sering. Makanya, saya ingin menyisihkan waktu untuk sosial saja,” ujarnya.
Terkait penampilannya di acara Lunch Dempo, Ian mengatakan bahwa itu adalah kali pertama dia tampil di depan anak yatim piatu. Selain itu, dia mengungkapkan jika penampilannya di acara tersebut, murni sosial untuk almamater tercinta.
”Kalau tampil di depan korban bencana sudah sering. Lapindo, Tsunami Aceh, dan letusan Merapi. Tapi ini (acara Lunch Dempo) pertama tampil untuk anak yatim,” tandasnya.
Ian menambahkan, sebagai musisi, dia ingin menyumbang dalam bentuk membuat lagu. ”Saya bikin lagu itu sebagai charity dan pencarian dana bagi para korban,” pungkas Ian. (Radar Malang/JPG)
Lizya Oktavia Kristanti, Malang