Hukuman Kebiri Pelaku Pedofil, Mengapa Tidak

KEBIRI. M. Aris, terdakwa kasus pemerkosaan 9 anak di bawah umur, di Lapas Mojokerto, Senin (26/8). RADAR MOJOKERTO PHOTO

eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Kejahatan seksual terhadap anak bawah umur kian meningkat. Efek jera dimungkinkan bila hakim memvonis kebiri bagi pelaku, seperti putusan di Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto.

Namun, sanksi hukum kebiri terhadap pelaku masih memunculkan pro-kontra. Tak hanya di kalangan masyarakat, juga di kalangan aparat penegak hukum. Penyebabnya beragam, selain belum ada petunjuk teknis pelaksanaan, hingga penolakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai esksekutor.

Lalu siapa sebenarnya pihak yang berhak melakukan eksekusi kasus kebiri?

Padahal, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto juga telah menjatuhkan vonis kebiri kimia kepada M. Aris, terpidana yang memperkosa sembilan anak di bawah umur dengan disertai kekerasan. Hukuman tersebut diberikan dengan pertimbangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 yang mengatur tentang hukuman kebiri.

Bagaimana dengan PN Pontianak?

Menyikapi itu, Humas Pengadilan Negeri (PN) Pontianak, Maryono, mengungkapkan hingga saat ini PN Pontianak belum pernah menjatuhkan hukuman kebiri terhadap pelaku pedofil. “Sampai saat ini untuk mengarah vonis pidana kebiri belum ada. Namun putusan sampai 12 tahun penjara karena korbannya juga anak-anak,” kata Maryono menjawab Rakyat Kalbar, Rabu, (28/8) siang.

Walaupun belum, lanjut dia, bukan berarti hukuman kebiri tidak mungkin diberikan terhadap pelaku pedofil oleh Hakim PN Pontianak. Jika nantinya ditemukan kasus kejahatan seksual yang dinilai sadis.

“Jika memang ada kasus tertentu, yang hakim menilai itu sadis sekali, mungkin dapat dipertimbangkan ke arah sana (kebiri,red), tergantung juga Penuntut Umum bagaimana menuntutnya,” ujarnya.

Salah satu contoh, ia menjelaskan,  putusan di PN Mojokerto. Dalam putusan tersebut hakim memberi hukuman kebiri kimia terhadap pelaku pedofil yang dinilai serius.

“Kalau tidak salah pelakunya memperkosa lebih dari lima anak di bawah umur. Itu kan menjadi traumatis terhadap korban selama hidupnya. Bahkan tidak hanya dirinya, mungkin juga keluarganya,” tutur Maryono.

Namun, hingga saat ini, putusan hukum kebiri masih menuai pro dan kontra di masyarakat. Bagi yang setuju, itu dianggap dapat memberikan efek jera. Meski hukuman kebiri juga belum tentu menjadikan efek jera calon pelakunya.

Sejatinya, aturan tentang pemberian sanksi hukuman kebiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 tahun 2016. Hanya saja, yang menjadi kendala saat ini, belum adanya petunjuk operasional secara teknis dari Kejaksaan selaku eksekutor.

Dalam pelaksanaannya juga akan melibatkan dokter. Sehingga, kata dia, perlu dipastikan apakah dokter bersedia atau tidak. Sanksi hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak dilakukan dengan cara disuntik kimia.

“Berlakunya sekitar tiga sampai empat tahun. Tujuannya agar hasrat seksualnya tidak ada,” timpal Maryono.

Selain dikebiri, pelaku pedofil tetap mendapatkan sanksi hukuman penjara. “Dia ada pindana penjaranya. Selama berapa tahun dia dikebiri. Kemudian ada dendanya. Penggantinya juga pidana kurungan,” jelas Maryono.

Dengan belum adanya satu kata pada penegak hukum dan masyarakat perihal hokum kebiri, setakat ini PN Pontianak belum bisa menyatukan persepsi mengenai vonis dan  pelaksanaan hukuman kebiri.

Bahkan di internal PN Pontianak pun, belum pernah ada diskusi tentang hal itu. “Sehingga kita belum bisa megatakan kita setuju atau tidak. Namun aturannya telah ada,” terangnya.

Jika melihat dari kejahatan, sadismenya memang terbayang. Namun di sisi lain, yakni kemanusiannya mungkin masih dipertimbangkan. “Kalau dilihat kondisi kasus-kasusnya seperti itu,” tukas Maryono.

Ia menilai, diskusi dengan pihak-pihak terkait perlu dilakukan segera guna menyikapi hal tersebut. Sebab bukti putusan sudah ada, seperti yang diputuskan Pengadilan Negeri Mojokerto.

“Hanya saja petunjuk operasional secara teknis belum ada. Sehingga perlu perpanjangan persepsinya bagaimana?” paparnya.

Jika nantinya hakim dan penuntut umum juga sudah bisa fix memberikan hukuman kebiri, tentunya tinggal diatur teknisnya saja seperti apa. “Bagaimana teknisnya. Yang melibatkan dokter dan Kejaksaan Agung dalam rapat apa, harus diwujudkan teknisnya bagaimana,” jelas Maryono.

Ditegaskannya, kasus kejahatan seksual dengan korban anak telah dianggap menjadi kejahatan serius. Selain tindak pidana korupsi dan Narkotika. Sebab, semakin lama, kasus tersebut justru makin meningkat.

“Tahun lalu saja, ada sekitar empat atau lima kasus yang ditangani. Sementara saat ini ada sekitar enam kalau tidak salah. Data pastinya saya belum tau persis,” ungkapnya.

Harus Sejalan

Terpisah, Kasi Pidum Kejaksaan Negeri (Kejari) Pontianak, I Made Agus Sastrawan, mengakui selama ini belum pernah menuntut pidana pelaku kejahatan seksual terhadap anak dengan pidana kebiri. “Kita belum pernah menuntut pidana kebiri. Selain pidana badannya (penjara) saja dan denda, terhadap pelakunya,” tuturnya kepada Rakyat Kalbar, Rabu (28/8) siang.

Dalam penegakan hukum pidana, kata dia, Kejaksaan berada dalam ranah kebijakan aplitikatif, atau kebijakan yudikatif. Hal itu menurutnya memerlukan sinkronisasi antara pihak penyusun, pembuat, dan pelaksana aturan tersebut.

“Itu harus sejalan dulu, antara penyusun UU, pembuat dan kita (Kejaksaan,red) sebagai penerap yang melaksanakan di lapangan, harus sejalan,” ungkapnya.

Sehingga diperlukan sinkronisasi, dan pihaknya pun akan menunggu petunjuk teknis terlebih dahulu dari Kejaksaan Agung untuk pelaksanaan teknis pidana kebiri. “Tentunya antara instansi berwenang,  Pengadilan, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Mabes Polri, dan Kedokteran juga pelaku ada sinkronisasi dan duduk bersama,” terangnya.

Secara aturan, lanjutnya, pidana kebiri telah diatur dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2016. Hanya saja, selama ini, Kejaksaan hanya menuntut pidana badannya saja terhadap pelaku.

“Kalau tidak ada sinkronisasi tentu akan menyulitkan Jaksa melaksanakan hal tersebut,” jelas Agus.

“Misalnya saja, ketika pihak kedokteran tidak siap melaksanakan. Sedangkan kebiri ini kan ada dua. Ada yang dipasang seperti chip dan suntik kimia, untuk menurunan libido,” timpalnya.

Apabila tidak ada persetujuan dari pihak kedokteran seperti itu, maka pihak Kejaksaan selaku esksekutor akan sulit melakukannya. “Sehingga diperlukan sinkronisasi duduk bersama dulu, membahas teknis melaksanakan eksekusi putusan kebiri ini,” tukas Agus.

Pihaknya pun akan berkordinasi terlebih dahulu sebelum melaksanakan dan menerapkan putusan pidana kebiri. “Jika sudah ada kesepakatan dari semua, ada petunjuk teknis dari masing-masingnya. Kita pun dari Kejaksaan Negeri Pontianak siap untuk melaksanakan putusan kebiri. Dan siap mengekseskusi terdakwa, selain pidana badan dengan pidana kebiri,” tegasnya.

Sementara itu, pakar hukum dari Universitas Tarumanagara Jakarta, Heri Firmansyah, membenarkan adanya pro kontra hukuman kebiri bagi pelaku pedofil. Penolakan menyeruak ke publik karena dari unsur yang bertindak selaku pelaksana.

“Tentunya dalam hal ini  (stakeholder terkait) perlu duduk bersama untuk merumuskan, agar produk hukum yang sudah dibuat dapat dilaksanakan dalam tataran praktis,” katanya kepada Rakyat Kalbar, Rabu (28/8) malam.

Heri berpendapat, penegakan hukum jangan sampai meninggalkan suatu problem. Sebab tidak akan berdampak baik bagi dunia penegakan hukum kedepan. “Karena aspek non hukum juga perlu dikaji,” ungkapnya.

Begitupun dalam tataran eksekusi putusan PN Mojokerto tersebut. Menurutnya tidak bisa sembarangan dieksekusi sebelum jelas teknisnya seperti apa. “Dalam kondisi seperti ini tentunya tidak bisa sembarangan eksekusi, ya dilaksanakan setelah jelas teknisnya seperti apa,” terangnya.

Pihak yang tepat melaksanakan eksekusi kebiri itu tetap dokter. Sebab berkaitan dengan keilmuan medis.

“Hanya dokter yang tepat melakukan kebiri, karena itu keilmuan kesehatan, saya rasa kurang tepat jika jaksa yang mengeksekusi itu,” pungkasnya.

 

Laporan: Andi Ridwansyah

Editor: Mohamad iQbaL