eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Persoalan sebaran tenaga guru memang tak pernah tuntas. Selalu saja kurang. Termasuk, kebutuhan tenaga guru agama Katolik. Bahkan, ada guru yang mengajar tidak sesuai disiplin ilmu.
Data dari Bimas Katolik Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Kalbar, jumlah guru agama Katolik untuk sekolah menengah atas (SMA) berstatus PNS hanya berkisar 1.390 orang.
Jumlah tersebut dinilai belum cukup menjangkau semua sekolah yang tersebar di 14 kabupaten/kota. Akibatnya, tak sedikit siswa beragama Katolik yang sampai hari ini tidak mendapat pengajaran agama. “Kalau dilihat dari kebutuhan di lapangan, jumlah itu hanya bisa menutupi separuh kebutuhan saja,” kata Yoseph, Pembimbing Masyarakat (Pembimas) Katolik Kanwil Kemenag Kalbar di acara Diskusi yang digelar Harian Rakyat Kalbar di Graha Pena Kalbar, Jumat (5/4) sore.
Menurutnya, rekrutmen CPNS khusus formasi guru Katolik, baik di Kemenag maupun di Dinas Pendidikan, memang tak pernah banyak.
Termasuk rekrutmnen 2018 yang dibuka pemerintah, baru-baru ini. “Kemarin, hanya dapat 50 dari 200 formasi yang kita ajukan,” katanya.
Menurutnya, pengajuan formasi tersebut merupakan kewenangan pemerintah daerah. Sedangkan Kanwil Kemenag, hanya memiliki tanggungjawab pembinaan saja.
Sebagai Pembina, kata dia, selama ini Bimas Katolik telah menerima banyak keluhan. Terkait sebaran guru agama Katolik yang tidak merata. “Laporan itu sudah kita koordinasikan dengan pemerintah daerah. Untuk mendorong agar sebaran tenaga guru agama bisa merata,” ungkapnya.
Hanya saja, pemerintah daerah pun belum bisa memberikan solusi yang efektif dalam pemenuhan guru agama Katolik. “Sebab, pemerintah daerah juga terkedala anggaran,” katanya.
Ia berpendapat, pemenuhan guru agama Katolik sangat penting bagi siswa. Sebab, pelajaran agama adalah dasar pembentukan karakter. Karena itu, mestinya pemenuhan kebutuhan guru agama Katolik juga menjadi prioritas. Sama seperti pemenuhan guru-guru pelajaran umum lainnya. “Menurut saya untuk mengatasi persoalan ini, memang kita semua perlu duduk bersama,” tegasnya. “Di katolik itu ada namnya lembaga gereja. Nah, mungkin tenaga-tenaga di situ bisa menjadi solusi untuk menutupi kekurangan guru. Tetapi, itu tadi. Harus kita bahas secara bersama,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Katolik Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri (STAKatN) Pontianak, Martinus menuturkan, pada prinsipnya pihaknya telah menyediakan tenaga kerja yang siap bertarung di dunia kerja, termasuk pemenuhan guru agama pendidikan Katolik di Kalbar. “Dari segi lulusan, kita mampu menyuplai tenaga guru pendidikan agama Katolik. Kendalanya, formasi yang tidak terbuka bagi mereka, sehingga mereka tidak terserap sebagai guru,” ungkapnya.
Martinus melanjutkan, kampus yang telah berdiri sejak tahun 2011 semula dikenal dengan nama Sekolah Tinggi Pastoral (STP), hingga berubah nama menjadi STAKatN Pontianak tahun 2017 ini telah berhasil meluluskan sebanyak 2.000-an lebih mahasiswa. Namun, kata dia, yang terserap hanya 1.500-an orang. “Dari 1.500 orang tersebut, 700 diantaranya masih tenaga honorer,” bebernya.
Dia melanjutkan, setiap tahun STAKatN Pontianak menerima sebanyak 113 mahasiswa, meskipun dengan keterbatasan bangunan yang saat ini masih dalam proses pengerjaan.
Martinus menuturkan, meski mahasiswa disiapkan sebagai guru pendidikan Katolik ketika menimba ilmu di kampus, namun lulusanya juga dapat bersaing dalam dunia pekerjaan. “Mereka dapat terserap dalam instansi lain, seperti bekerja di lembaga keuangan, bank, CU, bahkan di TNI, karena mahasiswa disana juga dikembangkan keterampilanya dalam bidang entrepreneur seperti berkebun, ternak sapi, salon, menjahit, itu dibekali kepada mereka,” ungkapnya.
Diri menuturkan, ada 22 perguruan tinggi yang mencetak guru pendidikan Katolik di seluruh Indonesia. “Namun yang negeri, baru di Pontianak,” ujarnya.
Martinus mengaku, selama ini angka sebaran guru pendidikan Katolik, menurutnya sudah cukup di Kalbar. Namun, setelah melakukan kegiatan diskusi, diketahui di beberapa daerah ternyata masih dijumpai kekurangan. “Tak usah jauh-jauh, di Kubu Raya saja masih kurang. Karena ada beberapa sekolah yang siswa Katoliknya, tidak ada guru pendidikan agama Katoliknya,” ujarnya.
Dia turut menyoroti temuan di lapangan yang masih terdapat guru mata pelajaran lain, mengajar pendidikan agama Katolik. “Ini tidak tepat, tidak sesuai profesinya, karena tidak dibekali dasar-dasar agama Katolik,” tegasnya.
Dia berharap, pemerintah berkoordinasi dengan sekolah dan gereja. “Artinya, ada koordinasi dengan kedua belah pihak. Sekolah, gereja dan Dinas Pendidikan, sehingga bisa tahu tenaga yang kurang dimana untuk bisa dicukupi. Kalau hanya mengandalkan Dinas Pendidikan, tanpa ada turun dibawah, sementara sumbernya kan dibawah, “tutupnya.
Di tempat yang sama, Utami, Mahasiswi Jurusan Pendidikan Agama Katolik STAKatN Pontianak berharap, pemerintah memperhatikan kekurangan tenaga guru, khusnya guru agama Katolik di Kalbar di pedalaman. “Khususnya di daerah-daerah pedalaman, banyak yang dijadikan guru tidak berasal dari disiplin ilmu masing-masing,” pungkasnya.
Laporan: Abdul Halikurrahman, Andi Ridwansyah
Editor: Yuni Kurniyanto