Guncangan Baru dari Tanah Bavaria

Oleh: Dahlan Iskan

Dahlan Iskan

eQuator.co.idWanita besi itu mencair. Luluh. Tidak mau lagi memimpin partainya. Yang menang empat kali pemilu. Yang belakangan mulai terlihat melemah.

Sudah 18 tahun Angela Markel memimpin Jerman. Dia sudah membuat sejarah. Memajukan ekonomi Jerman. Menjadi yang paling raksasa di Eropa. Dalam empat kali masa jabatannya: sebagai perdana menteri.

Sikapnya pro Tiongkok. Perusahaan-perusahaan raksasa Jerman berkembang pesat di Tiongkok. VW dan Audi adalah raja mobil di China. Siemens apalagi. Raksasa kimianya maju pesat. Dan akan jadi model perusahaan asing pertama: yang tidak perlu punya partner lokal. Boleh 100 persen Jerman.

Merkel juga pro pengungsi dari Syiria. Dan dari Afrika Utara. Dia juga pro kebersamaan Eropa.

Semua itu menyebabkan pelemahan partainya: Partai Persatuan Kristen. Yang garis tengah.

Kini partai kanan, AfD, mulai naik daun di mana-mana. AfD sebenarnya partai baru: didirikan menjelang pemilu 2013. Awalnya hanya mendapat 7 kursi.

Tapi dalam pemilu tahun lalu AfD naik drastis: 94 kursi. Memang belum bisa mengalahkan partainya Merkel. Tapi mengkhawatirkan.

Apalagi sudah benar-benar menang di daerah-daerah kunci. Terutama di Bavaria. Padahal Bavaria dianggap ‘inti’-nya Jerman. Kawasan Munchen dan sekitarnya.

Sebenarnya masa jabatan Merkel masih sampai 2021. Tapi bisa saja berakhir lebih cepat. Bulan depan Partai Persatuan Kristen akan menyelenggarakan kongres. Memilih pengganti Merkel. Bisa saja partai memutuskan lain: minta Merkel juga mundur dari jabatan perdana menteri. Agar ada angin segar di pemerintahan. Untuk menghadapi Pemilu tahun 2021.

Di mana-mana proteksionisme kini cenderung mengalahkan free market. Nasionalisme mengalahkan globalisasi: Amerika dengan Donald Trumpnya. Inggris dengan Brexitnya. Filipina dengan Dutertenya. Pakistan dengan Imran Khannya. Kini Brazil dengan Jair Bolsonaronya. Dan sebentar lagi Merkel turun tahta.

Tiongkok harus was-was. Program One Belt One Road-nya kian mendapat tantangan di mana-mana. Amerika Serikat bahkan menciptakan lembaga baru. Mirip OBOR. Untuk membendung OBOR dari Beijing.

Sayangnya dana OBOR Amerika terlalu kecil. Hanya USD 60 miliar. Tidak sebanding dengan program OBOR dari Tiongkok: USD 1 triliun lebih.

Pengalaman di masa lalu juga kurang menyenangkan. Pinjaman dari Amerika tidak mudah. Kurang fleksible. Waktu mengurusnya lama. Proses persetujuannya rumit.

Kadang terjadi begini: saat usulan proyek disetujui relevansi proyeknya sudah berubah.

Kini semua negara ingin cepat maju. Kelebihan OBOR Tiongkok adalah kecepatan cairnya. Dan besaran nilainya.

Tapi perdana menteri baru Pakistan sudah resmi menelan ludahnya sendiri: mengajukan pinjaman ke IMF lagi. Sebanyak USD 13 miliar.

Imran Khan akhirnya memerlukan IMF. Yang saat kampanye disumpahi. Akan dijauhi.

Ini untuk ke-13 kalinya Pakistan keluar-masuk IMF. Mengikuti angin politik. Yang berhembus ke arah yang beda.

Belum ada kabar bagaimana kiat Imran akan menghadapi tekanan IMF. Yang biasa menyakitkan rakyat awam itu: kurangi subsidi (artinya: harga-harga naik); naikkan pajak (artinya: jelas); batalkan proyek-proyek besar yang membuat APBN defisit (artinya: pertumbuhan ekonomi melambat); swastakan BUMN (artinya: jual aset bangsa); kurangi pegawai negeri.

Imran belum memutuskan: akan diapakan proyek-proyek besar OBOR Tiongkok di Pakistan. Tapi IMF sudah menegaskan: dana yang diminta tidak boleh untuk membayar hutang ke Tiongkok.

Akhir minggu lalu Imran Khan ke Beijing. Bertemu presiden Xi Jinping. Menarik untuk diamati hasilnya.

Bulan-bulan mendatang adalah panggung internasional. Bagaimana nasib kereta api lintas benua: dari kota Chengzhou (Tiongkok) ke Frankfurt (Jerman) itu. Yang melintasi banyak negara itu. Akankah dibatalkan. Atau boleh terus beroperasi.

Juga bagaimana Brazil. Dan Pakistan. Akan ada heboh di mana-mana.(dis)